Gus Din dan Kaum Fakir

2,154 kali dibaca

Jenazah itu bergerak di atas ribuan tangan-tangan pelayat. Pakaian mereka serba putih. Oleh sebab suara-suara itu, kakek tua –yang enggan kusebut namanya–, tetangga Gus Din, terbangun lalu keluar rumah memastikan keadaan. Ia heran, ada apa gerangan? Melihat banyak orang berpakain serba putih dan berjubel-jubel beradu sikut memindahkan sebuah keranda; ia tahu: ada orang wafat.

“Siapa yang mati, Mbok?” tanyanya pada istrinya yang sedang duduk di atas lincak bambu depan rumah.

Advertisements

“Fahruddin,” jawabnya sambil memandang ribuan pelayat.

“Lha iya, apa sebab Fahruddin seperti ini, Mbok?”

“Akupun tak tahu, Pak. Heran saya dibuatnya. Yang aneh bin ajaib lagi, Pak,” katanya, lalu membenarkan posisi duduk, “Semua pelayat itu berpakaian serba putih. Aku pernah mendengar dongeng waktu kecil dulu, kalau ada banyak pelayat berpakaian serba putih menghadiri pemakaman seseorang, pastilah mereka malaikat.”

“Bisa-bisa saja kau, Mbok.” Kakek itu kemudian turut duduk di samping istrinya, dan ikut serta memandangi ribuan pelayat berpakain serba putih itu. Ia dibuat heran.

Dalam heran itu, ia mengingat-ingat; kapan Fahruddin berdakwah hingga mampu meluluhkan ribuan orang, sampai-sampai di hari kematiannya, berjubel-jubel mereka memadati rumah reot miliknya itu. Sebab karena bersebelahan tepat di samping rumah Gus Din, ia menyangka bahwa Gus Din tak punya keistimewaan sama sekali. Malah yang nampak di matanya setiap hari, Gus Din adalah pemuda nakal. Rambutnya saja disemir.

Masih keheranan sambil duduk di atas lincak depan rumah bersama istrinya, ketika seorang pemuda berjalan di depannya. Ia memanggil pemuda itu. Tampak dari sorot mata pemuda itu kesedihan.

“Mau ke sana juga?”

“Benar, Pak.”

“Siapa dia?”

“Gus Din, Pak. Apa Bapak tak tahu? Kan tepat samping rumah.”

“Tak ada yang istimewa darinya, biasa saja.”

“Ya sudah, Pak, sambung nanti lagi ceritanya. Saya hendak menghadiri pemakaman dahulu.”

Dengan lari pemuda itu menerobos masuk ke dalam ribuan orang.

Sudah barangtentu, sebagai tetangga, kakek itu pastilah melayat. Pada akhirnya, ia melangkah menghampiri, dan bergabung di antara ribuan pelayat serba putih itu. Istrinya masuk ke dalam rumah.

Gema suara kalimat tauhid bersaut-saut, menggema di desa kecil itu. Siapa orang yang mendengar, pastilah heran, sebab, di desa kecil itu sekalipun tak pernah ada pengajian-pengajian besar digelar. Desa yang sebelumnya sepi, hari itu bergema suara sedemikian keras. Apalagi bukan dangdut, tapi suara kalimat tauhid.

Masih terheran, kakek itu clingak-clinguk ke kanan dan ke kiri, namun tak satupun di antara ribuan orang itu dikenalnya. Semua pelayat nampak asing di matanya. Ia merasa gamang. Yang lebih mengherankan lagi, tak ia jumpai satu di antara pelayat-pelayat itu berbicara. Semuanya terlihat khusyuk.

****

Gus Din tidaklah menikah. Pernah satu kali ia mencintai wanita, putri Kiai Masduqi, tapi setelah tahu bahwa Ning Shofi menikah dengan Gus Jamal, putra Kiai Ahmad, sampai sekarang, tak pernah ia dekat dengan wanita lagi.

Suatu ketika, Abahnya menjodohkan dengan Ning Syahidah, putri Kiai Dahlan, tapi ia menolak keras tawaran Abahnya. Beberapa kali abahnya, Kiai Muhammadun, membujuknya agar mau, tapi tetap bersikukuh tak mau. “Umurmu sudahlah matang untuk menikah, Din. Menikahlah,” begitu kata abahnya. Di antara kelima saudaranya, hanya Gus Din yang belum menikah.

Sedari kecil, Gus Din juga tidak mau mondok, tidak seperti kelima saudaranya. Hal itu membuat Abah dan Umminya geram. Sempat ia dipaksa mondok di daerah Yogyakarta, tapi seminggu setelahnya, pengasuh pondok tersebut menelepon Kiai Muhammadun dan mengabari bahwa Gus Din tidak di pondok lagi. Mendengar kabar itu, Kiai Muhammadun menyuruh salah seorang santri, Mahmud, agar mencari Gus Din. Layaknya seorang santri yang harus patuh pada kiainya, maka Mahmud pun demikian.

“Cari Fahruddin sampai ketemu!” perintah Kiai Muhammadun pada Mahmud.

“Injih, Yai.”

Dengan langkah mundur ke belakang dan beringsut-ringsut, Mahmud menjauh dari Kiai Muhammadun, lalu keluar dari gerbang pondok pesantren hanya berbekal keyakinan. Namun apa guna keyakinan tanpa tujuan?

Sesampainya di depan gerbang pondok, tak tahu Mahmud akan bagaimana. Dalam kebingungan itu, Mahmud ingat Umar, teman sekamarnya yang menjadi pelayan di ndalem Kiai Muhammadun, pernah mengatakan bahwa Gus Din mondok di Yogyakarta, di Bantul.  Ia pun menumpangi bus untuk ke Bantul.

Sampai terminal Giwangan, macam membalik telapak tangan, tak sengaja Mahmud menemukan Gus Din yang sedang merokok di kursi halte. Tanpa ba-bi-bu, ia menghampiri Gus Din, menundukkan kepala dan bersalaman. Gus Din tak tahu siapa Mahmud.

“Saya santrinya Abah, Gus, diperintah untuk menjemput dan mengajakmu pulang ke ndalem.

Keduanya lalu pulang. Mahmud mengantarkan Gus Din sampai di depan ndalem. Kiai Muhammadun keluar.

“Terima kasih, Kang.”

“Injih, Yai.”

Sementara Gus Din langsung masuk ke dalam. Kiai Muhammadun kembali ke dalam rumah setelah mengatakan “terima kasih” kepada Mahmud. Tidak ada Gus Din di ruang tamu. Ia menuju kamar Gus Din.

“Jangan malu-maluin Abah, Din!” bentaknya.

Gus Din diam saja.

“Kenapa kamu keluar pondok?!”

“Gapapa, Bah,” jawabnya dengan wajah pucat.

“Mulai hari ini, aku serahkan semuanya kepadamu! Abah tak mau lagi mengaturmu!”

Gus Din keluar kamar, bersalaman dengan Abah. Abah kaget. Gus Din Lalu menghampiri Ummi, bersalaman juga. Setelah dirasa cukup, Gus Din keluar rumah, melewati gedung-gedung pesantren dengan dilihati banyak santri, gerbang pondok, dan entah. Ia belum menemukan rumah untuk tempatnya singgah.

Sebenarnya, Kiai Muhammadun tidaklah tega hati melihat Gus Din seperti itu. Tapi baginya, anak seumuran Gus Din tidaklah boleh dimanja. Hal itulah yang mendasarinya mengatakan seperti itu. Ia ingin mendidik Gus Din lebih mandiri.

***

Gus Din membangun sebuah gubuk di tanah yang bertuliskan “Tanah Ini Milik Yayasan Nurul Ummah” dengan bambu yang ia ambil di tanah itu. Dia yakin bahwa tanah itu pastilah milik Abahnya. Dan memang benar seperti itulah adanya.

Gus Din pun tinggal di gubuk itu seorang diri. Awal kemunculannya di tanah itu, tetangganya, Kakek Tua –yang enggan kusebut namanya– berburuk sangka, bahwa Gus Din telah mengambil alih pemilik tanah itu. Ia merasa tersaingi, karena sebenarnya, ia juga ingin memiliki tanah itu.

Setiap tengah malam Jumat dan malam Rabu, tanpa ada yang tahu, diam-diam Gus Din keluar dari gubuknya dengan membawa sekarung beras yang sudah dibungkus tiga kiloan. Ia membagi-bagikan bungkusan beras itu ke rumah-rumah fakir miskin. Begitu setiap malam. Entah, dari mana Gus Din mendapatkannya.

Suatu malam Jumat, ketika membagikan beras di salah satu rumah fakir miskin, tepat di depan rumah itu, tiba-tiba perut Gus Din terasa sakit. Dadanya sesak. Ditahannya rasa sakit itu agar sampai rumah. Ia tidak ingin diketahui kebaikan yang selama bertahun-bertahun telah ia lakukan.

Tapi apa yang diinginkan Gus Din tidak seperti yang diinginkan Tuhan, ia meninggal pada malam itu. Si fakir pemilik rumah mengantarkannya ke gubuknya. Di gubuk itu, seseorang berpakaian serba putih telah menanti jenazahnya.

ilustrasi: naishahijrah.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan