Bulan Kesiangan

813 kali dibaca

“Baru pulang, Nduk?” tanya perempuan paro baya setelah mendapati putri semata wayangnya di dapur.

“Iya, Bu. Tadi aku salam Ibu enggak dengar,” ungkapnya seraya mencium punggung tangan ibu yang telah melahirkannya.

Advertisements

Rumah itu memang sederhana. Dihuni oleh Nauri dengan ibunya yang sudah mulai senja. Terkadang percakapan orang dari satu bilik bisa terdengar dari bilik lainnya. Jadi, bukan karena jarak dari pintu depan ke dapur yang begitu jauh, melainkan karena pendengaran Bu Fitri yang sudah mulai menurun fungsinya.

“Ya, sudah kalau begitu mandi dulu. Ini ada sayur asem dan tempe goreng kesukaanmu.”

Bu Fitri memang sudah menyiapkan semua menu kesukaan Nauri. Sebab, dia sudah tahu setiap Kamis sore, putrinya pulang ke rumah dari mengabdi di Pondok Pesantren Tahfiz An-Nur di desa sebelah. Nanti hari Senin kembali lagi untuk melaksanakan tugas. Begitu seterusnya.

Meski honor untuk mengajar Al-Quran dan Tahfiz di sana tidak seberapa, tetap saja dengan ikhlas dia menyalurkan ilmu yang sudah diterimanya saat dia berada di pondok pesantren itu juga. Sudah beberapa tahun gadis itu mengabdi. Hanya rida dari Allah yang diharapkannya. Sampai tak tahu usia yang semakin menua.
***
“Nduk, Ibu sudah tua. Kamu segeralah menikah. Umur kamu sudah tidak muda lagi, loh. Ibu pun sudah ingin sekali punya cucu.”

Setelah pembukaan percakapan pada makan malam hari itu mendadak hening. Sudah sering Nauri mendengar hal yang serupa dari lisan Bu Fitri. Sejenak jantung gadis itu serasa berhenti, lantas Nauri menjawab dengan enggan.

“Sabar, Buk. Aku masih ingin mengabdi di pondok. Berharap ilmu dan hafalanku bisa bermanfaat di sana. Hitung-hitung balas budi kepada Kiai Rasyid yang sudah membinaku dulu saat di pondok.”

Bu Fitri menghela napas panjang, lantas mengeluarkannya perlahan-lahan. Dadanya terasa sesak ketika putrinya belum juga mau menyempurnakan separo agama. Sebab, usia Nauri kini sudah 32 tahun. Sempat beberapa lelaki datang baik-baik untuk meminangnya, tetapi hati gadis berlesung pipit itu masih tertutup. Bu Fitri pun menganggap percuma saja bicara soal jodoh dengan putrinya itu.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan