Sepenggal Kisah Putri Tukang Becak

2,243 kali dibaca

Pak Rusdi menghentikan becaknya tidak jauh dari gerbang sekolah. Tatapan matanya segera meredup melihat ekspresi wajah anaknya yang murung. Padahal, ketika bertemu biasanya dia selalu menyapa ayahnya itu dengan senyuman. Bahkan kemarin dia meloncat-loncat kegirangan begitu melihat dirinya meraih nilai UN terbaik di sekolahnya.

“Kenapa kok murung, Nduk? Katanya kemarin kamu jadi juara, kok sekarang malah murung begitu?” pertanyaan Pak Rusdi diiringi rasa khawatir. Gadis kecil bernama Fastabiqul Khoirot itu seperti tidak mendengar pertanyaan ayahnya. Dia segera duduk di becak dan tetap membisu. Muka masamnya semakin kentara.

Advertisements

Setibanya di rumah, gadis kecil itu segera merebahkan tubuhnya di kasur kamarnya. Melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasa itu, Bu Alini mengerutkan dahi dan kemudian menyusul putrinya ke kamar. Fasta adalah sumber kebahagiaan bagi keluarga itu. Jika dia sedang berduka, maka sumber kebahagiaan itu telah redup. Dan redup pulalah cahaya kebahagiaan dalam keluarga itu.

“Kenapa, Nduk? Kok langsung tiduran?” tanya Bu Alini sambil duduk di sampingnya. Sepatu yang masih menggantung di kaki gadis itu dilepaskannya. Fasta tidak menyahut pertanyaan ibunya itu. Dia juga membiarkan ibunya melepaskan sepatu yang masih membungkus telapak kakinya. Kepalanya memeluk bantal. Muka gadis itu tenggelam ke dalamnya.

“Makan dulu Nduk. Nanti nasinya keburu dingin lho.”

Dan Fasta masih saja mendiamkan ibunya. Ibu muda itu menarik napas dalam-dalam.

“Fasta nggak lapar? Tadi makan apa di sekolah?”

“Makan angin.” Jawab Fasta ketus.

“Kok makan angin to Nduk? Sekarang makan dulu ya? Ibu masak ikan tongkol kesukaanmu lho.”

Gadis kecil itu tidak juga memberikan respons.

“Fasta sakit?”

Gadis itu menggeleng.

“Fasta nggak mau sekolah di sini,” tiba-tiba gadis itu bersuara. Suaranya tidak jelas karena wajahnya masih tenggelam ke dalam bantal.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan