Yang Keramat, yang Melawan Ortodoksi

1,347 kali dibaca

Membaca buku Wali Berandal Tanah Jawa ini, yang dalam edisi Inggris berjudul Bandit Saints of Java dan diberi anak judul How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia, kita tahu bahwa tradisi ziarah berwajah kompleks.

Tradisi ziarah ke situs-situs bersejarah, dalam hal ini makam-makam keramat misalnya, tak melulu soal menghormati dan belajar dari tempat-tempat dan tokoh-tokoh sejarah, tak melulu soal berdoa dan meminta doa di situs-situs keramat, juga tak melulu soal ikhtiar mendekatkan diri kepada yang ilahiah melalui wasilah.

Advertisements

Tradisi ziarah, terutama di Tanah Jawa dengan latar historisnya, ternyata merupakan sebentuk perlawanan terhadap dominasi ortodoksi agama. Ragam agama yang pakem, yang baku, yang ortodoks, yang bisa dibaca sebagai syariah an sich yang imperatif hitam-putih-halal-haram, yang datang dari negeri Timur Tengah yang jauh, dianggap tak cukup mewadahi “keintiman manusia dengan Sang Pencipnya”.

Karena itulah, tradisi-tradisi lokal, yang sudah berurat-berakar selama berabad-abad sebelum Islam datang ke Nusantara, memberikan “perlawanan”. Situs-situs keramat yang berserakan di Pulau Jawa, yang justru semakin banyak diziarahi ketika gebyar keagamaan telah memenuhi ruang-ruang publik, adalah bukti historis adanya “perlawanan” itu.

George Quinn, penulis buku ini, menyebutnya dengan istilah buah dari pertemuan antara iman Islam dengan sejarah (atau kearifan) lokal. Selama bertahun-tahun, peraih gelar doktor dari Universitas Sydney, ini mengunjungi ratusan situs keramat yang bertebaran di Tanah Jawa. Ia tak sedang rekreasi atau mengikuti wisata religi. Ia melakukan riset dan studi budaya dan agama, melacak sumber-sumber yang jauh atas keberadaan situs-situs tersebut, dan membuka relasinya dengan konteks zaman.

Hasilnya adalah buku setebal 552 halaman ini. Buku yang terbit dalam edisi Inggris tahun 2019 dan edisi Indonesia pada Februari 2021 ini terdiri dari 10 bab plus prolog dan epilog. Di sepanjang buku ini, kita dituntun untuk “menziarahi” situs-situs keramat di berbagai tempat di Pulau Jawa sesuai dengan babakan sejarahnya lengkap dengan cerita-cerita rakyat yang menyertainya, mulai dari situs para wali sohor penyebar Islam di Jawa, situs trah raja-raja Jawa, situs tokoh-tokoh lokal pembela rakyat kecil, hingga makam Mbah Priok dan yang teranyar makam Gus Dur.

Tentu, yang memperoleh tempat utama adalah situs makam keramat para Wali Songo. Namun, buku ini juga memberi tempat terhotmat untuk tokoh-tokoh lain yang tak begitu dikenal seperti Pangeran Punggung, Nyai Ageng Bagelen, Nyai Ageng Pinatih, Nyai Ageng Bandha, dan Nyi Ageng Manila, misalnya. Semua dilengkapi dengan cerita-cerita rakyat yang menudungi kelanggengan situs-situs keramat tersebut.

Yang menggelitik George Quinn, seperti diungkapkan dalam Epilog, adalah bagaimana tradisi ziarah ke situs-situs keramat justru kian marak ketika Islam ortodoks telah menguasai dan meramaikan ruang-ruang publik. Padahal, berdasarkan penelusuran sejarah yang diperoleh George Quinn, praktik-praktik kuno, yang pra-Islam, itu yang justru ingin diberangus melalui penyebaran ajaran Islam karena sianggap sebagai bidah dan syirik. Lebih-lebih, ketika gerakan Wahabi mulai menggelinding dari Tanah Arab ke Tanah Jawa, yang ingin memurnikan ajaran Islam “semurni-murninya”. Di Tanah Arab sendiri, pada 1920-an situs-situs keramat mulai dihancurkan.

Terhadap fenomena ini, George Quinn mencoba menarik benang merah secara hati-hati. Menurutnya, bagi batin orang Jawa, Islam yang ortodoks, yang syariah an sich, memang tak cukup memberi ruang untuk “berintim-intim dengan Tuhan”. Ruang “Islam ortodoks” itu di sini disimbolkan dengan masjid yang kian megah, namun kaku, rigid, seragam, dan patriakis, cenderung didominasi kelelakian. Orang-orang tetap datang ke masjid untuk salat dan ngaji. Tapi yang mereka cari tak ada di sana. Mereka menemukan “keintiman” dengan penguasa jagat justru di situs-situs keramat itu. Situs-situs keramat itu dianggap lebih familiar, melindungi, sederhana, dan tak (lagi) patriakis.

Apakah benar demikian? George Quinn tak berani mengambil kesimpulan. Tapi, seperti diungkap sepanjang buku, munculnya situs-situs keramat beserta sejarah yang menyertainya memang diakui sarat dengan perlawanan terhadap dominasi ortodoksi itu. Jika membaca buku ini secara utuh, akan tergambar dengan jelas cerita tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan situs-situs keramat itu memang sarat dengan perlawanan terhadap dominasi kuasa agama ortodoks. Jika sekarang semakin banyak orang menziarahinya, bisa jadi fenomena yang sama yang terjadi.

Data Buku:
Judul           : Wali Berandal Tanah Jawa
Pengarang  : George Quinn
Isi                : 552 Halaman
Penerbit      : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun          : 2021

Multi-Page

Tinggalkan Balasan