“Kelir Slindet”, Novel Etnografis Seorang Santri

1,173 kali dibaca

Siapa yang tidak kenal nama Kedung Darma Romansha? Ia dikenal sebagai santri yang penyair, aktor yang turut bermain di berbagai film terkenal seperti Cokroaminoto dan Sultan Ageng, dan juga novelis. Dia memang dikenal sebagai sosok yang cukup produktif di dunia seni dan sastra. Salah satu novelnya, Kelir Slindet, yang terbit pertama kali di 2014 dan kini diterbitkan kembali dengan cover berbeda, memenangkan sayembara Roman Tabloid Nyata.

Baru-baru ini, dunia sastra Indonesia cukup diramaikan dengan hadirnya novel-novel etnografis seperti Orang-orang Oetimu karya Felix K Nesi dan Burung Kayu karya Niduparas Erlang. Tapi, enam tahun lalu, Kedung sudah menulis novel yang bisa dibilang novel etnografis lewat Kelir Slindet, namun nampaknya novel ini kurang begitu dikenal di kalangan santri secara luas meskipun penulisnya adalah seorang santri.

Advertisements

Memang betul, Kelir Slindet sama sekali tidak bicara soal dunia pesantren seperti novel-novel pesantren pada umumnya, sehingga orang barangkali akan berdebat apakah novel tersebut masuk kategori sastra pesantren atau tidak, mengingat isi novelnya juga dianggap sedikit nakal oleh beberapa pembaca.

Perdebatan soal definisi sastra pesantren memang tidak pernah selesai. Di Muktamar Sastra Situbondo 2018, soal sastra pesantren ini sempat dibahas dan meskipun ada kesimpulan sastra pesantren sebagai sastra yang ditulis oleh orang-orang pesantren dan sebagai sastra yang mengisahkan dunia pesantren, nampaknya perdebatan ini tidak pernah usai.

Terlepas dari segala perdebatan itu, Kelir Slindet menjadi novel etnografis karya seorang santri yang cukup sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kedung menarasikan kisah orang-orang Indramayu, tempat kelahirannya, dengan memukau. Persoalan kemiskinan, dangdut tarling, percintaan, politik, kekuasaan, dan kemunafikan jalin-menjalin dalam novel setebal 240an halaman ini.

Berpusat pada Safitri, gadis 14 tahun dengan suara indah, yang saling jatuh cinta dengan Mukimin, yang sama mudanya, novel ini cukup mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan konflik-konflik yang berputar di sekitar dua orang tersebut.

Sebagai anak seorang telembuk (pekerja seks) dan bajingan, posisi Safitri di masyarakat jelas diremehkan dan dipandang sebelah mata. Apalagi ditambah dengan parasnya yang cantik dan suaranya yang indah, kedengkian orang-orang terhadapnya semakin subur belaka.

Ketika orang-orang mengetahui bahwa anak pertama Haji Nasir, seorang kuwu kaya yang cukup terpandang di desa, yaitu Musthafa, datang untuk melamar Safitri, desas-desus semakin ramai di masyarakat. Safitri dituduh punya susuk atau pengasihan. Apalagi ketika orang-orang kemudian tahu kalau laki-laki yang disukai Safitri ternyata adalah Mukimin, yang tidak lain merupakan adik Musthafa, makin menjadi-jadilah omongan masyarakat tentang dirinya.

Berharap hidupnya akan berubah lewat perantara anaknya, Saritem meninggalkan pekerjaannya sebagai telembuk. Ia berusaha memantaskan diri jika ternyata jodoh menakdirkannya menjadi besan Haji Nasir. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Haji Nasir tidak sudi berbesan dengan keluarga telembuk dan bajingan. Maka pupus sudahlah harapan Saritem untuk memiliki hidup yang lebih baik dan terpandang di masyarakat.

Patah hati karena cintanya kandas, Safitri meninggalkan perannya sebagai vokalis kasidah pimpinan Musthafa dan malah menjadi penyanyi dangdut tarling. Di usianya yang belia, ia harus bertahan dengan omongan-omongan miring dan penghakiman masyarakat hanya karena ia anak telembuk dan bajingan. Apalagi ketika kemudian diketahui kalau ternyata Safitri hamil. Orang-orang semakin kasak-kusuk tanpa ampun. Beberapa mencelanya namun mendambakan tubuhnya, sisanya menghujat penuh kedengkian.

Novel ini sama sekali tidak bicara soal dunia pesantren, tapi bagaimana Kedung mengkritik kemunafikan berbalut agama dalam novelnya bisa jadi hadir karena kesadarannya sebagai seorang santri. Asumsi ini tentu bisa saja salah karena kritik atas kemunafikan toh tidak harus hadir dari santri belaka. Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa novel ini perlu diperhitungkan keberadaannya dan sebaiknya tidak dilewatkan khususnya oleh para santri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan