Pondok Darussalam, Mata Air Santri di Kota Santri

4,115 kali dibaca

Bermula dari pelestarian tradisi halaqoh, Darussalam berkembang pesat menjadi salah satu pondok pesantren terbesar tak hanya di Pulau Kalimantan, tapi juga di Indonesia. Ia telah menjadi mata air yang menyuburkan kehidupan kota santri Martapura di Kalimantan Selatan dan sekitarnya.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kota Martapura di Kabupaten Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah dikenal sebagai sebagai kota santri. Di sini hidup seorang ulama besar, Syekh Muhammad Arsyad al Banjary. Didukung oleh Kesulatanan Banjar, Syekh Arsyad al Banjary berhasil menyebarluaskan syiar Islam ke seluruh penjuru Borneo, sebutan lain dari Pulau Kalimantan. Melalui lembaga pendidikan yang disebut Pesantren Dalam Pagar, Syekh Arsyad al Banjary banyak melahirkan ulama kala itu.

Advertisements

Setelah Syekh Arsyad al Banjary wafat pada 1777 dan Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tradisi penyebaran ajaran Islam yang dirintis oleh Syekh Arsyad al Banjary diteruskan para muridnya. Namun, penyebaran dan pendidikan ajaran Islam dilakukan di surau-surau atau rumah-rumah para ulama atau kiai di berbagai tempat dengan sistem halaqoh. Para santri, tua muda, laki perempuan, duduk bersila membentuk setengah lingakaran, lalu mendengarkan ulama atau kiai yang memberikan pengajian kitab-kitab keagamaan.

Rupanya, tradisi halaqoh itulah yang juga diteruskan oleh KH Jamaluddin. Ia mengadakan halaqah di rumahnya, dan masyarakat sekitar datang duduk bersila, melingkar, mendengarkan Kiai Jamal memberikan pengajian. Bedanya, Kiai Jamal yang di awal abad ke-20 adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Ia menjadi tokoh Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) ketika itu. Dengan pergaulannya itu, Kiai Jamal telah bersentuhan dengan pemikiran modern dan pengelolaan organisasi secara modern.

Karena itulah, Kiai Jamal juga mulai melakukan pelembagaan terhadap halaqoh yang dirintisnya, meskipun dimulai dengan cara yang snagat sederhana. Ia mengajak musyawarah tokoh-tokoh masyarakat untuk melembagakan halaqoh pengajiannya. Berkat gotong royong masyarakat setempat, akhirnya dibelilah sebuah rumah berukuran 10 x 20 meter dari seorang Tionghoa. Rumah yang berada di Kampung Pasayangan, Martapura, itu kemudian dirombak disesuaikan dengan kebutuhan dan dijadikan tempat belajar agama dan diberi nama “Madrasah Darussalam”. Itu terjadi pada 1914 (yang kelak tercatat sebagai sejarah berdirinya Pondok Pesantren Darussalam).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan