Diusia senjanya, Emak ingin ke Makkah. Dia mau berpijak di tanah kelahiran Baginda Nabi. Dia ingin bertemu Allah.
Meski pikun mulai merambati kepalanya sedikit demi sedikit dan pendengarannya mulai kabur, Emak terus mengumpulkan uang setiap hari, seribu demi seribu yang dia masukkan ke dalam botol dari hasil menjual kolak dan nasi di waktu pagi dan sore. Dia kadang mencari kerja sampingan sebagai pemotong rumput untuk pakan ternak milik tetangga, mencuci pakaian dan segala pekerjaan yang mampu dilakukan ruas-ruas sendi dan sisa-sisa ototnya.
Aku, selaku anak satu-satunya, melerai. Semakin dilerai, dia berontak seperti anak kecil. Aku membenarkan bahwa seorang ibu dapat mengasuh sepuluh anak tapi tidak sebaliknya. Jadi, aku hanya bisa memantaunya atau membantu ala kadarnya sebab aku juga memiliki keluarga untuk diurus.
Apabila hasil tabungannya hampir atau mencapai satu juta, Emak memintaku untuk menyetorkannya ke bank syariah di kecamatan. Sudah lima belas tahun lalu Emak mendaftar, tapi dia tidak diberangkatkan juga. Lagi pula, uang yang disetorkannya masih terkumpul delapan juta. Masih belum mencapai separuh ongkos pemberangkatan. Masalahnya, aku merasa berdosa sebab setiap kali Emak memintaku menyetorkan uangnya, uang itu tak sepenuhnya utuh. Aku menilapnya demi kepentingan keluargaku sendiri secara diam-diam dan memberi laporan palsu kepadanya.
Awalnya, aku merasa tidak terbebani sama sekali. Aku yakin bahkan Emak tidak keberatan meluangkan sedikit uangnya untuk anaknya sendiri. Pernah suatu ketika, cucunya yang ketiga terkena demam. Waktu itu, aku dan suami tidak punya uang sepeser pun. Aku dan suami mencari pinjaman. Mengetahui anaknya kelimpungan, dia merogoh tabungannya—waktu itu terkumpul 854.500 rupiah—dan memberikan seluruhnya padaku. Mataku sembab saat dia menenggelamkannya ke dalam genggamanku.
“Tapi, Mak. Uang ini untuk tabungan Emak agar bisa naik haji,” tolakku. Dia mengelus kepala. Lincak berderit saat dia menggeser tubuhnya sembari berujar.