SURGA (YANG) MENGINTIP MALU-MALU DI CELAH KAKI IBU
Di telapak kakinya, aku menyusuri surga
Pulang dari segala hiruk pikuk semesta
yang meski tak seberapa,
namun menyita banyak waktu berduaan dengannya.
Di matanya, terbit binar bahagia mengalahkan ajaibnya doa
yang dipanjatkan ketika menyambut subuh tiba.
Di wajahnya, rona senang sanggup mendahului ijabah
doa para kekasih Tuhan yang lain.
Tepat di dada Ibuku, kutitip segala janji
Agar ia tersesat bersama tiap detak jantung ibu,
kemudian berwujud restu sebagai senjata paling ampuh
untuk berharap segala jenis kebaikan dapat menyertai.
Semesta boleh saja kacau balau,
kecuali pemilik senyum teduh
Bidadari: (yang) di tapak kakinya, surgaku dititipkan.
Lihatlah, surga itu yang malu-malu
mengintip lewat sela tapak kaki ibuku.
MELUKIS WAJAH SENIMAN
Aku bersepakat
atas guratan waktu yang tercekat
membisu di sebuah simpang takdir
mencegat
tumpukan harap di sela-sela jari anak Adam
Selepas cuci muka,
ia menemukan rona kesedihan
terpancar di wajah para seniman
Ketika bumi begitu tabah memelihara pandemi beserta
segala spekulasi tentangnya;
membatasi gerak kewarasan yang menggila
di poros semesta yang kian berantakan.
Tapi Ibu berkata,
Bahwa tak pernah ada seniman dalam lingkaran;
mereka terjerat tapi terbebas.
Mengakrabi alam sebagai karib paling disayang
Hingga segala hal justru menjadi muara
atas taruhan keindahan
“Sudah, berhentilah berusaha melukis wajah seniman.
Bahkan dalam situasi paling pelik sekalipun,”ujar Ibu.
Wajah seniman akan selalu gagal untuk dilukiskan