Surat tentang Ibu Tiri

712 kali dibaca

Pada sebuah pojok kota yang resah, kutemukan selembar kertas yang baru lepas dari terpaan angin yang gerah. Sepertinya sebuah surat yang tak beralamat. Aku duduk menyendiri, membacanya. Begini isinya:

Untuk lelakikecilku…

Advertisements

Aku baru paham kenapa calon ibu tirimu dulu, bertahun-tahun lalu, suka menyendiri ke kota kecil itu. “Aku cuma ingin mendengar suara lonceng. Tak lebih,” jawabnya setiap kali kutanya.

Dan karena itu ia tak pernah menjadi ibu tirimu. Kami selalu berselisih soal di kota mana kami akan menetap. Ia menginginkan tinggal di kota kecil itu. Dan aku berpikir, kita cuma akan membuang-buang waktu hidup di kota yang tak pernah menjanjikan banyak hal.

“Tapi bukankah kita dilahirkan tidak untuk menjadi budak sebuah kota, ketika kota-kota tumbuh menjadi sang tiran?”

Dan ia pun pergi ke kota itu. Di sana, hampir saban sore ia menghabiskan waktunya di sepanjang trotoar. Menyaksikan burung-burung yang kembali ke sarangnya. Melihat bayi-bayi yang manja dalam gendongan ibunya. Biasanya ia akan berhenti bila kakinya telah menyentuh pasir pantai di pinggiran kota. Dan hari akan selalu berganti. Dan hampir saban malam, ia akan menghabiskan waktunya di seputaran alun-alun kota. Menyaksikan para waria yang menjajakan cinta. Mengintip lelaki hidung belang mengendus-endus gincu tebal. Ah, sebuah kota memang sebuah koma —hidup yang tak pernah selesai. 

Dan kemudian ia akan duduk di sebuah sudut, untuk mulai menghitung waktu dan getarannya: ya, bunyi lonceng itu. Teng-teng-teng… Entah dari sebuah masjid atau gereja atau kantor kabupaten. Entah dari sebuah genta atau lonceng atau jam raksasa. Selalu, sekali dalam setengah jam: teng-teng-teng… bunyi itu selalu berdengung dan bergaung ke setiap sudut kota, dan selalu membuat perempuan yang urung jadi ibu tirimu itu tergetar. Juga merasa gentar pada hidup yang tak pernah selesai. 

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan