Bulan Kesiangan

842 kali dibaca

“Baru pulang, Nduk?” tanya perempuan paro baya setelah mendapati putri semata wayangnya di dapur.

“Iya, Bu. Tadi aku salam Ibu enggak dengar,” ungkapnya seraya mencium punggung tangan ibu yang telah melahirkannya.

Advertisements

Rumah itu memang sederhana. Dihuni oleh Nauri dengan ibunya yang sudah mulai senja. Terkadang percakapan orang dari satu bilik bisa terdengar dari bilik lainnya. Jadi, bukan karena jarak dari pintu depan ke dapur yang begitu jauh, melainkan karena pendengaran Bu Fitri yang sudah mulai menurun fungsinya.

“Ya, sudah kalau begitu mandi dulu. Ini ada sayur asem dan tempe goreng kesukaanmu.”

Bu Fitri memang sudah menyiapkan semua menu kesukaan Nauri. Sebab, dia sudah tahu setiap Kamis sore, putrinya pulang ke rumah dari mengabdi di Pondok Pesantren Tahfiz An-Nur di desa sebelah. Nanti hari Senin kembali lagi untuk melaksanakan tugas. Begitu seterusnya.

Meski honor untuk mengajar Al-Quran dan Tahfiz di sana tidak seberapa, tetap saja dengan ikhlas dia menyalurkan ilmu yang sudah diterimanya saat dia berada di pondok pesantren itu juga. Sudah beberapa tahun gadis itu mengabdi. Hanya rida dari Allah yang diharapkannya. Sampai tak tahu usia yang semakin menua.
***
“Nduk, Ibu sudah tua. Kamu segeralah menikah. Umur kamu sudah tidak muda lagi, loh. Ibu pun sudah ingin sekali punya cucu.”

Setelah pembukaan percakapan pada makan malam hari itu mendadak hening. Sudah sering Nauri mendengar hal yang serupa dari lisan Bu Fitri. Sejenak jantung gadis itu serasa berhenti, lantas Nauri menjawab dengan enggan.

“Sabar, Buk. Aku masih ingin mengabdi di pondok. Berharap ilmu dan hafalanku bisa bermanfaat di sana. Hitung-hitung balas budi kepada Kiai Rasyid yang sudah membinaku dulu saat di pondok.”

Bu Fitri menghela napas panjang, lantas mengeluarkannya perlahan-lahan. Dadanya terasa sesak ketika putrinya belum juga mau menyempurnakan separo agama. Sebab, usia Nauri kini sudah 32 tahun. Sempat beberapa lelaki datang baik-baik untuk meminangnya, tetapi hati gadis berlesung pipit itu masih tertutup. Bu Fitri pun menganggap percuma saja bicara soal jodoh dengan putrinya itu.

“Nauri ke kamar dulu, ya, Bu. Sudah malam mau ngaji bentar, lalu tidur,” pamit Nauri.

“Ya, sudah istirahat. Ibu juga mau istirahat.”

Malam semakin dingin oleh hujan lebat di luar rumah. Berbeda di dalam rumah Bu Fitri. Terasa sedikit panas antara Ibu dan anak itu karena percakapan tentang pernikahan. Mereka berdua beranjak dari tempat duduk masing-masing. Namun, tujuan mereka berbeda. Mereka masuk ke kamar masing-masing.

Nauri merebahkan dirinya di kasur. Pandangannya ke langit-langit di atasnya. Akan tetapi, mantiknya melalang buana. Dia memikirkan ucapan ibunya tadi. Sebenarnya betul juga yang dikatakan ibunya tadi. Apalagi usianya juga sudah tak muda lagi. Teman-temannya sudah menikah semua. Ada yang sudah punya anak tiga malahan. Gelisah. Namun, dia belum siap. Panjang sekali renungan gadis itu malam ini. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti kehendak ibundanya. Senin ini dia hendak meminta tolong kepada Kiai Rasyid untuk mencarikan jodoh untuknya. Menurutnya jodoh dari sang kiai insyaallah bebet, bibit, dan bobot adalah yang terbaik.
***
Langkah Nauri lembut menuju rumah utama pondok. Tepatnya rumah Kiai Rasyid. Pintu warna cokelat itu diketuknya, setelah sebelumnya menghela napas panjang terlebih dahulu.

“Assalamualaikum ….”

Hanya satu kali ketukan dan salam dari dalam sudah terdengar jawaban salam. Terdengar suara bas dari seorang lelaki sepuh. Selang beberapa detik pintu terbuka dari dalam.

“Eh, Nduk Nauri. Silakan masuk,” ucap penghuni rumah.

Nauri mengangguk pelan, lantas mengikuti titah lelaki berpeci putih itu.

“Buk, ada Nauri ini, loh!” Kiai Rasyid setengah berteriak memanggil istrinya. Kiai Rasyid bermaksud supaya tak ada fitnah. Dua orang, lelaki dan perempuan bersama di satu ruangan. Wanita berkerudung ungu pun keluar dengan menyuguhkan senyuman termanisnya. Kemudian, dia duduk di samping suaminya.

“Ada yang bisa kami bantu, Mbak Nauri?” tanya Bu Nyai Ismah.

“Anu … begini, Bu Nyai. Saya mau minta tolong untuk mencarikan jodoh untuk saya.” Malu-malu gadis itu mengungkapkan niatnya.

Seketika Bu Nyai Ismah dan Kiai Rasyid beradu pandang. Kiai mengangguk pelan.

“Jadi sebenarnya kemarin saya dan istri sudah ingin menawarkan ini kepada Mbak Nauri. Tapi, takut Mbak Nauri sudah ada yang mau melamar, jadi kami tunda. Alhamdulillah, kalau memang belum ada. Kami sudah berencana mau menjodohkan Mbak Nauri dengan Akbar. Pengurus santri putra. Dia juga sedang mencari jodoh.”

Mendengar penjelasan dari lelaki di depan Nauri, rasa sesak di dadanya seketika menguap. Beban yang selama ini bersarang mulai berlengkesa. Ada setitik harapan untuknya dan membahagiakan ibu yang melahirkannya. Seusai menyatakan niatnya, Nauri bergegas minta diri. Dia tak mau berlama-lama, hingga mengganggu waktu Kiai Rasyid dan istri.
***

Jantung Nauri berdengap. Waktu terasa lama baginya. Malam ini keluarga calon suaminya beserta rombongan Kiai Rasyid akan segera datang. Meski belum paham betul tentang lelaki yang dijodohkan kepadanya. Namun, rasanya bisa mengaduk-aduk hati gadis penghafal Al-Qur’an itu. Pertama kali dia merasakan hal ini.

Tak lama kemudian terdengar deru beberapa mobil masuk ke halaman rumah Bu Fitri. Kemudian, suara salam satu per satu mulai terdengar. Mereka semua dipersilakan masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan di ruang tamu. Beberapa hidangan berupa beberapa kudapan dan minuman sudah tersedia di sana. Acara diadakan secara sederhana dengan dihadiri keluarga inti saja. Acara dipimpin oleh Kiai Rasyid. Pun beberapa wejangan dari pimpinan pondok itu dikeluarkan. Kegiatan berlangsung dengan khidmat dan lancar tanpa hambatan.

Wajah calon mempelai wanita memerah. Dia tersipu malu saat beradu pandang dengan calon suaminya itu. Hatinya berdesir. Memang betul sesuai yang diinginkan Nauri. Selera Kiai Rasyid sangat tinggi. Namun, gadis itu tak berani berlama-lama menatap lelaki calon suaminya itu. Cepat-cepat dia menunduk malu.

“Silakan dinikmati hidangan yang ada. Hanya ini yang bisa kami persembahkan,” ucap Bu Fitri seraya mengulas senyum termanis. Setelah itu, wanita paruh baya itu menuju kamar mandi. Hasrat ingin buang air kecil tiba-tiba menerpanya.

Detik demi detik berlalu, hingga belasan menit terlampaui. Nauri mencari sosok ibunya. Sebab, para tamu akan segera berpamitan. Gadis itu menuju kamar mandi. Dia mendapati pintu masih terkunci dari dalam. Beberapa ketukan dan teriakan memanggil Bu Fitri, tetapi tak ada tanggapan dari dalam.
Semua orang mulai panik. Semua rombongan tamu mengulur waktu pulang untuk menolong Nauri. Salah satu mereka mendobrak pintu kamar mandi. Sungguh membuat semua mata yang melihat itu terkejut.

“Ibuk!” jerit Nauri seraya mendekat ke jasad wanita yang sudah tergeletak di lantai itu. Dia memeriksa semua anggota vital Bu Fitri. Tangisnya tak terbendung, saat menyadari bahwa Bu Fitri sudah tak bernapas lagi.

“Maafkan aku, Bu. Aku yang tak mau mengikuti nasihat ibu untuk segera menikah. Kini, Ibu tak bisa melihatku di pelaminan nanti,” sesegukan gadis yang memangku raga ibundanya.

“Bulan Nauri seperti bulan yang kesiangan. Terlambat membahagiakan sang Ibu. Kasihan,” ucap lirih salah satu teman Nauri yang juga sebagai tamu di sana.
***
Riau, 3 November 2021.

ilustrasi: jeihan, artspace.id.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan