Salah Kaprah Khilafah

1,043 kali dibaca

Menyikapi berbagai fenomena di dunia akhir-akhir ini membuat berbagai kalangan umat Islam mengalami kegalauan tentang suatu sistem pemerintahan. Banyak kalangan yang telah terjerumus dalam penegakan sistem khilafah dan menentang sistem demokrasi Pancasila yang telah berlangsung. Kekurangan pemahaman ilmu agama menjadi salah satu penyebab seseorang terjebak dalam gelombang penyebaran paham khilafah.

Tokoh Islam yang pro maupun yang kontra dengan sistem khilafah bukanlah penderita amnesia terhadap sejarah. Perbedaan pendapat antara kedua belah pihak dapat dipertemukan dengan pengambilan pelajaran dari sejarah (ibrah) serta kondisi umat Islam pada zaman sekarang.

Advertisements

Pihak yang pro-khilafah seakan acuh terhadap sejarah kelam khilafah serta menginginkan untuk menerapkannya di zaman sekarang. Mereka hanya menyebutkan kegemilangan umat Islam dengan berlakunya sistem khilafah tanpa berdasar perimbangan sejarah yang jelas. Kondisi demikian membuat sebagian kalangan terjerumus dalam organisasi yang setuju dengan penegakan khilafah.

Sementara pihak yang kontra terhadap sistem khilafah peka terhadap realitas umat Islam sekarang serta menghubungkan dengan sejarah khilafah, sehingga menganggap lebih tepat bentuk pemerintahan adalah nation-state. Apabila khilafah ditegakkan dan mengganti nation-state, hal ini akan memperkeruh keadaan dan akan memecah belah umat Islam yang berpotensi terjadi pertumpahan darah. Karena nation-state telah berjalan dengan damai dan tentram dan kini sudah mulai mapan. Kemaslahatan umat Islam harus diutamakan sebagai pertimbangan dari kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk.

Selain itu, sejarah kelam khilafah harus dijadikan pelajaran berharga untuk tidak terulang kembali. Pengalaman adalah guru terbaik. Semboyan itulah yang menjadi acuan dalam menjalankan sesuatu yang baru dan telah terjadi di masa lampau. Karena sebagian kelompok beranggapan bahwa, sistem khilafah adalah sistem terbaik. Padahal, kelompok tersebut pada dasarnya menyerukan sistem sekuler tanpa mencermati kerusakan di dalamnya. Sejarah pun telah membuktikan bahwa tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini, termasuk sistem khilafah.

Sejarah Islam telah mencatat hanya khalifah pertama Abu Bakar As-Siddiq yang wafat dengan tenang, sementara tiga khalifah setelahnya mati terbunuh pada saat memangku tampuk kekhilafahan. Umat Islam meyakini hanya empat atau lima orang yang berhak dianggap sebagai khalifah Islam sebenarnya, yaitu:Abu Bakar As-Siqqiq, Umar bin Kattab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz (Sebagian orang tak menganggap Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah kelima, karena khalifah hanya ada empat).

Setelah kepemimpinan khalifah tersebut, terjadi penulisan sejarah hitam yang seharusnya dijadikan pelajaran untuk tidak terulang kembali. Konflik internal kerap terjadi pada masa kekhalifahan pasca khulafaur rasyidin, umat Islam yang menyuburkan benih-benih kekacauan di tengah-tengah umat Islam, apalagi pada masa sebagian para khalifah otoriter yang memaksakan kebijakan politik terhadap umat Islam. Bahkan, menghalalkan darah sesama muslim atas nama khilafah.

Sebagian besar khalifah dinasti Umawiyah dan Abbasiyah adalah khalifah-khalifah otoriter. Pada dinasti Umawiyah, misalnya, Sulaiman Fayyaḍ menyebut nama-nama berikut ini sebagai khalifah-khalifah otoriter: Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Mu’awiyah I, Mu’awiyah II, Marwan bin al-Ḥakam, Abdul-Malik bin Marwan, Al-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisham bin Abdul Malik, Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik, Yazid bin Al-Walid, Ibrahim bin Al-Walid, dan Marwan bin Al-Ḥakam.

Sedangkan, pada dinasti Abbasiyah, yaitu Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Manṣur, Al-Mahdi, Al-Hadi, Harun Al-Rashid, Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’taṣim, Al-Wathiq, AlMutawakkil, Al-Muntaṣir, Al-Musta’in, Al-Mu’taz, Al-Muhtadi, AlMu’tamid, Al-Mu’tadid, Al-Muktafi, Al-Muqtadir, Al-Qahir, AlRaḍi, Al-Muttaqi, dan Al-Mustakfi.

Fakta sejarah inilah yang menunjukkan adanya kesenjangan antara Islam normatif dengan Islam historis. Argumen kelompok yang pro-khilafah ialah, para khalifah tersebut jauh dari doktrin Islam sehingga tidak sah dijadikan argumentasi untuk menolak sistem khilafah. Karena, menurut mereka, selain menentang praktik-praktik salah para khalifah tersebut, Islam juga mewajibkan penegakan sistem khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang sah bagi umat Islam.

Bahkan mereka membolehkan pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan dengan paksa terhadap suatu pemerintahan yang tidak sejalan dengan sistem khilafah Islam, sehingga tidak heran bila kelompok ini tidak diakui di Saudi Arabia dan Baghladesh, padahal Saudi Arabia merupakan salah satu jantung peradaban Islam.

Beberapa sanggahan dari argumentasi tersebut, di antaranya, pertama, persoalan sistem khilafah masih debateable atau khilafiyah di antara para cendekiawan Islam. Sebagian cendekiawan memandang bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu, tetapi Islam menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menentukan sendiri sistem pemerintahan yang mereka kehendaki, asalkan nilai-nilai Islam tetap dilestarikan.

Sebagai bukti, Rasulullah SAW tidak menunjuk langsung pengganti atau khalifah setelah beliau wafat. Kalau memang Islam mewajibkan sistem khalifah sebagaimana sebagian kelompok Islam meyakininya, maka wajib bagi Rasulullah SAW untuk menunjuk pengganti beliau dan sistem pemerintahan tertentu, karena kalau tidak beliau berdosa karena meninggalkan sebuah kewajiban agama, dan ini mustahil.

Kedua, tidak adanya metode baku pemilihan khalifah yang diterapkan sepanjang sejarah kekhilafahan Islam sejak kekhilafahan Abu Bakar As-Siddiq hingga kekhilafahan terakhir Turki Utsmani. Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah dengan cara musyawarah, ‘Umar bin Khattab dengan penunjukan langsung dari Abu Bakar As-Siddiq, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib dengan musyawarah, dan para khalifah setelahnya dengan metode warisan kekuasaan bahkan dengan perebutan kekuasaan dengan kudeta berdarah.

Fakta ini menunjukkan tidak adanya aturan baku pemilihan khalifah yang mengisyaratkan bahwa Islam menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk menentukan sendiri sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Kalau Islam tidak menentukan metode tertentu pemilihan khalifah yang merupakan persoalan utama sistem khilafah, apalagi peraturan-peraturan lainnya.

Ketiga, bila sistem khilafah merupakan sistem pemerintahan terbaik, maka sudah pasti akan tetap bertahan, menghasilkan pemerintahan yang bersih, dan umat Islam akan hidup dengan aman dan sejahtera di bawah sistem khilafah. Tidak mungkin sebuah sistem yang baik apalagi yang terbaik akan mudah digoyah lalu runtuh, menghasilkan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan rakyatnya hidup ketakutan di bawah tekanan politik dan menderita.

Fakta sejarah justru mencatat sebaliknya. Sistem khilafah yang diakui mayoritas umat Islam hanya bertahan empat masa kekhilafahan pertama dan setelah itu bukan sistem khilafah tetapi lebih tepat dikategorikan sebagai sistem kerajaan monarki hereditas. Meskipun kekhilafahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan hingga kekhilafahan terakhir Turki Utsmani sebagai wujud dari sistem khilafah, tetapi itu justru membuktikan bahwa sistem khilafah tidak mampu bertahan bahkan tumbang untuk yang terakhir pada tahun 1924 M.

Keruntuhan khilafah dan peralihan dari suatu dinasti ke dinasti lainnya sebagian disebabkan oleh kesewenang-wenangan, otoriterianisme, kegermelapan hidup, dan kuatnya nafsu politik yang mengalahkan spiritualitas sebagai khalifah. Sebagai dampaknya sebagian umat Islam tidak bisa hidup tenang karena tekanan politik dan perang saudara yang sering terjadi. Beberapa fakta ini menggugurkan kleim sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan terbaik.

Keempat, sistem khilafah mengandaikan bersatunya umat Islam di bawah kekuasaan seorang khilafah. Ini sangat mustahil dengan beberapa pertimbangan. Umat Islam yang kini terpecah-pecah dalam beberapa kelompok baik kelompok teologi atau kelompok fikih mustahil akan sepakat terhadap sebuah konsep khilafah yang diyakini sebuah kelompok, apalagi mengakui seorang khalifah yang mereka tawarkan.

Bagaimanapun juga konsep khilafah berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Padahal ini baru pada lingkaran kelompok-kelompok Sunni saja dan belum mencakup Syiah yang mempunyai konsep pemerintahan yang sangat berbeda.

Alih-alih kelompok-kelompok tersebut mengakui keabsahan seorang khalifah dari sebuah kelompok, sebuah konsep khilafah dari sebuah kelompok saja bisa dipastikan ditolak mentah-mentah oleh kelompok lain. Tidak ada jaminan sebuah kelompok akan menerima konsep sistem khilafah kelompok lain, apalagi persoalan khilafah bernuansa sangat politis yang dapat menguntungkan sebuah kelompok serta merugikan kelompok lain. Tindakan menguntungkan sebuah kelompok meniscayakan tindakan merugikan kelompok lain, padahal seluruh kelompok tidak ingin dirugikan.

Kelima, umat Islam kini sudah mulai mapan dengan bentuk pemerintahan nation-state. Bila saat ini mereka dipaksa melebur dalam sistem khilafah, maka perselisihan di antara mereka lebih niscaya dari persatuan mereka. Dalam hal ini, seharusnya umat Islam meniru orang Eropa yang memperkuat bentuk nation-state terlebih dahulu kemudian membentuk Uni Eropa sebelum tergesa-gesa mendirikan khilafah. Ini lebih realistis. Kalau tidak, maka cita-cita mendirikan khilafah Islam tidak lebih dari mimpi belaka, apalagi dilihat dari beberapa aspek mayoritas umat Islam saat ini belum siap menerima sistem khilafah.

Mimpi memang bisa diwujudkan sebagai kenyataan, tetapi tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, apalagi pendirian khilafah Islam termasuk mimpi besar. Sebelum mendirikan khilafah Islam, umat Islam harus melalui beberapa langkah; semakin memperkokoh bentuk nation-state, meminimalisasi perselisihan di antara mereka dan mencari titik temunya dengan duduk bersama mendiskusikan konsep khilafah yang akan diterapkan, melepaskan fanatisme kelompok, menghindari nafsu politik yang berlebihan, dan selalu berusaha memahami realitas umat Islam saat ini dan memperjuangkannya terlepas dari perbedaan bendera mereka. Bila langkah-langkah ini tidak ditempuh, maka cita-cita untuk mendirikan khilafah Islam sangat sulit diwujudkan bahkan absurd.

Kesalahan fatal kelompok yang memperjuangkan khilafah seperti Hizbut Tahrir adalah selain tidak melalui langkah-langkah tersebut, pemikiran dan sikap mereka juga terkesan eksklusif. Oleh karena itu, jangankan mendapatkan simpati kelompok lain untuk bersama-sama memperjuangkan khilafah, malah menuai kecaman dari mana-mana.

Mereka bukannya memersatukan umat Islam, tetapi malah membuat umat Islam semakin terpecah-belah. Anehnya, mereka juga sering terlibat dalam perselisihan. Mereka ibarat sekumpulan orang yang mendirikan sebuah kelompok yang bercita-cita memersatukan umat Islam, tetapi mereka tidak sadar bahwa kehadiran kelompok mereka justru akan lebih memperkeruh ketegangan internal umat Islam.

Urgensi khilafah dalam ranah politik Islam sebagai simbol pemersatu kaum Muslimin dan lambang kejayaan umat Islam di masa silam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab mereka. Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa khilafah bukan termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.

Hujjatul Islam al-Ghazali berkata: Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fikih (ijtihad ulama). Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya.

Menarik, fatwa al-Azhar juga menegaskan bahwa: Sistem khilafah, imarah, pemerintahan, presiden republik dan lainnya adalah sekedar sebuah istilah, bukan termasuk nama dalam agama dan bukan hukum agama. Wallahu A’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan