Pondok Darussalam, Mata Air Santri di Kota Santri

4,142 kali dibaca

Bermula dari pelestarian tradisi halaqoh, Darussalam berkembang pesat menjadi salah satu pondok pesantren terbesar tak hanya di Pulau Kalimantan, tapi juga di Indonesia. Ia telah menjadi mata air yang menyuburkan kehidupan kota santri Martapura di Kalimantan Selatan dan sekitarnya.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kota Martapura di Kabupaten Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah dikenal sebagai sebagai kota santri. Di sini hidup seorang ulama besar, Syekh Muhammad Arsyad al Banjary. Didukung oleh Kesulatanan Banjar, Syekh Arsyad al Banjary berhasil menyebarluaskan syiar Islam ke seluruh penjuru Borneo, sebutan lain dari Pulau Kalimantan. Melalui lembaga pendidikan yang disebut Pesantren Dalam Pagar, Syekh Arsyad al Banjary banyak melahirkan ulama kala itu.

Advertisements

Setelah Syekh Arsyad al Banjary wafat pada 1777 dan Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tradisi penyebaran ajaran Islam yang dirintis oleh Syekh Arsyad al Banjary diteruskan para muridnya. Namun, penyebaran dan pendidikan ajaran Islam dilakukan di surau-surau atau rumah-rumah para ulama atau kiai di berbagai tempat dengan sistem halaqoh. Para santri, tua muda, laki perempuan, duduk bersila membentuk setengah lingakaran, lalu mendengarkan ulama atau kiai yang memberikan pengajian kitab-kitab keagamaan.

Rupanya, tradisi halaqoh itulah yang juga diteruskan oleh KH Jamaluddin. Ia mengadakan halaqah di rumahnya, dan masyarakat sekitar datang duduk bersila, melingkar, mendengarkan Kiai Jamal memberikan pengajian. Bedanya, Kiai Jamal yang di awal abad ke-20 adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Ia menjadi tokoh Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) ketika itu. Dengan pergaulannya itu, Kiai Jamal telah bersentuhan dengan pemikiran modern dan pengelolaan organisasi secara modern.

Karena itulah, Kiai Jamal juga mulai melakukan pelembagaan terhadap halaqoh yang dirintisnya, meskipun dimulai dengan cara yang snagat sederhana. Ia mengajak musyawarah tokoh-tokoh masyarakat untuk melembagakan halaqoh pengajiannya. Berkat gotong royong masyarakat setempat, akhirnya dibelilah sebuah rumah berukuran 10 x 20 meter dari seorang Tionghoa. Rumah yang berada di Kampung Pasayangan, Martapura, itu kemudian dirombak disesuaikan dengan kebutuhan dan dijadikan tempat belajar agama dan diberi nama “Madrasah Darussalam”. Itu terjadi pada 1914 (yang kelak tercatat sebagai sejarah berdirinya Pondok Pesantren Darussalam).

Di Madrasah Darussalam ini, pendidikan agama masih diberikan dengan sistem tradisional seperti sebelumnya. Para santri tetap membentuk halaqoh. Tua, muda, anak-anak, laki dan perempuan masih duduk melingkar saat mengaji. Materi pengajiannya adalah kitab-kitab kuning tentang fikih, tasawuf, dan sebagainya. Sayangnya, Kiai Jamal tak lama mengembangkan lembaga pendidikan dirintisnya. Lima tahun kemudian, pada 1919, ia wafat, dan kepemimpinan Madrasah Darussalam diteruskan oleh KH Hasan Ahmad.

Saat itu, Kiai Hasan masih meneruskan model pendidikan diwariskan Kiai Jamal. Ia masih menggunakan model halaqoh, dan santrinya dari masyarakat sekitar. Namun, sentuhan Kiai Hasan juga tidak lama. Pada 1922 ia wafat, dan kemudian digantikan oleh KH M Kasyful Anwar. Mungkin karena masa kepemimpinannya panjang, dari 1922 hingga 1940, pada periode inilah KH M Kasyful Anwar mulai mengenalkan dan mengadopsi sistem modern, model klasikal, pada pendidikan di Madrasah Darussalam.

Tak hanya melakukan pembaruan sistem pendidikan, KH M Kasyful Anwar juga banyak melakukan pembangunan dan pengembangan fisik untuk sarana belajar mengajar. Gedung-gedung lama dipugar dan gedung baru dibangun bertingkat. Selain pengajian dengan sistem tradisional, pendidikan agama juga mulai diberikan dengan mengadopsi sistem modern dengan jenjang kelas (klasikal).

Pembaruan yang dilakukan oleh KH M Kasyful Anwar ini terus dilanjutkan oleh para penerusnya yang hingga kini telah mencapai generasi kesembilan. Kini, Madrasah Darussalam yang telah berubah nama menjadi Pondok Pesantren Darussalam telah berkembang dengan pesat, dan menjadi satu pondok pesantren di Indonesia. Berbagai jenjang pendidikan formal untuk agama dan umum telah dibangun. Tak hanya Madrasah Tahdiriyah, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, tapi juga SMP, SPP-SPMA (Sekolah Pertanian yang menggunakan kurikulum dari Departemen Pertanian), dan STM/SMK yang mengacu pada Depdiknas.

Pada jenjang pendidikan tinggi, ada Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) dengan kurikulum Depag/IAIN. Untuk kepentingan itu, telah dibuka lokasi baru diatas tanah 10 hektare di Jl.Perwira Tanjung Rema Darat Martapura, yang juga dijadikan kompleks gedung-gedung sekolah dan asrama guru/santri milik pessantren Darussalam. Belakangan, juga dibangun khusus Pesantren Tahfidz al-Qur’an Darusalam.

Kini, total santri Pondok Pesantren Darussalam mencapai belasan ribu orang. Rupanya, tradisi lama masih dipertahankan. Yaitu, tidak semua santri mondok atau bermukim di kompleks pesantren. Banyak santri yang berasal dari sekitar pondok tetap tinggal di rumah masing-masing. Banyak juga santri dari luar daerah yang indekos di rumah-rumah warga. Maka Martapura, khususnya Kampung Pasayangan, benar-benar mewujud sebagai kota santri. Dan, Pondok Pesnatren Darussalam menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakatnya.

Dari pondok tua inilah lahir banyak ulama, termasuk Tuan Guru Sekumpul. Ini juga diakui Guru Sekumpul semasa hidupnya. Inilah pengakuannya: “Apabila engkau menuntut ilmu di Darussalam, yang engkau dapat adalah keberkahannya. Dan, keberkahan itu sangat banyak. Salah satunya adalah berkah ilmu.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan