SURGA (YANG) MENGINTIP MALU-MALU DI CELAH KAKI IBU

1,038 kali dibaca

SURGA (YANG) MENGINTIP MALU-MALU DI CELAH KAKI IBU

Di telapak kakinya, aku menyusuri surga
Pulang dari segala hiruk pikuk semesta
yang meski tak seberapa,
namun menyita banyak waktu berduaan dengannya.

Advertisements

Di matanya, terbit binar bahagia mengalahkan ajaibnya doa
yang dipanjatkan ketika menyambut subuh tiba.
Di wajahnya, rona senang sanggup mendahului ijabah
doa para kekasih Tuhan yang lain.

Tepat di dada Ibuku, kutitip segala janji
Agar ia tersesat bersama tiap detak jantung ibu,
kemudian berwujud restu sebagai senjata paling ampuh
untuk berharap segala jenis kebaikan dapat menyertai.

Semesta boleh saja kacau balau,
kecuali pemilik senyum teduh
Bidadari: (yang) di tapak kakinya, surgaku dititipkan.

Lihatlah, surga itu yang malu-malu
mengintip lewat sela tapak kaki ibuku.

MELUKIS WAJAH SENIMAN

Aku bersepakat
atas guratan waktu yang tercekat
membisu di sebuah simpang takdir
mencegat
tumpukan harap di sela-sela jari anak Adam

Selepas cuci muka,
ia menemukan rona kesedihan
terpancar di wajah para seniman
Ketika bumi begitu tabah memelihara pandemi beserta
segala spekulasi tentangnya;

membatasi gerak kewarasan yang menggila
di poros semesta yang kian berantakan.

Tapi Ibu berkata,
Bahwa tak pernah ada seniman dalam lingkaran;
mereka terjerat tapi terbebas.
Mengakrabi alam sebagai karib paling disayang

Hingga segala hal justru menjadi muara
atas taruhan keindahan
“Sudah, berhentilah berusaha melukis wajah seniman.
Bahkan dalam situasi paling pelik sekalipun,”
ujar Ibu.

Wajah seniman akan selalu gagal untuk dilukiskan
sebab di antara pepohonan, tebing curam, atau pada samudera luas
wajahnya tersembunyi begitu elok
; alam menjadi kanvas
Wajah cerianya dalam balutan waras.
Semestanya kedap suara; pada tangannya
seni menjadi begitu nyata terbentang.

Namun sesekali para seniman menjadi waras
dengan mengkhawatirkan kehidupannya.

Dan sudahilah melukis wajah seniman;
semesta kita dan mereka dibatasi oleh jembatan
kewarasan –dengan sudut pandang yang berbeda.

CERITA PADA PEMUDA YANG MEMBAWA NEGARANYA

Dalam tumbuh
Begitu banyak hal utuh
tampak rapuh namun ternyata begitu teguh.

Seorang lelaki berlari, menggenggam martabatnya;
tersusun dari esensi keberanian
merah berpadu putih yang suci

Berteriak lantang menyusupkan kuasa
Tuhan menjadi napas atas kobar pusakanya.

Tuhan tidak pernah begitu sibuk
hingga enggan melirik makhluk dalam segala bentuk.

76 tahun meniti juang, menenggelamkan harap yang mengakar
dalam silih berganti konflik yang berkubang.
Siklus jalanan;
bermula dari sepi, menjadi begitu ramai,
lalu hening kembali.
Kini;
Rindu membawa pulang segala
sekat dalam dimensi ruang,
namun kegentingan situasi adalah tembok
tinggi yang mengerdilkan kemudahan jumpa;
yang meski terkikis
belum juga usang.

Doa-doa dipanjatkan untuk menepis
hilir mudik tantang, siap menjatuhkan siapapun
yang kalah dalam pertandingan.

Sementara gerombolan pemuda
yang membawa negaranya dengan rakit
terombang-ambing di lautan lepas,
diterjang amuk badai
Melewati batu karang,
digenggam kesadaran menuju
tangguh yang tumbuh,
pun tumbuh yang begitu tangguh.
; Kesadaran untuk membunuh ketimpangan
bijak yang memperkeruh kibar dinamis,
mengobrak-abrik hakikat
merah-putih yang begitu tabah

Pertiwi tak boleh hilang dari peta dunia
Merdeka;

Tuhan Maha Mengerti,
tak mencoret Indonesiaku takluk pada pandemi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan