Surga Maya

1,295 kali dibaca

Siang itu ia melangkah melintasi gerbang pondok. Membelok ke kiri, kemudian menyusuri jalanan yang sepi. Di bawah mendung yang menudung, angin sepoi membelai-belai kerudungnya yang tersampir di punggung. Ia terlihat berjalan seperti angin, lalu menghilang di sebuah tikungan ketika gerimis mulai membasahi debu jalanan.

Itulah terakhir kali orang-orang melihatnya, beberapa tahun lalu. Beberapa tahun kemudian, orang-orang hanya mendengar namanya saat bertukar cerita dari sumber-sumber yang samar. Ceritanya semaya namanya.

Advertisements

Menurut cerita, sosoknya kadang terlihat sekilas di suatu tempat yang jauh. Sosok itu juga muncul di tempat-tempat yang berbeda-berbeda hanya sekelebatan, lalu menghilang, tak terlacak jejaknya, sampai beberapa waktu kemudian ada orang mengenali sosoknya, entah di mana. Sosok itu kadang terlihat di antara orang-orang yang dikenal, tapi sering juga terselip di dalam kerumunan orang-orang asing.

Tapi cerita-cerita yang samar itu punya benang merahnya sendiri. Sosoknya ternyata selalu muncul di tempat-tempat orang mati. Sosok itu selalu terlihat, juga dengan samar, di antara kerumunan orang-orang yang sedang melayat, atau terselip di barisan orang-orang yang menyalati mayat, atau berdiri dengan khusyuk di suatu tempat menyaksikan penguburan jenazah. Tapi penampakannya selalu seperti siluet. Nyaris tak ada orang yang menyadari dari arah mana sosok itu datang atau ke arah mana menghilang. Yang kemudian mulai disadari banyak orang adalah ini: selalu ada sosok perempuan asing di hampir setiap ada kematian.

Jika cerita-cerita yang samar itu dirangkai, pertama-tama, kelebatan sosok perempuan itu sering terlihat di mana-mana. Ia selalu melangkah tiada henti, berjalan seperti angin, dan orang tak pernah tahu ke mana tujuannya. Tapi sosok itu selalu berhenti di tempat orang mati. Tidak peduli apakah orang yang mati itu, atau keluarganya, dikenalnya atau tidak. Tidak peduli apakah yang mati itu orang baik atau jahat. Tidak peduli apakah yang mati di situ pembesar, tokoh berpengaruh, orang suci, atau gelandangan. Tidak peduli apakah banyak yang melayat atau justru tak ada yang sudi menghormati kematian si mayat.

Lalu, di sanalah, di tempat-tempat orang mati itu, ia ikut memberikan kesaksian. Sesaat sebelum jenazah disalati lalu diberangkatkan ke pemakaman, biasanya memang ada anggota keluarga atau perwakilannya yang meminta kesaksian kepada para pelayat bahwa yang baru saja meninggal adalah orang baik dan karena itu layak memperoleh tempat di surga. Dan di saat-saat seperti itulah, sosoknya akan terlihat sebagai salah satu orang yang turut memberikan kesaksian; kesaksian bahwa si mayat adalah orang baik semasa hidupnya —meskipun, pada kenyataannya tidak selalu begitu.

Sebuah cerita yang dituturkan dengan samar, menyebut bahwa suatu hari sosok itu terlihat menjadi pelayat ketiga. Dan memang hanya ada tiga pelayat itu di luar dari keluarga orang yang meninggal. Rupanya memang tak ada orang yang sudi melayat. Para tetangga pura-pura sibuk dengan pekerjaan masing-masing, lalu diam-diam pergi meninggalkan rumah sampai si mayat dikuburkan.

Rupanya, si mayat memang dikenal dengan apa yang disebut sebagai sampah masyarakat. Dia adalah laki-laki bajingan tengik. Merampok dan membegal adalah keahliannya. Berbuat onar adalah hobinya. Di mata orang-orang, dia adalah pendosa tiada tara. Karena itu tak ada yang menangisi kematiannya. Kematiannya justru disyukuri banyak orang. Dan melegakan.

Tapi di sanalah ia, sosok yang bagai siluet itu, hadir sebagai pelayat ketiga. Keluarga si mayat itu terheran-heran melihat ada sosok perempuan asing, yang tak dikenalnya, datang melayat dengan takzim.

“Apakah Anda mengenalnya?” satu dari keluarga si mayat itu akhirnya bertanya.

“Ya, saya mengenalnya sebagai orang baik,” jawabnya.

“Di mana Anda mengenalnya? Dan siapa Anda?”

“Saya mengenalnya di suatu tempat. Tidak penting siapa saya. Tapi saya berani bersaksi bahwa dia memang orang baik.”

“Oh, semoga…”

Cerita yang hampir sama juga pernah dituturkan orang secara samar. Suatu hari, di pinggiran kota, ada seorang perempuan mati. Hanya segelintir orang yang sudi melayat. Itu pun hampir semua adalah keluarganya. Rupanya, perempuan yang mati itu diketahui sebagai pelacur. Orang-orang merasa risih untuk datang. Yang laki-laki takut dikira pernah menggunakan jasanya. Yang perempuan takut dianggap sebagai sebangsanya.

Tapi di sanalah ia, sosok yang bagai siluet itu, hadir sebagai pelayat. Keluarga si mayat terheran-heran ada sosok perempuan asing datang melayat.

“Apakah Anda temannya?” tanya salah satu keluarga si pelacur itu.

“Ya, saya adalah temannya,” jawabnya mengangguk pelan.

Yang bertanya mengangguk-angguk pelan sembari tersenyum penuh arti.

“Di mana Anda mengenalnya? Dan siapa Anda?”

“Saya mengenalnya di suatu tempat. Tidak penting siapa saya. Tapi saya berani bersaksi bahwa dia memang orang baik.”

“Ya, ya, semoga…”

Itulah percakapan pendek yang ikut mengantarkan jenazah si pelacur ke pemakaman. Itulah percakapan pendek yang kemudian beredar dari mulut ke mulut; selalu ada sosok asing datang melayat pada setiap kematian, dan selalu memberi kesaksian bahwa si mayat adalah orang baik agar malaikat mencatatnya sebagai ahli surga.

***

Itulah yang diceritakan orang bertahun-tahun kemudian. Ada sosok perempuan tak dikenal yang meninggal di sebuah kos-kosan gang sempit. Ia hidup sebatang kara. Para tetangga juga tak mengenal siapa dirinya. Yang orang tahu, sosok perempuan itu sering terlihat berjalan seperti angin, menyusuri jalanan, dengan kerudung yang selalu menggantung di punggung.

Ada yang menyebut ia meninggal karena suatu penyakit. Pada mulanya orang-orang sekitar ragu-ragu untuk datang melayat. Hanya beberapa orang yang terlihat mengurus jenazahnya. Mereka tak lain adalah petugas pemakaman di kota itu.

Tapi orang-orang kemudian dibuat takjub oleh suatu pemandangan aneh. Ketika keranda mayat perempuan itu diangkat dan digotong menuju ke pemakaman, terlihat sosok-sosok asing ikut mengantarkan jenazah. Mereka berjalan beriringan di belakang keranda. Iring-iringannya tak putus-putus, memenuhi semua jalan yang ada. Jumlah pengantar jenazah itu sudah tak bisa dihitung lagi. Sampai jenazah tiba di kuburan, sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah lautan manusia.

“Siapa mayat yang dikuburkan itu?” tanya seseorang yang akhirnya ikut terseret barisan pengantar jenazah ke pemakaman karena dibuat takjub oleh pemandangan aneh kepada orang tak dikenal yang ada di sampingnya.

“Dialah orang yang melapangkan jalan ke surga semua orang.”

“Ya, tapi siapa dia?”

“Dia orang baik. Kamilah saksinya.”

Yang bertanya hanya bisa menunduk dan mengelus dadanya. Dan sejak itu, tak ada lagi cerita tentang sosok asing yang selalu datang melayat pada setiap kematian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan