Mak Irah Ingin Pulang

Mak Irah Ingin Pulang

1,163 kali dibaca

Mak Irah mengibas-ngibaskan kalender bekas agar udara dapat mengangini wajah dan lehernya. Keringat mengalir di sekujur tubuh. Tangan Mak Irah satu lagi menarik ulur kerah bajunya yang tipis dan panas agar udara dapat lebih leluasa masuk.

Mak Irah memejam mata barang sejenak. Ia menarik napas pelan-pelan, melegakan dada ringkihnya yang kian hari makin menyempit. Jeritan anak-anak yang melintasi kontrakan anak lanangnya tiba-tiba mengacaukan pikiran Mak Irah. Ada yang berteriak, menangis, tertawa terpingkal-pingkal, ditambah suara kemerosok dari mesin bajaj yang lewat di depannya membuat kuping Mak Irah kepanasan.

Advertisements

“Mak tidak mau pindah, Gus.” Kalimat itu pernah terucap dari bibir Mak Irah. Agus, anak lanang Mak Irah satu-satunya, mengusap bahu maknya. Ia pandangi wajah maknya yang sudah rimpuh sambil bersimpuh.

“Agus hanya ingin berbakti sama Mak,” ucap Agus sepekan lalu. Suaranya sedikit memarau. Mak Irah tidak kuasa menahan bulir-bulir bening menjelanak dari sudut matanya. Sejak kepulangannya ke kampung halaman, Agus terus-menerus membujuk maknya yang memilih tinggal sendiri sejak bapaknya meninggal lantaran penyakit strok. Agus sendiri tidak mengerti, mengapa maknya begitu kukuh memilih tinggal di desa terpencil itu.

“Mak temani Surti di rumah sekaligus momong cucunya Mak,” lanjut Agus.

Mak Irah beralih pandang menatap perut Surti, menantunya yang telah hamil enam bulan. Tentu ia amat ingin menggendong cucu pertamanya yang sudah dinanti selama dua tahun sejak awal pernikahan anak lanangnya. Maka, Mak Irah pun melunak hatinya; menerima tawaran untuk tinggal di Jakarta bersama anak dan menantunya.

Mak Irah sering mendengar cerita dari saudara dan tetangganya yang pernah merantau ke Jakarta. Di Jakarta penuh kemegahan dan kemewahan. Mau apa-apa pasti ada. Semua serba canggih dan menawarkan berbagai kenikmatan.

Dari hati Mak Irah yang paling dalam, ia dari dulu ingin sekali ke Jakarta menengok anak lanangnya. Setamat SMP, Agus dibawa pakdenya bekerja di Jakarta. Paling cepat Agus pulang tiga tahun sekali menengok mak dan bapaknya. Namun, Mak Irah dan suami terbentur ongkos pulang-pergi yang terbilang cukup mahal bagi orang-orang di bawah garis kemiskinan seperti mereka.

Setibanya Mak Irah di Terminal Pulogadung, ia tidak menunjukkan kesan apapun. Terlebih ketika anak lanangnya memesan satu bajaj untuk bertiga, Mak Irah mulai menampakkan gelagat tidak nyaman. Kota yang kumuh, bacin, dan panas, begitu kira-kira perasaan yang menggerayangi benak Mak Irah setibanya di kontrakan anak lanangnya.

Semua benar-benar di luar otak Mak Irah. Dalam benaknya, anak lanangnya membawa Surti tinggal di rumah yang paling tidak bertingkat dua, bukan di rumah kontrakan kecil sepengap itu. Mak Irah memang tidak pernah bertanya apa pekerjaan anak lanangnya. Pun, Agus tidak pernah bercerita apa-apa, selain uang lima ratus ribu yang tiap bulan rutin dikirimkan kepada maknya.

Keterkejutan Mak Irah kian bertambah saat mengetahui di belakang rumah kontrakan anak lanangnya berupa sungai yang airnya hitam kental dan menguarkan bau busuk. Di sekeliling sungai berderet-deret rumah kontrakan sejenis yang jika musim hujan tiba menjadi langganan banjir.

***

Mak Irah bangkit pelan-pelan dari duduknya. Kepalanya pusing mendengar kegaduhan di luar. Ia mendorong tuas pintu yang kebetulan tidak dikunci oleh Surti untuk memudahkan mertuanya keluar masuk. Surti sendiri tidak ada di rumah. Ia bekerja sebagai buruh cuci panggilan. Penghasilannya tidak menentu. Namun, setidaknya bisa menambah tabungan untuk biaya persalinan nanti.

Mak Irah merebahkan diri di sofa ruang tamu. Bokongnya langsung panas menempel karpet sofa, meski sudah terhalang jarik kemban. Wajar saja, sofa anak lanangnya berharga murah yang hanya diisi potongan kain perca.

Belum genap satu minggu Mak Irah tinggal di rumah kontrakan anak lanangnya, ia sudah tidak betah. Setiap malam dirinya susah tidur. Berbeda dengan udara di desa, Mak Irah belum bisa beradaptasi dengan udara Jakarta. Belum lagi kawanan nyamuk membabi buta menggigit kulit Mak Irah yang rupanya lebih ganas daripada nyamuk-nyamuk di kebunnya. Mak Irah menggeram. Bibirnya tidak henti-hentinya menyumpah-serapah binatang laknat taktahu diri itu.

Berhari-hari Mak Irah hanya keluar masuk kontrakan yang sama sekali tidak ada yang membuatnya nyaman. Mak Irah tidak terbiasa duduk berleha-leha. Tulang-tulangnya terasa remuk jika tidak digunakan bekerja. Sudah dua hari Mak Irah kurang enak badan. Ia mencoba memejamkan mata sejenak, mana tahu bisa menggantikan waktu tidurnya yang sudah banyak tersita sejak tiba di Jakarta.

Bila di desa, di waktu-waktu serupa ini Mak Irah telah gegas membawa kakinya ke kebun. Kendati sudah tidak berusia muda lagi, Mak Irah masih teringkas melakukan berbagai pekerjaan. Ia akan mencarikan rumput gajah untuk kedua kambing betinanya, yang mana satu telah bunting besar dengan perkiraan beranak dua. Sepulang mencari rumput, Mak Irah memetik daun melinjo yang masih muda dan memetik babal jika ada. Daun melinjo dan babal akan dimasak dengan santan. Lalu, Mak Irah menikmatinya berdua dengan sang suami.

Namun, aktivitas Mak Irah di desa tinggal kenangan lamur dalam ingatannya yang mulai menurun. Ia sudah tidak punya kambing lagi. Bahkan, belum sempat Mak Irah bersuka cita mengurus bayi kambing, kedua kambingnya terpaksa harus meninggalkan kandang Mak Irah yang telah menanungi mereka bertahun-tahun. Kambing yang masih muda dipotong untuk menjamu para pelayat sekaligus hidangan acara tujuh harian meninggalnya sang suami. Sementara kambing yang bunting dijual karena tidak ada yang mengurusi lagi, sekaligus untuk ongkos naik bus ke Jakarta.

***

Mata Mak Irah perlahan mengerjap-ngerjap setelah tiga kali bahunya ditepuk-tepuk. Diiringi dengan suara lembut menelusup telinga. Mak Irah mengenali siapa pemilik suara tersebut. Senyum simpul tepat berada di hadapan Mak Irah yang tidak lain adalah Surti. Sepasang lengkung alisnya menenteramkan siapa pun yang menatapnya.

“Sudah sore, Mak,” katanya lembut.

Mak Irah bangkit. Surti berpindah posisi. Ia duduk di sofa sembari memijat lengan mertuanya.

“Mak tidak betah di sini, Ti.” Kalimat itu akhirnya terlontar juga. Berhari-hari Mak Irah hendak mengutarakannya, namun takut menyakiti hati anak lanang dan menantunya. Tetapi, kali ini tidak bisa ia tahan lagi. Mak Irah benar-benar tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Sesungguhnya, ia pun tidak habis pikir dengan tetangga dan kerabatnya yang amat mengagung-agungkan kota itu. Apa yang mereka cari di tempat nyamuk ganas bersarang, berbau bacin, pengap, dan bising itu? Mak Irah tidak ingin memeras otaknya untuk sebuah jawaban yang dirinya sendiri tidak paham.

“Ini tadi Surti beli nasi goreng di depan sana. Dari kemarin Mak makannya cuma sedikit. Nasi goreng ini kesukaannya Mas Agus, semoga Mak juga suka.” Surti berusaha mengalihkan pembicaraan. Sesuai amanah suami, ia harus memperlakukan mertuanya baik-baik agar betah tinggal di Jakarta.

Di tangan Surti sudah ada sepiring nasi goreng kambing lengkap dengan kerupuknya. Surti baru hendak menyuapi, mulut Mak Irah justru enggan terbuka. Hidungnya kembang-kempis mengendus aroma yang ada. Nasi yang telah disendok Surti tetapi belum sempat disuapkan dikembalikan lagi. Surti menaruh piringnya. Mak Irah tetap tidak mau makan.

Agus tiba di rumah kontrakan setelah mendapatkan telepon dari istrinya. Surti sedemikian bingung hingga terpaksa Agus yang masih dalam jam kerja meminta izin kepada atasannya untuk pulang lebih awal.

Agus membawa martabak telur untuk maknya. Ia beli sebelum memasuki gang kontrakan. Namun, lagi-lagi Mak Irah tidak mau makan. Perut Mak Irah tidak biasa diisi makanan yang aneh-aneh. Ia hanya biasa makan singkong atau talas rebus. Paling mewah pisang rebus yang buahnya dipetik langsung dari kebunnya sendiri.

Pun, Mak Irah hanya terbiasa memasak nasi goreng bawang; tanpa telur orak-arik, tanpa kecap, dan tanpa kerupuk. Tenggorokannya belum pernah menelan nasi goreng kambing yang kata anak menantunya lezat itu. Bahkan, Mak Irah tidak suka air minum kemasan seperti yang disuguhkan padanya setiba di Jakarta. Ia lebih suka minum air sumur yang dijerang sendiri, lalu diletakkan di dalam kendi untuk diminum esok hari.

Hati Mak Irah menghitung-hitung angka dengan jemarinya, serupa zikir untuk mendinginkan tubuhnya yang panas. Sudah berapa hari ia di Jakarta? Rasa-rasanya telah seabad Mak Irah melihat wajah Jakarta yang benar-benar di luar dugaannya. Benak Mak Irah pun hendak berkata: Mengapa tidak pulang saja, Gus? Ajak istrimu tinggal di desa. Biaya persalinan di sana lebih murah. Bersama Mak, menanam padi dan merawat kambing. Tapi, mulut Mak Irah tidak kuasa melontarkannya.

Ada penyesalan yang menyeruak seketika dalam dada Agus. Sejatinya ia hanya ingin membersamai maknya di hari-hari tuanya. Ia tidak ingin maknya tinggal sendirian jauh di lereng bukit. Namun, semenjak diboyong ke Jakarta, maknya justru tidak mendapatkan kebahagiaan sedikit pun.

“Mak mau apa?”

Ia menggeleng.

“Mak mau jalan-jalan lihat kota Jakarta?”

Ia diam.

“Kalau ketoprak?” celetuk Surti tiba-tiba.

Ucapan Surti disambut semringah oleh mertuanya. Rasa tidak betah yang menggiring keinginannya untuk pulang ke desa berangsur memudar. Kembali cerita kerabat dan tetangganya tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju agar terlihat lebih pantas.

Mak Irah rindu masa-masa itu. Ketika ia kerap menonton pertunjukan ketoprak di lapangan kecamatan bersama suaminya. Membeli kacang rebus lalu dinikmati bersama sembari melihat teater rakyat. Kendati sudah banyak yang lenyap, namun di kecamatan yang menaungi dusun Mak Irah, masih sering menampilkan kesenian ketoprak.

Agus membawa mak dan istrinya jalan-jalan dengan memesan bajaj. Kemegahan kota seketika menyihir mata Mak Irah. Di Jakarta tidak ada bedanya antara siang dan malam. Di mana-mana terang benderang, tidak seperti di desanya ketika sudah melewati pukul sembilan malam suasana gelap dan sepi bagai di rimba belantara.

Bajaj berhenti di depan deretan warung makan. Agus menuntun pelan-pelan maknya berjalan. Ia memesan tiga porsi ketupat yang disiram bumbu kacang lengkap dengan taoge dan bihun. Tidak disangka, Mak Irah begitu lahap memakannya. Agus sedikit bisa bernapas lega.

Usai makan, Agus kembali mengajak maknya jalan-jalan agar tidak suntuk. Ia kenalkan gedung-gedung megah, patung yang menjulang, dan nama jalan yang bersejarah. Maknya tidak terlalu paham, namun setidaknya bisa sedikit menghiburnya.

“Di mana ketopraknya? Kapan dimulai?” lontar Mak Irah tiba-tiba. Ia baru teringat ucapan anak menantunya sebelum pergi.

Agus dan Surti bertukar pandang. Mak Irah yang duduk di tengah turut kebingungan melihat ekspresi keduanya. Surti melirik kantung keresek yang sedari tadi masih menggantung di tangan kirinya. Sebelum meninggalkan warung, ia sempat memesan satu porsi ketoprak lagi untuk dibawa pulang.

“Nanti dimakan lagi di rumah, ya, Mak.”

***

KOMPAK Yogyakarta, Februari 2022

Multi-Page

Tinggalkan Balasan