Duka Tukang Batu

1,464 kali dibaca

Dengan perut buncit, istriku terus beraktivitas. Sepagi ini dia telah menyeduh kopi. Ditemaninya pula aku meminum kopi itu. Setelah itu dia merebus terung yang baru dipetik dari belakang kandang ayam. Ada pula kudapan bayam dan daun singkong muda dalam rebusan itu.

“Belum ada uang untuk beli baju-baju persiapan kelahiran anak kita, Mas?”

Advertisements

Pertanyaan sederhana itu seketika membuat naluriku sebagai seorang suami bergejolak. Memang rencana untuk belanja ke pasar guna persiapan menyambut calon jabang bayi telah kami rencanakan sejak beberapa minggu yang lalu, akan tetapi keadaan keuangan yang terus terkuras membuat rencana itu menguap seperti menguapnya kopi buatannya.

Dan pertanyaan itu kujawab dengan untaian janji belaka.

“Nanti kalau Pak Ateng sudah membayar batu-batuku, kamu akan segera kuajak ke pasar,” jawabku kemudian.

Istriku mengangguk, kemudian bergerak ke sana ke mari mencari bumbu ini dan itu. Lalu ia menumbuk bumbu-bumbu itu di cobek yang telah patah ujungnya. Aku menyeruput kopi lagi sembari menikmati pagi.

Usai sarapan, aku berangkat ke bukit penambangan batu; tempat kami mencari sesuap nasi untuk menghidupi anak-istri, tempat kami memeras keringat dan membanting tulang untuk melanjutkan kehidupan.

“Im! Ayo pulang!” teriak seseorang di seberang bukit.

Ternyata dia Suji, tetangga yang juga teman sesama pencari batu. Dia selalu pulang lebih awal dariku. Pantas saja dia kerja asal-asalan, perjaka tua itu tak punya beban menafkahi keluarga. Tak bekerja sehari pun tak akan ada yang menuntutnya kekurangan uang belanja. Kata orang, uangnya habis untuk main wanita dan mencicipi istri orang.

“Kau duluan, Ji!” aku memekik lantang, lantas berjibaku lagi dengan palu, membanting bebatuan. Suasana perbukitan mulai lengang. Burung sriti dan kelelawar beterbangan menghiasi sore. Dan rasa lelah semakin menyergapku.

Motor supra yang mulai beranjak renta mengantarku pulang ketika siang hampir berganti petang. Gas motor semakin kutekan. Keringat yang membasahi tengkuk dan tubuhku kemudian menguar berganti dingin. Pikiranku mulai meracau mencari jawab atas pertanyaan istriku tentang persiapan menyambut jabang bayi di kandungannya.

“Apa Pak Ateng belum juga membayar batu-batumu Mas?” tanya istriku ketika malam beranjak larut.

Lalu kuberi lagi dia janji, bahwa ketika senja kembali datang esok hari, akan kubawakan dia uang hasil jerih payahku itu.

Pagi-pagi sekali aku bertandang ke rumah Pak Ateng di dekat pasar. Kupakai sopan santunku berbasa-basi dengan orang kaya itu. Sepertinya dia mau berbelas kasihan padaku.

“Memangnya sudah dapat berapa rit batumu, Im?” tanya Pak Ateng.

“Satu-dua hari lagi sudah dapat lima rit, Pak,” jawabku meyakinkan. Lima rit adalah jumlah batu yang nominal uangnya setara dengan jumlah utangku.

Dia menjentikkan rokok di asbak di depanku. Kepulan asap memenuhi ruangan sempit yang pengap. Lelaki itu terbatuk.

“Dapat kupegang ucapanmu itu, Im?” dia bertanya lagi, seolah tak percaya ucapanku. Sepertinya dia memang tak percaya aku akan secepat itu mendapatkan batu.

“Tentu saja, Pak,” aku menjawab singkat, namun menyimpan keraguan. Janji untuk membawa pulang uang pada istriku akan kupenuhi petang nanti. Dan untuk memenuhi janji pada Pak Ateng; biar waktu saja yang menjawab kepastiannya.

Pak Ateng kemudian memberikan selembar amplop padaku. Ketika tanganku hendak menggapai amplop itu, dia terbatuk-batuk panjang. Kuurungkan uluran tanganku.

“Ya sudah. Berangkatlah kerja, keburu habis stok batumu diambil Suji dan Santo,” tukasnya.

Beringsut aku membawa selembar amplop berisi uang utangan itu. Lalu terlintas wajah senang istriku. Nanti malam akan kuajak dia ke toko Pak Kamil yang lengkap itu untuk membeli perlengkapan bayi. Setelah itu akan kuajak dia makan nasi goreng dekat perempatan jalan sambil mengenangkan masa lalu. Rasa bahagia semerbak menghias pikiranku. Sambil menggeber motor supra menuju tempat penggalian batu, kususun rencana menjelang kelahiran anak pertamaku.
Setibanya di lokasi penambangan batu, kulihat suji sedang menunggu. Kuparkir supra asal-asalan di tepi jalan. Kututupi dengan semak-semak kering.

“Sudah di sini kau, Ji?” sapaku kemudian.

“Darimana saja kamu?” tetangga sebelah rumah itu menyambut kedatanganku dengan pertanyaan yang sulit kujawab.

“Ada apa?”

“Istrimu dilarikan ke rumah sakit. Kau segera susul dia,” ucapnya mengagetkanku.

Tubuhku mendadak lemas. Dan tanpa mencari tahu kenapa istriku dilarikan ke rumah sakit, aku langsung bergerak menuju motor supra bersadel jebol tepat di pantat itu. Keadaan semrawut membuat rasa panik berkelindan di kepalaku.

“Jangan panik. Mertuamu sudah ada di sana,” pinta Suji.

“Kamu yang ngantar istriku?” tanyaku kemudian.

“Selepas kau pergi tadi pagi aku mendengar jeritan dari arah rumahmu, ternyata ketuban istrimu pecah. Lalu kuantarkan dia menuju rumah sakit. Mertuamu menyusul kemudian,” papar Suji seraya mendekatiku menawarkan air putih di botol bekas yang telah berhias lumut di ujungnya.

Setelah menyampaikan terima kasih, aku segera menstarter supra untuk menyusul ke rumah sakit. Kalut sekali pikiran ini. Debu bebatuan beterbangan mengitari awang-awang.
Sesampainya di rumah sakit, aku segera mencari istriku. Sial. Ternyata harus memakai masker. Ketakutan pada virus itu masih tersisa walau masa pandemi telah lama berlalu. Mungkin juga ini siasat rumah sakit agar dagangan maskernya laku terjual. Akhirnya aku membeli juga masker di koperasi rumah sakit itu.

“Anakmu sudah keburu ingin melihat wajahmu, Mas,” ucap istriku lemah. Rontok jiwaku melihat pucat wajahnya serta bayi mungil kemerahan yang tergolek di sampingnya. Aku menangis haru. Kupandangi mereka berganti-ganti. Hidungnya mancung meniru ibunya. Rambutnya lebat seperti rambut ibunya pula. Lalu kuping lebar itu mirip siapa?

“Sekarang pulanglah untuk beli popok. Selendangnya mintalah pada Mbak Sarinah di rumah. Aku masih punya beberapa helai yang tak pernah terpakai,” perintah mertuaku membangunkanku dari lamunan.

Pulanglah aku untuk beli popok, setelah itu aku menuju rumah mertua untuk meminta selendang. Sekalian juga mampir rumah mengambil baju ganti istriku.

Lalu kudengar ada suara motor mendekat saat aku tengah melahap nasi putih lauk pepes ikan teri dipadu sambal trasi. Kutengok motor itu melalui jendela. Entah siapa dan mau apa dia. Belum pernah aku melihatnya sebelum ini.

Terdengar pintu digedor. Nasiku terhenti di tenggorokan karenanya. Kemudian tergesa-gesa aku menenggak air putih. Ragu-ragu aku membuka pintu. Kuajak dia masuk dengan hati gamang.

“Sudah dapat uang berapa juta kamu dari jualan batu?” tanya orang itu memulai perbincangan, mengagetkanku.

“Hmm, tidak banyak Pak. Yang penting dapur bisa tetap mengepul. Memangnya Anda siapa?” aku menyahut dengan pertanyaan.

“Aku pemilik tanah itu. Dan sekarang aku minta ganti rugi,” ucapnya pelan.

“Maksudnya?”

Pertanyaannya memancing emosi dan memicu penasaran, sekaligus membuatku bingung.

“Sepertinya ucapanku sudah cukup jelas,” dia menimpali.

“Kamu seorang penodong?” todongku.

Dia mengernyitkan dahi.

“Sekitar sepuluh tahun yang lalu aku meninggalkan desa ini untuk mencari modal di perantauan. Tanah warisan orang tuaku di bukit itu digarap oleh Suji, adikku.”

Aku terpaku mendengar ucapannya.

“Sedianya batu-batu di bukit itu akan kugunakan untuk membangun rumah dan toko. Tak tahu ternyata bukit itu kini hampir rata dengan tanah,” dia terus berucap.

“Setahuku itu milik Suji, Pak. Sungguh aku tak tahu kalau kau pemiliknya,” kujawab jujur.

“Sekarang kau sudah tahu. Dan akan kuberitahu satu hal lagi.”

“Apa?”

“Bahwa ada dua pilihan untukmu sekarang,” kata orang itu, membuat lidahku semakin tercekat.

“Apa?” tanyaku dengan suara menggeletar.

“Kau kembalikan batu itu dalam bentuk batu atau uang. Terserah kamu.”

Ucapannya semakin membuat tubuhku lemas. Suaranya yang lirih begitu mengejutkan dan sekaligus menyakitkan. Bagaimana bisa saat aku yang sedang butuh-butuhnya, uang itu tiba-tiba mau diminta. Gemuruh seolah mengguncang jiwaku.

“Tapi tidak ada uang di tanganku…” tukasku bingung.

“Harta apa yang paling berharga yang kau miliki?” tanyanya lagi.

Aku diam sejenak memikir jawaban.

“Anak-istriku adalah yang paling berharga dalam hidupku,” aku kehabisan cara menepis todongannya.

“Berikan bayimu padaku,” alisnya bergerak-gerak menemani ucapan sadisnya.

“Ah. Kau sebenarnya siapa. Banyak kata dan mengada-ada!” gertakku penuh emosi.

“Terimalah kenyataan ini. Kau tak punya anak. Bukankah Dokter Liem mengatakan kamu mandul? Lalu bagaimana bisa kamu punya anak?”

Kepalaku pusing, berjubel dipenuhi amarah. Ingatanku menelisik ke belakang. Dan ucapan Dokter Liem beberapa tahun yang lalu itu terngiang-ngiang kembali di telingaku. Aku tak mampu menjawab.

“Bukankah sehari-hari kamu meninggalkan istrimu? Tahukah kamu apa yang dilakukannya selama seharian tanpamu? Tak tahu kamu untuk apa Suji selalu pulang awal? Dan sering tak pergi ke bukit batu itu?”

“Jangan kau teruskan kata-katamu!”

“Lihat saja, nanti anakmu yang baru lahir itu lebih mirip siapa!”

“Dia adalah ganti rugi atas batu-batu yang kau curi itu.”

Dia terus berkata-kata. Dan aku telah kehabisan kata.

“Kau tak punya anak. Bayi itu adalah anaknya Suji. Istrimu selingkuh. Tinggalkan dia dan biarkan aku yang mengambil anak itu.”

“Apakah kau Sarjono yang dikebiri karena menghamili anak-anak gadis itu? Kau pasti tengah gelisah karena tak bisa punya anak sekarang!” ucapku lantang. Kuingat sekarang. Dia adalah kakak sulung Suji yang mata keranjang sejak muda. Lalu dikebiri dan diusir oleh warga, entah berapa tahun yang lalu.

Dia malah terbahak-bahak, memancing emosi.

“Aku memang tak bisa punya anak. Tapi aku punya harta. Dengan harta aku bisa memiliki semuanya. Termasuk anak dan istrimu. Ha-ha-ha ….”

Aku terdiam menahan amarah. Lalu terlintaslah wajah Suji di benakku. Memandang Sarjono dan mengingat wajah Suji benar-benar membuatku muak. Masih jelas pula di ingatanku ketika aku menemukan jaket milik Suji di bukit batu kala itu. Ada selembar poto istriku yang terselip di dompetnya.

Dunia ini benar-benar telah menipuku dengan muslihat-muslihat para penghuninya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan