Hati yang Risau

1,741 kali dibaca

Aku hanya mampu menikmati kepedihan yang terus menggerogoti sekujur kebahagiaan. Pun, aku tidak tahu harus merengek pada siapa, harus berkeluh pada siapa, harus merintih pada siapa. Perih sekali. Perut yang terasa mual dan melilit menjalar ke ulu hati menyayat-nyayat bagai sembilu.

Siapa pula yang menginginkan janin ini tumbuh disana? Aku tak pernah bisa untuk mengalami apa yang telah terjadi. Apa salahku Tuhan? Begitu kejam semesta padaku. Aku hanyalah gadis 19 tahun. Tak sekalipun pernah menjamah lelaki. Lantas mengapa hukuman seberat ini harus kutanggung? Aku mengutuk hidupku sendiri sebab hal yang sama sekali tak kuingini.

Advertisements

Malam-malam dingin terus menyelimuti segala kesakitan batin dan badanku. Perut yang kian hari kian menonjol membuat otakku kacau balau memikirkan ribuan cara untuk menutupinya. Belum lagi ocehan orang yang semakin merebak sampai ke desa sebelah. Ini bagaikan bau bangkai yang aromanya menyebar ke mana-mana. Sangat mengusik seluruh perasaanku.

Ya, semua ini terjadi sebab dia. Sepupu yang selalu kukagumi sebab memang tidak dimungkiri lagi bahwa dia adalah idaman banyak wanita. Namun itu semua kini bertarung dalam hati dan otakku; dia orang baik yang telah menghancurkan hidupku. Apa benar hidupku hancur? Duh, Gusti.

Mas Arjun, Ahmad Arjuna Bagaskara. Seorang santri yang amat tersohor seantero pondok. Ya, kami dimasukkan satu pondok oleh almarhum Pakde Giyo, ayah dari Mas Arjun. Dengan otak encer yang dia miliki membuatnya menjadi orang berprestasi di berbagai bidang. Belum lagi rupanya yang good looking, ia makin digemari seluruh santri apalagi santri putri. Tidak hanya sampai di sana, suaranya yang merdu nan elok menjadikannya vokalis andalan pondok. Mas Arjun memang nyaris sempurna, pria baik dalam akhlaknya serta baik dalam ibadahnya. Tidak mungkin semua ini nyata, tidak mungkin Mas Arjun melakukan itu semua padaku.

Sore itu, sepuluh hari setelah kepergian ayahnya, masih sangat terlihat dengan jelas keterpurukan dalam diri Mas Arjun. Betapa sangat kehilangan sosok orangtua yang membesarkan anak semata wayangnya sendirian sejak Mas Arjun dilahirkan. Ya, ibunya mengembuskan napas terakhir bersamaan dengan tangisan Mas Arjun kecil. Kehidupan mereka berdua sangat bahagia. Pakde sangat menyayangi anak bujangnya itu. Sampai waktu di mana Pakde sakit-sakitan hingga terlilit banyak utang, di sana kehidupan mereka sangat berbanding terbalik dari sebelumnya. Mas Arjun yang mengabdikan diri pada Kiai Umam diharuskan berhenti dan meninggalkan pondok demi baktinya pada ayah tercinta. Dia yang setiap hari harus banting tulang untuk membelikan obat serta makan sehari-hari semakin merana.

Hingga di sore yang sangat gelap dan hari terburuk sepanjang hidupku, hidup kami, ya aku dan Mas Arjun. Aku duduk di ruang depan seraya membaca salah satu novel romantis yang aku beli tepat dua minggu sebelumnya ketika aku pulang dari pondok karena memang jatah liburan pondok.

Tiba-ttiba aku terkejut, Mas Arjun masuk rumah dengan badan yang basah kuyup sebab di luar memang hujan deras. Kuhampiri dan kutanyakan apa yang terjadi. Tapi Mas Arjun tidak menjawab pertanyaanku dengan tepat. Dia malah terkekeh sampai terbahak-bahak di hadapanku. Bau menyengat dari mulutnya mulai tercium oleh hidungku. Sangat tidak enak dan menusuk. Firasatku mulai tidak baik. Mas Arjun semakin tidak terkendali. Dan di sore itu, sore yang sangat kubenci seumur hidupku, semuanya terjadi. Aku membenci Mas Arjun.

Aku terdiam, sebab masih teringat mimpi dalam tidurku sepanjang bakda isya sampai tengah malam tadi. Mimpi yang di dalamya kudapati bocah lelaki mungil, imut sekali. Bocah itu menuntunku masuk dalam ruangan yang entah di mana, tempat yang sangat asing. Ruangan yang seperti tidak ada ujungnya, terang, sejuk, indah sekali. Kudapati kenyamanan dan ketentraman saat berada di sana.

Kemudian bocah mungil itu membawaku menuju sebuah pintu yang kurasa itu terbuat dari anyaman rotan diselingi bambu hitam dan dibuat berkilauan. Dengan berdebar aku raih gagang pintu itu dan perlahan aku membukanya. Di sana terdapat sungai yang mengalir amat tenang dan sesekali muncul ikan-ikan kecil. Jernih sekali airnya. Aku celupkan kedua kakiku ke dalam sejuknya air sambil terduduk di atas batu besar. Tampak senyum merekah di wajah bocah lelaki kecil itu.

Kemudian seseorang menepuk bahuku, “Langit tidak pernah marah saat hujan memilih pergi, hujan tidak pernah meminta untuk jatuh basahi bumi, bumi tidak pernah tahu jika hujan akan kembali. Seperti apa yang telah ditetapkan Tuhan, semuanya hanya memainkan peran. Teruslah mainkan peranmu, kau hebat karena terpilih”, demikian orang itu berkata padaku. Lalu sedetik berikutnya aku terbangun, mendapati perutku mual sekali.

Sepanjang pagi ini air mataku tak kunjung berhenti menetes, sepanjang hari tepatnya. Sampai suara merdu yang amat kukenali memanggil namaku seraya membuka gagang pintu kamar. “Wilis, ayo makan dulu sayang. Mas sudah buatkan sarapan, susunya jangan lupa diminum ya.”

Benar, itu suara suamiku, Mas Arjun, ayah dari japang bayi yang ada dalam rahimku. Aku sangat membencinya. Aku tidak peduli lagi padanya. Tidak lagi mengaguminya. Tidak lagi ingin memilikinya. Aku tidak mau makan masakannya. Aku diam dan tidak beranjak sedikit pun —dia memahami itu.

Memang semua yang sudah terjadi adalah bagian dari ketidaksengajaan. Apa benar tidak sengaja?

Sore itu Mas Arjun sangat kelelahan. Dia masih berada dalam keterpurukan. Hingga sampai di jalan pulang beberapa preman mengadangnya. Dia tidak berdaya lagi. Tapi Tuhan masih menyelamatkan nyawanya. Dia hanya dicekoki minuman terlarang yang amat sangat dia benci. Sampai dia tidak sadar lagi apa pun yang dilakukannya. Sampai semua itu terjadi di rumahku. Pedih sekali mengingat itu.

Mas Arjun tidak lagi seperti monster yang datang ke rumahku sore itu. Kini dia telah kembali seperti yang aku kagumi dulu, bahkan jauh lebih baik dari itu. Tapi aku masih tetap membencinya. Luka yang telah ada terasa kembali menganga setiap bayangan kejadian itu terlintas di kepalaku. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus membencinya, oh tidak, apa aku telah jauh lebih menyakitinya dibanding sakit yang kuterima dari kejadian itu?

Sore ini selepas ashar aku bersama suamiku berkunjung ke makam ayah dan ibuku, juga ayahnya — ya ayah mertuaku. Pecah tangisanku di batu nisan milik ibu. Ada rasa rindu yang sudah menggunung di dadaku, seakan ingin kuceritakan semua yang terjadi padaku. Tapi bukankah ibu sudah pasti tahu? Ibu, kumohon kuatkan aku, aku butuh Ibu. Kian sesak rasanya, napasku tersengal bersamaan air mata yang tidak terbendung lagi.

“Sudah sayang, mari kita pulang. Sudah mulai mendung, takut kehujanan di jalan,” suaranya sudah mulai tidak menyayat hatiku. Melihatnya pun sudah tidak menyakiti hatiku —apa benar aku sudah memaafkannya? Aku tidak tahu.

Semalam kudapati suamiku duduk di atas sajadah lusuh milik ayahnya; sepertinya dia selesai tahajud, tampak dia terisak dalam doanya. Aku tidak tahu apa yang sedang dimintanya. Tapi aku mendengar namaku disebutnya. Terasa ada yang menghunjam dadaku, yang tiba-tiba saja muncul keinginan memeluknya, sangat ingin menangis dalam dekapannya. Dan sejak detik itu, rasanya tidak ada lagi perasaan benci sedikit pun di dalam benakku.

Yogyakarta, Juli 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan