Jerat-Jerat Muslihat

2,457 kali dibaca

Kedatanganku sebagai guru SM3T di bumi Serambi Makkah kala itu memberi banyak sekali pengalaman berharga. Bahkan sampai sekarang aku masih sering teringat setahun kehidupanku di Pulau Simeulue – Aceh sekitar tahun 2015 itu. Semua kejadian terasa indah dalam ingatan. Bahkan kenangan pahit pun kini terasa manis saat dikenang. Saat-saat bersama murid di sekolah atau ketika mengajar ngaji anak-anak di masjid adalah pengalaman yang memberi banyak warna dalam hidupku di sana.

Suara anak-anak kecil yang terbata-bata membaca Quran berbaur dengan deburan suara ombak di pantai. Geletar suara dedaunan kelapa juga ikut bertingkah ketika ditiup angin. Dan suasana Meunasah itu selalu ramai setiap kali malam datang. Anak-anak kecil hingga remaja berduyun-duyun untuk belajar mengaji. Penduduk Pulau Simeulue memang semuanya beragama Islam. Akan tetapi ada juga tempat pelosok di salah satu wilayah Aceh ini yang masih kekurangan guru ngaji. Beberapa tahun sebelumnya meunasah ini pernah dipakai ngaji tapi kemudian berhenti karena ustadznya telah tiada. Meunasah ini baru dipakai ngaji lagi ketika kami datang.

Advertisements

Kenangan-kenangan ketika tinggal di pulau indah itu datang silih berganti.

“Pak Bekti pulang kapan?” tanya Kepala Sekolah siang itu. Jemariku yang sedang sibuk mengetik laporan SM3T segera terhenti. Laporan ini harus kubuat sebagai pertanggungjawabanku pada kampus yang memberangkatkanku datang kemari.

“Sepuluh hari lagi insyaallah Pak,” aku menjawab sambil mengetik.

“Sekolah kita baru saja dapat surat dari Diknas Kabupaten Simeulue. Minggu depan ada lomba menulis cerpen di Sinabang. Bapak jadi pembimbingnya ya?” pintanya memelas.

“Apa Pak?” aku terlambat memahami keadaan. Seketika itu aku menghentikan gerak jemariku. Menoleh ke arah lelaki paro baya itu.

“Pak Bekti jadi pembimbing peserta lomba cerpen ya?”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan