Mak Irah Ingin Pulang

Mak Irah Ingin Pulang

1,022 kali dibaca

Mak Irah mengibas-ngibaskan kalender bekas agar udara dapat mengangini wajah dan lehernya. Keringat mengalir di sekujur tubuh. Tangan Mak Irah satu lagi menarik ulur kerah bajunya yang tipis dan panas agar udara dapat lebih leluasa masuk.

Mak Irah memejam mata barang sejenak. Ia menarik napas pelan-pelan, melegakan dada ringkihnya yang kian hari makin menyempit. Jeritan anak-anak yang melintasi kontrakan anak lanangnya tiba-tiba mengacaukan pikiran Mak Irah. Ada yang berteriak, menangis, tertawa terpingkal-pingkal, ditambah suara kemerosok dari mesin bajaj yang lewat di depannya membuat kuping Mak Irah kepanasan.

Advertisements

“Mak tidak mau pindah, Gus.” Kalimat itu pernah terucap dari bibir Mak Irah. Agus, anak lanang Mak Irah satu-satunya, mengusap bahu maknya. Ia pandangi wajah maknya yang sudah rimpuh sambil bersimpuh.

“Agus hanya ingin berbakti sama Mak,” ucap Agus sepekan lalu. Suaranya sedikit memarau. Mak Irah tidak kuasa menahan bulir-bulir bening menjelanak dari sudut matanya. Sejak kepulangannya ke kampung halaman, Agus terus-menerus membujuk maknya yang memilih tinggal sendiri sejak bapaknya meninggal lantaran penyakit strok. Agus sendiri tidak mengerti, mengapa maknya begitu kukuh memilih tinggal di desa terpencil itu.

“Mak temani Surti di rumah sekaligus momong cucunya Mak,” lanjut Agus.

Mak Irah beralih pandang menatap perut Surti, menantunya yang telah hamil enam bulan. Tentu ia amat ingin menggendong cucu pertamanya yang sudah dinanti selama dua tahun sejak awal pernikahan anak lanangnya. Maka, Mak Irah pun melunak hatinya; menerima tawaran untuk tinggal di Jakarta bersama anak dan menantunya.

Mak Irah sering mendengar cerita dari saudara dan tetangganya yang pernah merantau ke Jakarta. Di Jakarta penuh kemegahan dan kemewahan. Mau apa-apa pasti ada. Semua serba canggih dan menawarkan berbagai kenikmatan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan