AJ Wensinck dan Pengembangan Ilmu Hadis

649 kali dibaca

Nama Arent Jan Wensinck kurang begitu dikenal oleh kalangan masyarakat, kecuali bagi mereka yang mengkaji ilmu hadis. Sebelum kita bicara jasanya dalam pengembangan ilmu hadis, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dulu biografi singkatnya.

A.J. Wensinck merupakan seorang ilmuwan yang secara serius mengkaji keislaman. Ia merupakan orang Belanda yang lahir di Aarlanderveen pada 7 Agustus 1882 dan meninggal pada 19 September 1939 dalam usia 57 tahun akibat menderita sakit kronis. Ia terlahir dari pasangan Johan Herman Wensinck dan Anna Sara Geertuida Vermeer. Ayahnya merupakan seorang pendeta Gereja Protestan Belanda. Hal ini mempengaruhi kepribadian Wensinck. Bahkan ia sampai mengikuti jejak ayahnya menjadi pendeta.

Advertisements

Perjalanan intlektualnya dimulai ketika selesai dari Gymnasium dan melanjutkan di Universitas Utrecht dengan mengambil fokus studi teologi. Namun, hal ini tidak berjalan lama. Akhirnya ia pindah studi dan mengambil studi bahasa-bahasa Semit di Fakultas Sastra Utrecht.

Sejak pindah di fakultas sastra ini Wensinck menunjukkan minatnya yang begitu mendalam pada bahasa Semit. Keseriusannya dalam kajian bahasa Semit ini ia buktikan dengan meraih predikat terpuji dan mendapat gelar Doctor of Literature atau Doktor bidang Kesastraan. Ia mampu mempertahankan disertasinya yang berjudul “Mohammed en de Joden te Madina” dengan pengujinya C. Snouck Hurgronje.

Dalam perjalanan kariernya, Wensinck pernah menduduki berbagai jabatan di lembaga penelitian ilmiah. Tercatat ia menjadi anggota Koninklijke Nederlanse Akademie Van Wetenschapen (KNAW) dari tahun 1917-1938. Kemudian, pada 1933 ia diangkat sebagai salah satu anggota orientalis yang terhimpun dalam Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Malaki, Kairo, Mesir. Wensinck banyak terlibat dalam proyek penelitian ilmiah internasional seperti penyusunan The Encyclopedia of Islam yang terdiri dari lima volume dengan edisi pertama bahasa Inggris dan Perancis. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai rektor Universitas Leiden dan menjabat sebagai sekertaris Goeje Foundation.

Pemikiran Hadis Wensinck

Pandangan hadis Wensinck sama dengan para orientalis sebelumnya, yaitu skeptis pada hadis, bahkan meragukan matan hadis itu benar-benar dari Nabi Saw. Wensinck berpendapat bahwa urgensi studi ilmu hadis lebih ditekankan pada fungsinya sebagai alat untuk memahami ajaran Islam dengan mudah. Pendekatan yang dipakai Wensinck dalam mengkaji hadis adalah pendekatan sejarah. Hadis yang terhimpun hingga saat ini tidak lepas dari akar kesejarahanya.

Hal yang menarik dalam kajian hadis, menurut Wensinck, yaitu persoalan yang menggugat apakah betul bahwa matan hadis benar-benar berasal dari Nabi Saw? Ia mencurigai bahwa jangan-jangan hadis terpengaruh oleh berbagai unsur tradisi di luar Islam, terutama Kristen dan Yahudi. Sebab, dua agama ini sangat berdekatan doktrin ajarannya, meskipun juga terdapat banyak perbedaannya. Jadi Wensinck menganggap bahwa sebagian matan hadis tidak otentik dari Nabi Saw, sebab banyak dijumpai matan hadis yang tercampur dengan tradisi Kristen dan Yahudi. Hal ini sebagaimana ungkapan Wensinck sendiri dalam The Importance of Traditional for Study of Islam:

Tradisi Islam merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab untuk menujuk hadis dan sunnah. Yang pertama menunjukkan komunikasi atau dongeng dalam kasus kami terjemahan lisan atau tulisan dari perkataan atau tindakan yang disebutkan; yang terakhir berarti “penggunaan” dan “tradisi”, dalam kasus kami ini adalah contoh cara Muhammad bertindak dan berbicara. Jadi hadis itu wujudnya, sunnah soalnya. Tradisi mengenai bentuknya adalah Yahudi. Menurut konsepsi Yahudi, Hukum diwahyukan. “….” (Wensinck, 1921: 239)

Salah satu hal yang menjadi bukti bahwa hadis Nabi terkontaminasi dengan ajaran di luar Islam yaitu kisah salah seorang bernama Ka’ab al-Akhbar, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam.  Dilkatakan, ia banyak meriwayatkan cerita, dongeng, dan legenda yang ada dalam perjanjian lama (israiliyyat) ke dalam hadis. Bahkan, Wensinck mengatakan bahwa hadis terpengaruh ajaran Helenisme, yaitu aliran filsafat Romawi.

Jadi Wensinck menganggap bahwa matan hadis Nabi banyak tercampur dengan berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam. Kesimpulan Wensinck yang demikian karena terbentuk dari latar belakang ilmu sejarah dan bahasa Semit yang dikuasainya.

Dengan kemampuannya yang mendalam pada sejarah agama-agama Timur Tengah, ia mengkomparasikan fakta-fakta sejarah dan tradis berbagai agama, utamanya Kristen dan Yahudi. Wensinck melakukan kritik terhadap matan hadis dengan fakta-fakta sejarah, tradisi, dan ajaran agama-agama sebelum Islam. Cara untuk mengetahui otentik atau tidaknya sebuah hadis bergantung sejauh mana orisinalitas dan genuinitas sebauh matan hadis.

Kontribusi Pengembangan Ilmu Hadis

Meskipun Wensinck anti-Islam dan skeptis terhadap hadis Nabi, namun kontribusinya dalam pengembangan ilmu hadis sangat besar. Dalam ilmu hadis dikenal istilah takhrij al-hadis, yaitu metode pencarian hadis dengan mudah. Bisa dibayangkan betapa susahnya mencari sebuah hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis yang berjilid-jilid itu.

Ada lima macam metode pencarian hadis dan dua metode telah dikenalkan oleh Wensinck, yaitu mencari kata-kata dan tema dalam sebuah hadis. Wensinck pun mewariskan dua kitab yang bermanfaat untuk umat Islam, khususnya dalam pencarian hadis dengan mudah.

Dua kitab tersebut dikenal dengan nama “al-Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi dan Miftah Kunuz al-Sunnah”. Kedua kitab ini tidak asli berbahasa Arab. Namun, berkat jasa Muhammad Fuad Abdul Baqi ,keduanya diterjemahkan dalam bahasa Arab.

Kitab Miftah Kunuz as Sunnah ini judul aslinya A Handbook of Early Muhammadan Tradition: Alphabetically Arranged. Kitab ini berisi indeks pencarian perawi hadis, kutipan matan hadis tanpa perlu membuka lembaran kitab hadis yang tebal-tebal itu. Dengan mencari kata kunci pada matan hadis, maka akan mudah ditemukan hadis yang dicari serta ditunjukkan hadis tersebut ada di kitab apa dan nomor berapa.

Selain kitab tersebut, Wensinck juga menulis kitab yang kedua, yaitu al Mu’jam al Mufahraz li Alfaz al Hadis al Nabawi. Kitab ini berisi kamus hadis yang merujuk kitab hadis primer yang disebut kutubus as-sittah atau enam kitab hadis popular, yaitu Sahih Bhukari, Sahih Muslim, Sunan at Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan an-Nasa’i. Selain itu juga berisi beberapa kitab hadis sekunder, seperti Musnad Imam Ahmad dan Muwattha’ Imam Malik. Adanya kitab Mu’jam ini memudahkan para pengkaji hadis dalam pencarian hadis sesuai keinginannya.

Alasan Wensinck menulis dua karya tersebut untuk merespons para sarjana Barat yang kesulitan ketika melakukan takhrij hadis. Sebab, sebelum ada Mu’jam, pencarian hadis hanya bisa dilakukan secara manual, dan hal ini dianggap sangat melelahkan dan menguji kesabaran para pengkaji.

Saat ini warisan Wensinck telah dijadikan aplikasi digital sehingga lebih memudahkan lagi dalam mentakhrij hadis. Tinggal memasukan kata kunci pada mesin pencarian, maka akan muncul apa yang kita cari. Di era digital ini kita dimudahkan oleh teknologi, sangat disayangakan jika tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan.

Referensi:

Syarifuddin, M. Anwar. 2011. Kajian Orientalis Terhadap Al-qur’an dan Hadis. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Wensinck, A.J.1921. The Importance of Tradition for Study of Islam. The Moslem World.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan