Duka Tukang Batu

1,460 kali dibaca

Dengan perut buncit, istriku terus beraktivitas. Sepagi ini dia telah menyeduh kopi. Ditemaninya pula aku meminum kopi itu. Setelah itu dia merebus terung yang baru dipetik dari belakang kandang ayam. Ada pula kudapan bayam dan daun singkong muda dalam rebusan itu.

“Belum ada uang untuk beli baju-baju persiapan kelahiran anak kita, Mas?”

Advertisements

Pertanyaan sederhana itu seketika membuat naluriku sebagai seorang suami bergejolak. Memang rencana untuk belanja ke pasar guna persiapan menyambut calon jabang bayi telah kami rencanakan sejak beberapa minggu yang lalu, akan tetapi keadaan keuangan yang terus terkuras membuat rencana itu menguap seperti menguapnya kopi buatannya.

Dan pertanyaan itu kujawab dengan untaian janji belaka.

“Nanti kalau Pak Ateng sudah membayar batu-batuku, kamu akan segera kuajak ke pasar,” jawabku kemudian.

Istriku mengangguk, kemudian bergerak ke sana ke mari mencari bumbu ini dan itu. Lalu ia menumbuk bumbu-bumbu itu di cobek yang telah patah ujungnya. Aku menyeruput kopi lagi sembari menikmati pagi.

Usai sarapan, aku berangkat ke bukit penambangan batu; tempat kami mencari sesuap nasi untuk menghidupi anak-istri, tempat kami memeras keringat dan membanting tulang untuk melanjutkan kehidupan.

“Im! Ayo pulang!” teriak seseorang di seberang bukit.

Ternyata dia Suji, tetangga yang juga teman sesama pencari batu. Dia selalu pulang lebih awal dariku. Pantas saja dia kerja asal-asalan, perjaka tua itu tak punya beban menafkahi keluarga. Tak bekerja sehari pun tak akan ada yang menuntutnya kekurangan uang belanja. Kata orang, uangnya habis untuk main wanita dan mencicipi istri orang.

“Kau duluan, Ji!” aku memekik lantang, lantas berjibaku lagi dengan palu, membanting bebatuan. Suasana perbukitan mulai lengang. Burung sriti dan kelelawar beterbangan menghiasi sore. Dan rasa lelah semakin menyergapku.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan