Jerat-Jerat Muslihat

2,481 kali dibaca

Kedatanganku sebagai guru SM3T di bumi Serambi Makkah kala itu memberi banyak sekali pengalaman berharga. Bahkan sampai sekarang aku masih sering teringat setahun kehidupanku di Pulau Simeulue – Aceh sekitar tahun 2015 itu. Semua kejadian terasa indah dalam ingatan. Bahkan kenangan pahit pun kini terasa manis saat dikenang. Saat-saat bersama murid di sekolah atau ketika mengajar ngaji anak-anak di masjid adalah pengalaman yang memberi banyak warna dalam hidupku di sana.

Suara anak-anak kecil yang terbata-bata membaca Quran berbaur dengan deburan suara ombak di pantai. Geletar suara dedaunan kelapa juga ikut bertingkah ketika ditiup angin. Dan suasana Meunasah itu selalu ramai setiap kali malam datang. Anak-anak kecil hingga remaja berduyun-duyun untuk belajar mengaji. Penduduk Pulau Simeulue memang semuanya beragama Islam. Akan tetapi ada juga tempat pelosok di salah satu wilayah Aceh ini yang masih kekurangan guru ngaji. Beberapa tahun sebelumnya meunasah ini pernah dipakai ngaji tapi kemudian berhenti karena ustadznya telah tiada. Meunasah ini baru dipakai ngaji lagi ketika kami datang.

Advertisements

Kenangan-kenangan ketika tinggal di pulau indah itu datang silih berganti.

“Pak Bekti pulang kapan?” tanya Kepala Sekolah siang itu. Jemariku yang sedang sibuk mengetik laporan SM3T segera terhenti. Laporan ini harus kubuat sebagai pertanggungjawabanku pada kampus yang memberangkatkanku datang kemari.

“Sepuluh hari lagi insyaallah Pak,” aku menjawab sambil mengetik.

“Sekolah kita baru saja dapat surat dari Diknas Kabupaten Simeulue. Minggu depan ada lomba menulis cerpen di Sinabang. Bapak jadi pembimbingnya ya?” pintanya memelas.

“Apa Pak?” aku terlambat memahami keadaan. Seketika itu aku menghentikan gerak jemariku. Menoleh ke arah lelaki paro baya itu.

“Pak Bekti jadi pembimbing peserta lomba cerpen ya?”

“Cerpen? Minggu depan?” tanyaku beruntun.

“Iya Pak. Bisa kan? Bapak yang dari kota pasti punya banyak pengalaman. Kalau yang melatih pinter barangkali nanti anak-anak bisa mengalahkan SMK Sinabang. Sekolah kita yang baru berdiri ini tidak akan diremehkan lagi jika kita mampu bersaing dengan mereka,” lelaki itu mengakhiri ucapannya dengan senyum penuh harap.

“Maaf Pak. Sebenarnya saya mau saja. Tapi kan masih ada guru yang lain dan laporan saya juga masih banyak yang belum selesai,” aku menjawab dengan berat hati.

“Guru yang lain juga ada tugas lain Pak. Bapak kan tahu sendiri di sini masih kekurangan guru,” ucapannya semakin memelas.

“Tapi Pak…” elakku, merasa keberatan karena tugasku masih banyak dan memang sesuai jadwal sebenarnya saat ini waktunya untuk menyusun laporan saja.

“Bukankah laporanmu itu akan sia-sia jika tidak mendapat tanda tanganku?” gertaknya kemudian. Jawaban itu begitu mengejutkan. Nyaliku langsung menciut.

“Iya Pak, akan saya bantu,” aku akhirnya menyanggupi tugas itu.

“Siswa yang ikut lomba cerpen adalah Melani. Silakan dilatih dengan baik ya,” pintanya lagi.

Melani adalah putri kepala sekolahku yang juga sekolah di sini. Sebenarnya masih ada siswa lain yang menurutku lebih berbakat dalam hal menulis. Tapi keputusan Pak Kepala Sekolah ini tak perlu kutentang. Melawan keputusannya bisa mempersulit keadaanku. Apalagi Melani memang anak yang rajin. Sayangnya dia masih belum bisa mengetik. Melani tidak tahu cara menghapus bahkan enter.

* * *

“Nanti belajar di rumah Pak Bekti boleh?” tanya Melani seusai ngaji di meunasah.

Langkah kakiku terhenti. Kulihat di belakang Melani ada Meurika dan beberapa orang gadis. Dan pertanyaannya belum juga kujawab. Rencanaku malam ini akan merampungkan laporan SM3T. Di sisi lain mereka memang masih butuh banyak belajar, mengingat hal itu membuatku bingung aku harus menjawab apa.

“Bagaimana Pak? Boleh kan?” Melani semakin mendesak.

“Iya, silakan,” jawabku akhirnya.

Kami lantas berjalan bersama. Letak tempat ibadah itu berada tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku, hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit jalan kaki. Aku tinggal di sebuah rumah bantuan Jepang milik salah seorang warga di kampung tempatku bertugas.

Melani belajar mengetik cerpennya, sedangkan beberapa anak yang lain belajar dasar-dasar videografi untuk pembuatan film pendek. Sebentar-sebentar aku menengok HP untuk melihat jam. Keberadaan anak-anak gadis itu di rumah kontrakanku membuat perasaanku tidak tenang. Aku merasa serba salah, mengajari mereka di sekolah saja tidak cukup, tapi mengajari gadis-gadis itu di sini sangat berisiko.

“Lima belas menit lagi sudah jam sembilan, belajarnya siap apa belum?” tanyaku, ingin memastikan mereka akan segera pulang. Gadis-gadis itu mengangguk pertanda akan segera pulang.

Akan-anak itu memegang janjinya. Mereka pulang jam sembilan tepat. Tubuhku terasa capai sekali. Kurebahkan badanku di atas tikar pandan. Laporan SM3T yang masih belum selesai kubiarkan terbengkalai di laptop. Tinggal sendirian di rumah kontrakan tak jarang membuatku merasa kesepian. Seperti juga malam ini. Walaupun merasa ngantuk tapi mataku tak kunjung mau tidur. Di atap kamar ada dua ekor cicak yang sedang berkejar-kejaran. Rupanya si jantan sedang berahi. Sedang si betina terus berlari menjauhi. Tiba-tiba di pojok kamar ada cicak yang sedang makan laron. Si betina tadi langsung lari ke sana. Aku tertawa melihat adegan itu. Namun tawaku tidak bertahan lama karena detik berikutnya tiba-tiba lantai bergetar hebat. Suara kaca berkeluntingan karena digoyang gempa. Aku bangkit berdiri. Gempa memang sering sekali terjadi di pulau ini. Aku lantas berjalan ke luar rumah. Tidak lama kemudian gempa berhenti. Kulihat beberapa tetanggaku juga berlari keluar rumah.

Beberapa hari kemudian Melani datang ke rumah malam-malam bersama ayahnya. Dengan berat hati aku menerima kehadiran mereka. Melani belajar ngetik di laptopku. Dia mengkonsultasikan perubahan alur cerita sekaligus menuangkannya dalam bentuk kalimat. Latihan ini memang mendesak karena pelaksanaan lomba tinggal beberapa hari lagi. Kami berdua serius melototi laptop, sedangkan Pak Kepala Sekolah berada di luar rumah mencari angin. Aku merasa ngantuk sekali karena tadi seharian mengerjakan laporan. Dan perjalanan waktu terasa seolah terseok-seok.

Samar-samar kudengar suara orang berbicara, mungkin di jalan depan rumah. Kutengok Pak Kepala Sekolah tidak ada di depan. Sementara suara-suara itu semakin lama semakin kencang dan gaduh. Terdengar ada banyak orang yang terlibat dalam pembicaraan itu. Dan suara gaduh itu semakin mendekati rumah. Suara-suara kasar kemudian meneriakiku. Aku segera terkejut. Ternyata mereka adalah para pemuda kampung yang tidak terima melihatku menerima tamu seorang gadis. Mereka menuduhku sedang berzina dengan Melani muridku itu. Aku melawan tuduhan itu sebisaku. Dadaku seolah bergemuruh karena amarah melihat ternyata Pak Kepala Sekolah tak mau mengakui telah mengantarkan anaknya. Padahal tadi dia ikut masuk ke rumahku. Entah ada muslihat apa.

Aku digelandang ke kantor desa. Teman SM3T-ku dari desa lain yang mendengar berita ini ikut berdatangan. Sementara itu teriakan-teriakan sarkas terus berdengung di gendang telingaku.

“Adili guru bejat itu!” teriak seseorang.

“Dasar orang Jawa tak tahu diri!”

“Nikahkan mereka!”

Tubuhku sudah lemas. Beberapa orang telah memukulku. Bibirku terasa perih.

“Tolong tenang dulu bapak-bapak!” Darsa teman SM3T-ku tiba-tiba berteriak di tengah keriuhan. “Pak Keuchik harus adil dalam mengambil keputusan!” Darsa semakin lantang.

Ternyata suara Darsa didengar Pak Keuchik. Orang nomor satu di desa Borengan itu lantas memberiku kesempatan mengajukan pembelaan.

Aku lantas bicara, “Melani, di mana dia? Tanyakan padanya apakah aku berbuat sesuatu padanya!”

“Kalau dia masih punya nurani dia akan mengatakan bahwa bapaknya sendiri-lah yang ikut menemani belajar di rumahku! Kami tidak berduaan,” lanjutku dengan suara lirih.

Beberapa saat kemudian Melani didatangkan. Semua mata tertuju pada gadis yang berumur enam belas tahun itu. Kupertajam pendengaranku untuk memastikan bahwa anak yang kukenal sebagai gadis baik-baik itu tidak bersilat lidah. Kutelan ludah berkali-kali sambil menunggu mulutnya bersuara. Jawabannya kutunggu dengan cemas.

“Tidak benar bapakku ikut ke rumah Pak Bekti. Dia mengajakku ke rumahnya seusai ngaji di meunasah siap isyak tadi. Pak Bekti bermaksud jahat padaku.”

Bagai disambar petir telingaku mendengar ucapan Melani gadis Simeulue itu. Ternyata di balik sifat baiknya selama ini menyimpan muslihat yang sahat jahat.

“Nikahi!”

“Nikahi!”

Teriakan-teriakan itu semakin bergemuruh memenuhi ruangan kantor desa. Cerita-cerita miring tentang lelaki yang harus menikahi gadisnya jika ketahuan ber-khalwat itu ternyata terjadi juga padaku. Dulu ketika pertama kali mendengar cerita itu kuanggap sebagai dongeng pengantar tidur belaka. Muslihat ini benar-benar jahat. Padahal perantauanku ke sini untuk mencari modal nikah. Apa kata tunanganku jika aku tidak bisa pulang karena harus menikahi muridku sendiri? Kesedihan seperti apa untuk menggambarkan duka ibuku jika aku tidak bisa pulang karena tersandung kasus di tanah yang sangat jauh begini? Tangis sedih tiba-tiba meretas di kedalaman hatiku.

“Tunggu!” tiba-tiba ada teriakan seseorang di balik kerumunan. Suasana tenang dalam sekejap. Semua mata menelisik siapakah gerangan yang berani menghentikan dakwaan ini?

Seseorang berjalan tenang menyibak kerumunan.

“Aku adalah saksi dari kasus ini,” ucapnya tenang. Pak Karsit tetangga sebelahku itu datang dengan langkah gagah.

“Apa yang kau lihat Pak Karsit?” tanya Pak Keuchik.

“Pak Kep mengantar putrinya ke rumah Pak Bekti. Dia kemudian keluar menghubungi seseorang. Kemudian para pemuda itu datang beramai-ramai. Pak Bekti terperangkap muslihat Pak Kep dan putrinya.”

“Jangan memfitnah Pak Karsit!” sergah Pak Keuchik.

“Tentu saja tidak. Aku sedang ngopi di rumah Pak Fanon tadi. Kalian bisa mengecek kebenaran ucapanku pada Pak Fanon dan istrinya!” Pak Karsit berbicara dengan percaya diri.

Kedudukan berbalik. Setelah Pak Fanon juga ditanya barulah semua tersadar. Sedang ada muslihat yang sedang memainkan perangkap. Sekarang pertanyaan Pak keuchik berbalik pada Pak Kepala Sekolah. Lelaki setengah baya itu menjawab lirih dengan wajah tertunduk.

“Aku terpaksa melakukannya. Saya takut kehilangan Pak Bekti yang sangat penting artinya di sekolah kami. Saya juga berharap kelak dia akan terus mengajar ngaji di meunasah serta mendidik anak saya menjadi orang yang mengerti agama jika dia menikahi Melani dan tetap tinggal di pulau ini.”

Pak Kepala Sekolah semakin tertunduk. Dan kulihat air matanya telah meleleh di pipinya.

Aku tersenyum seorang diri mengenang kejadian itu.

* * *

Mentaraman, 3 Mei 2020

SM3T: Sarjana Mengajar di daerah Terpencil, Tertinggal, dan Terdepan

Meunasah: Masjid/musolla

Keuchik: Kepala Desa

Multi-Page

Tinggalkan Balasan