Lelaki Pemetik Buah Kebohongan

1,121 kali dibaca

Andre hanya bisa duduk terdiam di pojok kamar sambil menutup kedua matanya dengan bantal. Meski keinginan untuk memburu kupu-kupu kuning ke lereng kebun siwalan tetap ada di hatinya, tapi ia tak berani keluar, dan terpaksa harus mengurungkan niatnya dengan dada yang sesak. Beberapa kali ibunya membujuk untuk keluar, tapi ia menggeleng. Kalau pun mau melihat, ia pasti sebatas menoleh ke arah jendela dengan wajah yang diliputi rasa takut.

Ia melakukan itu semua karena takut pada seekor buaya yang merayap di dahan lengkeng yang tumbuh di dekat jendela rumahnya, sebagaimana yang diceritakan ayahnya pagi tadi setelah ia pamit untuk memburu kupu-kupu sembari memegang jaring yang dilingkari kerangka kawat.

Advertisements

Sedang Suma, ayah Andre, tersenyum melihat anaknya yang berusia lima tahun itu ketakuatan. Ia pun berkesimpulan bahwa kebohongan punya kekuatan sepuluh kali lebih dahsyat daripada sepuluh kali sabetan gagang sapu ke punggung Andre. Hanya kalimat bohong yang mampu menahan Andre untuk tidak selalu keluar rumah. Itulah sebabnya, Suma kini tak perlu lagi menyediakan gagang sapu, cemeti, atau seutas rotan yang biasanya digunakan untuk memukul—atau kadang sekadar menakut-nakuti—Andre agar tidak keluar rumah. Kini ia cukup menyiapkan kalimat bohong yang tentu setiap waktu—atau minimal setiap hari—redaksi bahasanya harus diubah demi memengaruhi pikiran Andre agar percaya.

Sejak tiga bulan terakhir, Andre punya kebiasaan unik yang kerap ia lakukan saat bermain dengan taman-temannya. Kebiasaan itu antara lain mandi pasir, makan serangga yang dibakar, dan mengunjungi kuburan. Kebiasaan itulah yang membuat Suma selalu melarang Andre agar tidak keluar rumah.

“Papa selalu menakut-nakuti Andre dengan kata-kata bohong supaya tidak keluar rumah. Apa salahnya kalau dia keluar rumah untuk bermain, Pa? Bermain adalah dunia anak, Pa, di sanalah ia akan belajar bersosialisasi,” ujar Yumi kepada Suma di ruang tamu seraya memegang sepiring nasi, setelah nyaris putus asa karena tak berhasil membujuk Andre untuk makan malam.

“Aku sebenarnya tak mempermasalahkan bermainnya, Ma. Aku mempermasalahkan kebiasaan buruk anak kita itu. Aku berbohong demi menyelamatkan anak kita, Ma,” jawab Suma sambil melabuhkan kepalanya ke sandaran kursi.

“Aku tak mempermasalahkan kebohonganmu, Pa. Aku mempermasalahkan caramu yang menakut-nakuti,” Yumi menaruh piring di meja agak kasar hingga sendok di atasnya bergemerincing. Keadaan sejenak hening.

“Baiklah, Ma. Besok misalnya Andre kembali nakal dan ingin selalu bermain, aku tidak akan menakut-nakuti dia, tapi tetap akan kusiasati dengan kalimat bohong.”

“Kalau tidak dengan kalimat bohong kenapa, Pa? Aku rasa itu lebih tepat untuk mendidik anak.”

Suma tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Yumi. Sebentar keduanya saling tatap dalam jarak dekat, seperti menukar perasaannya masing-masing.

“Anak zaman sekarang terlalu licik, Ma. Orangtua bisa mengalahkannya hanya dengan kebohongan. Dan semua itu dilakukan demi kebaikan bersama, Ma.”

“Kalau aku berpikir sebaliknya, Pa. Orang tua sekarang yang terlalu banyak bohong kepada anaknya sehingga anaknya banyak yang licik.”

“Ma! Jangan bicara sembarangan ya!” bentak Suma kepada Yumi. Kedua matanya terbelalak.

#

Butuh waktu setengah bulan bagi Andre untuk menjalani hidup wajar tanpa ketakutan. Ia mulai bisa keluar rumah meski kadang tiba-tiba pandangannya terpaku cemas pada dahan lengkeng di dekat jendela, seraya mengamati dan berharap buaya yang diceritakan ayahnya itu tak ada lagi.

Dengan cekat Suma mencatat bahwa satu kalimat bohong yang dipakai menakut-nakuti Andre punya kekuatan setengah bulan untuk menahan Andre dalam kamar. Setengah bulan berikutnya Suma kembali membuat oretan di atas kertas, mencoba menyusun kalimat bohong lainnya, ia juga mengingat pesan istrinya agar dalam kalimat itu tidak ada unsur menakut-nakuti.

Suma menyimpan selipat kertas berisi oretan kalimat bohong itu di bawah kasur, sambil lalu ia memantau Andre lewat jendela.

Beberapa hari setelah berani keluar rumah, Andre kembali bisa bermain dengan teman-temannya. Main jumpalitan, kejar-kejaran, tinju-tinjuan hingga jual-jualan. Setiap hari, rumah Andre selalu ramai dengan suara teman-temannya. Suara bocah-bocah itu sering membuat Suma tidak bisa tidur siang. Tak jarang ia mendatangi bocah-bocah itu lalu marah-marah. Tanpa disengaja, ia kerap menyebut kembali perihal buaya yang merayap di dahan lengkeng.

“Kalau kalian masih ribut, buaya di dahan lengkeng itu akan turun ke beranda ini,” bentak Suma dengan nada kasar.

Anak-anak malah tertawa mendengar ucapan Suma, Andre pun tak lagi takut. Ia juga tersenyum dan mulai tahu bahwa apa yang dikatakan ayahnya hanya bualan belaka.

“Saya tadi ngecek pohon itu tidak ada buayanya kok, Pa,” Jawab Andre polos.

“Ya, mana ada buaya merayap di pohon lengkeng. Hanya orang tidak waras yang bilang begitu,” sambung anak berambut kriting di samping Andre.

“Hahaha.” Semuanya tertawa.

Suma menutup pintu dengan keras.

Berminggu-minggu Andre mengajak teman-temannya bermain di rumahnya. Pada suatu waktu, mereka kembali bermusyawarah untuk memburu kupu-kupu kuning di lereng kebun siwalan. Suma menguping dari kamar sebelah, melalui lubang kunci.

Suma terperanjat mendengar kabar itu. Ia lalu mengambil lipatan kertas di bawah kasur, membaca beberapa kalimat yang telah ia oret di kertas itu, dan memilih kalimat bohong yang berupa janji, bukan yang menakut-nakuti.

#

“Andre!, jika kamu tidak keluar rumah, ayah akan membelikan sepeda bagus untukmu,” bujuk Suma santun, meski di hatinya ia sadar ucapan itu sekadar bohong belaka. Mendengar ucapan itu, Andre menoleh dan berlari mendekati Suma. Sepasang matanya terpaku menatap wajah ayahnya dengan pendar bola mata yang penuh selisik.

“Apa, Yah? Andre akan dibelikan sepeda?”

Suma mengangguk sembari mengedipkan mata.

“Horee!!” Andre girang, melompat-lompat, dan menyebut-nyebut kata “sepeda”.

“Tapi syaratnya harus kaupenuhi.”

“Siap, Yah. Andre tidak akan keluar rumah,” jawab Andre tegas sambil menjabat tangan ayahnya sebagai bentuk kesediaan. Yumi menguping dari pintu dapur. Sebentar ia mengintip ekspresi Andre yang begitu bahagia. Yumi mengelus dada, dan meneteskan air mata.

“Kau tidak tahu jika itu kebahagiaan bohong, Nak!” ucapnya lirih.

Sejak saat itu Andre hanya berdiam diri di rumah. Ia tidak keluar kecuali di pagi hari, sebatas untuk bersekolah TK bersama ibunya. Selain tidak bermain, ia juga melarang teman-temannya berkunjung ke rumahnya supaya ia tidak tergoda. Berhari-hari, berminggu-minggu ia bertarung melawan sepi, sambil membayangkan sepeda bagus dari tangan ayahnya akan segera ia terima dan akan ia pamerkan buat teman-temannya.

Setelah lebih sebulan, Andre mulai cemas, sebab sepeda yang dijanjikan ayahnya tak kunjung datang. Saat menanyakan hal itu kepada ayahnya, si ayah cuma tersenyum dan berkata, “Tenang, sebentar lagi pasti datang. Jangan khawatir”. Tapi Andre tetap khawatir, sebab sudah nyaris dua bulan tetap tak ada apa-apa.

Di sebuah ruangan yang jauh dari kamar Andre, Yumi datang menjewer daun telinga Suma.

“Aduh..duhh. Kenapa kamu menjewerku, Ma?” suara Suma agak merintih, kedua tangannya berusaha melepas tangan kanan istrinya yang menarik daun telinganya.

“Papa sadar, sepeda yang dijanjikan kepada Andre itu cuma bohong kan?”

“Iya. Kenapa?”

“Anak ditanami kebohongan, suatu saat juga pasti berbuah kebohongan, Pa.”

“Ini kebohongan demi kebaikan kan, Ma.”

“Yang namanya kebohongan yang tetap buruk, Pa,” suara Yumi dibuat agak meliuk dan panjang sambil ia melepas jeweran, meninggalkan suaminya dengan wajah masam.

#

Andre mengintip teman-temannya yang bermain dari celah jendela. Ada keriuhan yang baur dengan canda dan tawa. Ingin rasanya ia bergabung dengan mereka. Keinginan itu kadang membuat dada Andre terasa sakit, tapi sakit itu sedikit bisa lenyap apabila teringat sepeda yang dijanjikan ayahnya meski sampai saat itu belum ada.

Di kamar itu, Andre sudah lebih dua bulan menunggu sepeda yang dijanjikan ayahnya, membuat ia mengingat-ingat banyak ucapan yang dilontarkan sang ayah. Kata-kata ayahnya selalu berujung hampa dan sekadar bualan belaka. Ia masih ingat cerita buaya di dahan lengkeng, cerita bulan yang bisa berubah jadi siluman, cerita anak yang tubuhnya akan berubah jadi ular jika minta uang jajan setiap hari, cerita jin berkepala sapi yang suka datang pada anak yang tidak tidur siang. Andre terus mengingat itu sambil mendongak dan mengernyitkan dahi. Ia berkesimpulan; semua yang dikatakan ayahnya tak terbukti.

“Jangan-jangan ayah itu seorang pembohong?” pikirnya mulai menduga-duga.

Hingga tibalah suatu pagi, Andre minta izin kepada Suma untuk bermain. Jika diizinkan, ia berjanji akan membawa oleh-oleh sebungkus rokok buat ayahnya itu. Mendengar kata “rokok” Suma pun tergoda, ia sangat mengharapkan benda nikmat itu. Suma pun mengizinkan Andre bermain tanpa pertimbangan apa-apa selain rokok.

Andre girang. Ia bersorak dan bertepuk tangan, segera bergegas pergi, melompat-lompat di sepanjang jalan, menuju rumah temannya. Karena lama tidak bermain, ia balas dendam pada keadaan, waktu seharian ia gunakan untuk bermain, dan baru pulang ketika azan maghrib berkumandang.

Suma duduk berselonjor kaki di sebuah lincak yang ada di beranda rumahnya, mengharap Andre pulang membawa sebungkus rokok. Tangannya menggenggam korek dan bibirnya bergerak-gerak, tak sabar ingin mengisap rokok.

Saat Andre menginjakkan kaki di beranda, tak ada apa pun yang ia bawa. Suma menatap anaknya dengan heran.

“Mana rokok yang kaujanjikan?” tanya Suma keras.

“Mana sepeda yang ayah janjikan?” Andre balas bertanya.

Suma terdiam mematung. Petang itu, ia merasa telah memetik kebohongan yang sejak dulu ia tanam pada Andre.

ilustrasi: jendela ubud painting.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan