Gus Din dan Kaum Fakir

2,115 kali dibaca

Jenazah itu bergerak di atas ribuan tangan-tangan pelayat. Pakaian mereka serba putih. Oleh sebab suara-suara itu, kakek tua –yang enggan kusebut namanya–, tetangga Gus Din, terbangun lalu keluar rumah memastikan keadaan. Ia heran, ada apa gerangan? Melihat banyak orang berpakain serba putih dan berjubel-jubel beradu sikut memindahkan sebuah keranda; ia tahu: ada orang wafat.

“Siapa yang mati, Mbok?” tanyanya pada istrinya yang sedang duduk di atas lincak bambu depan rumah.

Advertisements

“Fahruddin,” jawabnya sambil memandang ribuan pelayat.

“Lha iya, apa sebab Fahruddin seperti ini, Mbok?”

“Akupun tak tahu, Pak. Heran saya dibuatnya. Yang aneh bin ajaib lagi, Pak,” katanya, lalu membenarkan posisi duduk, “Semua pelayat itu berpakaian serba putih. Aku pernah mendengar dongeng waktu kecil dulu, kalau ada banyak pelayat berpakaian serba putih menghadiri pemakaman seseorang, pastilah mereka malaikat.”

“Bisa-bisa saja kau, Mbok.” Kakek itu kemudian turut duduk di samping istrinya, dan ikut serta memandangi ribuan pelayat berpakain serba putih itu. Ia dibuat heran.

Dalam heran itu, ia mengingat-ingat; kapan Fahruddin berdakwah hingga mampu meluluhkan ribuan orang, sampai-sampai di hari kematiannya, berjubel-jubel mereka memadati rumah reot miliknya itu. Sebab karena bersebelahan tepat di samping rumah Gus Din, ia menyangka bahwa Gus Din tak punya keistimewaan sama sekali. Malah yang nampak di matanya setiap hari, Gus Din adalah pemuda nakal. Rambutnya saja disemir.

Masih keheranan sambil duduk di atas lincak depan rumah bersama istrinya, ketika seorang pemuda berjalan di depannya. Ia memanggil pemuda itu. Tampak dari sorot mata pemuda itu kesedihan.

“Mau ke sana juga?”

“Benar, Pak.”

“Siapa dia?”

“Gus Din, Pak. Apa Bapak tak tahu? Kan tepat samping rumah.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan