“Wigati”, Suara Hati Seorang Santri

4,304 kali dibaca

Judul Buku      : Wigati; Lintang Manik Woro

Pengarang       : Khilma Anis

Advertisements

Penerbit           : Telaga Aksara

Tahun Terbit    : September, 2019

Ketebalan        : 276 halaman

 

Setelah kesuksesan Hati Suhita yang merebut hati ratusan ribu pembaca dan menjadi salah satu novel yang dianggap memberikan sumbangsih besar bagi genre sastra pesantren dewasa ini, beberapa pembaca Hati Suhita pun mulai penasaran dengan novel-novel lain yang ditulis Khilma Anis, salah satunya Wigati. Berbeda dengan Hati Suhita yang ceritanya lebih nge-pop dan berfokus di dalam urusan rumah tangga pasangan Gus dan Ning yang baru menikah, Wigati justru berfokus di kehidupan santri putri sebuah pesantren.

Di tengah kemunculan novel-novel pesantren yang nge-pop banget akhir-akhir ini dengan menarasikan suara (yang mohon maaf) sedikit elitis: Gus dan Ning dari pesantren besar, tampang rupawan bak artis terkenal, pinter bisnis, alim, cerdas, dan super kaya raya sehingga membuat pembaca termehek-mehek baper membayangkan dirinya ada di posisi tokoh fiksi tersebut, Wigati seperti menjadi oase yang begitu melegakan. Ia dinarasikan oleh suara santri biasa, yang di dalam novel Wigati ini direpresentasikan oleh Lintang Manik Woro; santri yang berjibaku dengan kehidupan sehari-hari di pesantren yang begitu sederhana. Menimba air dan minum air sumur tanpa dimasak, ngaji bareng-bareng santri lain ke Romo Kiai, mencuci, memasak di dapur yang becek, ditakzir saat membuat kesalahan dan lain sebagainya. Manik juga digambarkan sebagai seorang santri pada umumnya, yang tidak pintar-pintar banget, terbata menghafal nadhom alfiyah, namun baik hati dan sangat setia kawan.

Yang membuat novel Wigati begitu memesona adalah kepiawaian penulis mengisahkan persahabatan dan cinta dengan latar pesantren yang berkelindan dengan persoalan keris dan falsafah Jawa. Manik, yang menjadi tokoh aku dalam novel tersebut bersahabat dengan Wigati, santri putri yang pendiam dan cukup aneh di pondok karena terlihat akrab dengan hal-hal mistis. Karena kedekatan itulah, ia mau tidak mau ikut terjerumus dalam pusaran konflik batin Wigati dengan masa lalunya, tentang teka-teki siapa sesungguhnya ayah kandung Wigati yang dibenci Wigati setengah mati karena menelantarkannya sejak masih dalam kandungan ibunya.

Sebagai seorang keturunan empu besar, baik dari pihak kakek maupun nenek, Wigati akrab dengan cerita-cerita mengenai keris-keris pusaka yang pernah ditempa oleh kakeknya. Ia pun mewarisi keris berbentuk patrem bernama Nyai Cudrik Arum yang diantarkan oleh Hidayat Jati, anak dari lelaki yang dititipi amanah untuk menyimpan patrem tersebut oleh Empu Suronggono, kakek Wigati. Patrem itu harus dipertemukan dengan pasangannya, keris Kiai Rajamala yang kini ada di tangan ayah kandungnya. Perjuangan Manik dalam membantu sahabatnya, Wigati, untuk bertemu kembali dengan ayah kandungnya dan memastikan kalau sahabatnya tidak melakukan hal-hal mengerikan yang dipicu dendam serta kemarahannya pada ayah kandungnya. Dan di tengah perjalanan itu, Manik jatuh hati pada Jati. Perasaan itupun bersambut. Tetapi sebagaimana kisah-kisah cinta di dunia nyata, kadang cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua orang yang saling jatuh cinta bukan?

“Ada yang lebih mengerikan dari perang manapun. Yaitu perang di dada kita sendiri.” (Wigati, hal 165)

Yang mengagumkan dari cara bercerita Khilma Anis dengan Wigati adalah bahwa ia tidak main-main dengan segala referensi-referensinya soal dunia keris, wayang, dan falsafah Jawa yang dituturkan dengan apik tanpa terkesan sedang menggurui pembaca. Rujukannya begitu kaya sampai-sampai segala kelindan historis dalam novel tersebut terasa betul-betul menjadi bagian tidak terpisahkan yang secara alami merajut cerita Wigati. Semangat yang mendukung kemandirian perempuan juga terasa sekali dalam novel ini. Hampir semuanya dinarasikan dengan sangat natural dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. Membaca Wigati ini membuat saya memiliki harapan besar pada sastra pesantren. Bahwa novel pesantren populer juga ternyata bisa loh memperbincangkan hal-hal yang tidak melulu percintaan Gus dan Ning dengan segala bumbu-bumbu bombastisnya. Bahwa novel pesantren juga bisa berbicara tentang betapa pernikahan sirri itu merugikan. Bahwa novel pesantren juga bisa berbicara tentang sudut pandang seorang santri biasa, sudut pandang suara bawah bukan melulu suara atas yang elitis. Bahwa ternyata novel pesantren bisa sekaya ini. Tentu saja, semua membutuhkan proses yang tidak singkat. Khilma Anis dan penulis-penulis lainnya pun sedang menjalani proses itu. Dan setelah Wigati ini, saya betul-betul menantikan novel-novel pesantren lainnya yang menawarkan kisah-kisah yang lebih kaya, sekaligus populer dibaca oleh banyak kalangan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan