Surat tentang Ibu Tiri

726 kali dibaca

Pada sebuah pojok kota yang resah, kutemukan selembar kertas yang baru lepas dari terpaan angin yang gerah. Sepertinya sebuah surat yang tak beralamat. Aku duduk menyendiri, membacanya. Begini isinya:

Untuk lelakikecilku…

Advertisements

Aku baru paham kenapa calon ibu tirimu dulu, bertahun-tahun lalu, suka menyendiri ke kota kecil itu. “Aku cuma ingin mendengar suara lonceng. Tak lebih,” jawabnya setiap kali kutanya.

Dan karena itu ia tak pernah menjadi ibu tirimu. Kami selalu berselisih soal di kota mana kami akan menetap. Ia menginginkan tinggal di kota kecil itu. Dan aku berpikir, kita cuma akan membuang-buang waktu hidup di kota yang tak pernah menjanjikan banyak hal.

“Tapi bukankah kita dilahirkan tidak untuk menjadi budak sebuah kota, ketika kota-kota tumbuh menjadi sang tiran?”

Dan ia pun pergi ke kota itu. Di sana, hampir saban sore ia menghabiskan waktunya di sepanjang trotoar. Menyaksikan burung-burung yang kembali ke sarangnya. Melihat bayi-bayi yang manja dalam gendongan ibunya. Biasanya ia akan berhenti bila kakinya telah menyentuh pasir pantai di pinggiran kota. Dan hari akan selalu berganti. Dan hampir saban malam, ia akan menghabiskan waktunya di seputaran alun-alun kota. Menyaksikan para waria yang menjajakan cinta. Mengintip lelaki hidung belang mengendus-endus gincu tebal. Ah, sebuah kota memang sebuah koma —hidup yang tak pernah selesai. 

Dan kemudian ia akan duduk di sebuah sudut, untuk mulai menghitung waktu dan getarannya: ya, bunyi lonceng itu. Teng-teng-teng… Entah dari sebuah masjid atau gereja atau kantor kabupaten. Entah dari sebuah genta atau lonceng atau jam raksasa. Selalu, sekali dalam setengah jam: teng-teng-teng… bunyi itu selalu berdengung dan bergaung ke setiap sudut kota, dan selalu membuat perempuan yang urung jadi ibu tirimu itu tergetar. Juga merasa gentar pada hidup yang tak pernah selesai. 

Dentang lonceng yang terus berdengung, bergaung, rutin, itu membuat setiap sudut kota runduk pada titah sang waktu. Seperti semua penghuni lainnya, ia juga merasa hadir dan intim dengan kota itu —karena bunyi lonceng itu selalu menghidupkan gagasan tentang sang waktu, katanya. 

Ia juga sering berkabar tentang kotanya. Di kota itu ia benar-benar merasa hidup. Begitu hidup. Selalu saja, katanya, ada yang membuatnya tergetar. Juga gentar. Juga waswas. Atau resah dan terkikik-kikik. Sebuah kota yang kompleks namun intim. Sebuah kota, katanya, kadang-kadang memang harus lucu! Juga tengik! Atau semrawut dan hiruk. Kota tak harus selalu gagah, mentereng, wibawa, rapi, tertib, dan necis. Sebab, katanya, pada kota-kota seperti itu biasanya gagasan telah lama tidur dalam kubur. Dan hidup di kota di mana gagasan telah menjadi nisan, seperti hidup di bawah timbunan tanah makam. 

Ia, Nak, mengingatkan pada Athena, pada Yunani, sekitar empat ratus tahun sebelum Sang Penebus Dosa lahir di bumi ini. Aleksander Agung memang telah menaklukkannya. Tapi ia serta-merta tak menghancurkan Athena, tak mengubur Yunani —seperti kebiasaan kaum penakluk. Ketika menginjakkan kaki di tanah taklukannya itu, Aleksander baru paham kata-kata Aristoteles: bahwa Athena, bahwa Yunani, bukanlah sebuah kota atau negara, melainkan gagasan. Dan setiap gagasan akan selalu lebih besar dari orang yang melahirkannya. Dan, seorang Aleksander pun tergetar oleh kota yang dibangun di atas gagasan sebagai fondasinya. Itulah kenapa sebuah kota mesti dibangun, atau dipilih, dan kemudian kita menghuninya.

Nak, entah kapan, pada saatnya aku ingin mengajakmu tinggal di sebuah kota yang setiap sudutnya adalah gagasan, bukan comberan —seperti kota di mana calon ibu tirimu kini tinggal. Di sana kau akan bisa tumbuh dan berkembang di antara lalu lintas gagasan yang, terkadang, akan membuatmu terus tergetar, terus gentar, juga waswas dan gelisah atau resah, terkikik atau terbahak, frustrasi atau yakin —karena setiap dentang lonceng akan selalu mengabarkan mungkinnya sebuah perubahan. Tidak seperti kota yang kini kutinggali: untuk sekadar tersenyum pun kita telah kehabisan ruang.

Tapi entahlah. Mungkin letak kota itu memang berada jauh di masa lalu atau nun di masa depan sana….

Dentang lonceng mengagetkanku, membuat kertas lusuh itu terlepas, dan terbang terbawa angin yang bertiup deras. Aku berlari mengejarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan