Suara dari Langit

3,882 kali dibaca

Sejak seminggu lalu desas-desus sudah mulai merebak di kalangan warga. Udin yang sedang ngopi di salah satu pojok desa hanya berdiam dengan khusuk menikmati teh hangatnya. Sepotong gorengan tengah didigit sembari terus membaca koran yang ada di warung.

Namun tentu saja telinga Udin tidak tinggal diam. Dua helai telinganya itu mencuri dengar apa yang sedang ramai dibicarakan. Namun matanya tetap khusuk pada tiap baris tulisan yang ada di koran. Pada salah satu tajuk, di bagian paling pojok di halama paling depan, sebuah berita tentang proyek pembangunan yang digagas bupati lama meruak.

Advertisements

Seakan ingin membayar utangnya pada rakyat di akhir periode, sang bupati ingin mewujudkan pembangunan untuk rakyat miskin dengan membangun sebuah rusunawa. Udin tak terlalu menghiraukan, toh tempat dan waktunya belum disebutkan di sana. Bisa saja itu sekadar janji.

Teringat tentang janji, Udin telah membuatnya denga Kiai Imam untuk membenarkan saluran keran di dapur beliau. Tepat pukul dua siang dia mengangkat badanya dari bangku, membayar gorengan dan teh hangat yang dipesan tadi.

Tanpa menunggu lagi dia melangkahkan kaki menuju rumah sang sesepuh desa. Dari pelataran rumahnya tampak sepi, sebuah sapu dengan tumpukan daun terlihat di bawah pohon sawo. Buahnya lebat, hati Udin sempat tertarik meliriknya. Sembari menunggu lama di teras rumah, dia tak duduk dan terus berdiri.

“Lah Din, kok gak masuk.”

“’Iya Bah, nunggu Abah.”

“Lah wong sudah ditunggu dari tadi kok!” Dan si Udin langsun menuju dapur sembari tersenyam dengan wajah agak merona.

Di dapur Udin langsung mengecek apa yang salah dengan saluran keran rumah itu. Putri sang kiai yang jelita menyiapkan beberapa sajian dan minum. Daripada meliriknya, Udin lebih tertarik pada koran yang sedang dibaca sang kiai.

Tiba-tiba sang kiai menelepon seseorang, dan Udin masih bergelut dengan pekerjaannya. Di tengah bekerja, telinga Udin yang bandel masih saja mencuri dengar. Dari kesimpulannya, sang kiai tengah bertelepon dengan seorang wartawan. Ada kata “liputan” dan “Info” di tengah perbincangan mereka. Itu yang membuat Udin menarik kesimpulannya.

Setelah masalah pipa ditemukan, Udin segera mengambil peralatan di gudang sang kiai. Saat kembali ke tempatnya semula, sang junjungan tengah menelepon seseorang lagi. Kali ini suaranya di-speaker, jadi si juru pipa dapat mendengarnya dengan jelas. Tampaknya, kali ini Kiai Imam tengan berbalas cakap dengan seorang polisi.

Udin tak heran, kiainya itu memang mempunyai banyak relasi. Dari yang jabatannya tinggi hingga yang biasa saja dia kenal. Tak lama setelah masalah saluran air terselesaikan, sang santri ini pun ingin mohon pamit.

“Din, bentar.”  Langkahnya terhenti.

“Ini bagaimana cara bukanya.”

Udin segera melihat pada HP sang kiai. Ada sebuah file yang terlampir di aplikasi WA-nya. Udin juga tak sengaja membaca sang pengirim. Dari seorang wartawan sebuah harian, dan satunya lagi dari seorang perwira kepolisian. Tampaknya tebakan Udin tak salah, hatinya sedikit berbangga.

Setelah semua perintah kiainya terlaksana Udin pamit. Namun dengan rasa penasaran setelah membuka lampiran dari wartawan tadi masih hinggap didadanya. Meskipun pada akhirnya pemuda itu memilih untuk melupakannya.

Keesokan harinya banyak sekalli warga yang berkumpul di teras ndalem. Udin yang telah siap untuk dinas mengangkut padi yang akan diselep merasa bingung. Karena tempat gabah tak terlalu jauh dari teras, sekali lagi telinganya yang bagai kelinci mencuri informasi.

“Bagaimana ini Kiai, katanya rumah akan ada penggusuran di desa ini.”

“Hmm… dari mana kalian tahu.”

“Itu sudah jadi rumor lama Kiai, bahkan rumah Lek Jo sudah disatroni preman, suruh  jual ke yang punya proyek.  Dengan harga murah lagi!”

Udin yang hanya sepatah-sepatah mendengar pembicaraan mereka hanya bergumam. “Ternyata benar isu yang ada di warung.”

Setelah mengangkut semua gabah yang ada di gudang, Udin tak lagi bisa mengulik pembicaraan warga dan kiai-nya. Rasa penasaran yang kemarin masih bersarang. Tiga hari berlalu sejak kejadian-kejadian itu. Udin kembali dengan teh hangatnya duduk di warung bersama koran kesukaannya. Dan lagi-lagi telinganya mencuri suatu kabar.

“Yang bener kamu Jo?!”

“Iya, setelah kemarin para warga soan, besoknya tanahnya dibeli dua kali lipat dari harga pemborong. Saat ditanya lagi sama para warga, Kiai cuma bilang gini, ‘Wes gak apa-apa, ini suara dari langit yang bilang,’ gitu,” logat dan gerakan Lek Jo yang menirukan Kiai Imam.

Beberapa hari berselang dari kejadian itu, ada pengumuman yang disampaikan oleh Kiai Imam setelah maghrib. Sebelum kejadian berselang beliau berpesan untuk  para santri menetap sejenak pada tempatnya masing-masing. Para santri sempat kebingungan karena Pak Kiai cukup lama terdiam menghadap kiblat. Para santri sedikit gusar.

“Kita akan melakukan puasa selama sebulan terakhir. Hingga mendekati Ramadan, ini bukan sebuah keharusan. Bila yang mau silakan, bila yang tidak juga silakan.” Setelah pengumuman yang singkat itu sang junjungan kembali menuju rumahnya.

Udin lagi-lagi dibuat penasaran dengan apa yang diinginkan sang kiai. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menetapkan ketentuan. Namun menurutnya memang para pemuka agama selalu sedikit nyeleneh dalam mengambil keputusan. Namun pada akhirnya akan menuai kabar baik.

Hingga akhir puasa santri, lahan luas yang telah dibeli Pak Kiai tak kunjung digarap. Padahal musim penghujan segera berakhir, dan itu biasanya menjadi kabar buruk bagi para petani jika tak memulai tanam. Namu, Kiai Imam masih belum memperbolehkan para santri untuk menggarapnya. Padahal beberapa sesepuh karib Kiai Imam juga sudah berulang kali mengingatkan. Namun seolah mempunyai jalan pemikiran sendiri, beliau tetap teguh pada pendapatnya.

Udin tak lagi mempertannyakan. Pikirannya malah habis untuk mempertanyakan berbagai tindakan junjungannya. Apalagi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya sebagai abdi dalem. Di antaranya adalah merekap semua pengeluaran pondok di setiap akhir bulan. Dan dia tak lagi kaget bahwwa pengeluaran bulan ini membengkak dan dana pondok mulai menipis.

“Hmmm, memang banyak ya?” Suara yang tiba-tiba ada di samping telinga Udin itu mengagetkannya.

“Astagfirullah!” Pemuda itu terjungkal dari kursi.

“He-he-he, kamu kenapa Din!”

“Kaget Kiai. Lah tiba-tiba di sini.”

“Hmmm, segera rampungkan ya. Besok suruh anak-anak garap sawah. Tanam padi ya.”

Si Udin langsung memegang kepalannya. Langkah apa lagi yang diinginkan Pak Kiai. Besok mulai tanam, sedangkan curah hujan sudah mulai rendah. Artinya akan ada pengeluaran lebih untuk solar diesel pengairan. Tapi Udin sudah tak sanggup lagi menebaknya. Dia hanya menjalankan semua amanat.

Beberapa hari kemudian setelah tanam dilakukan beserta pengairan yang lebih menghabiskan dana karena hujan tak lagi datang, Pak Kiai masih terlihat tenang saja. Saat Udin selesai mengembalikan jerigen minum dari sawah, Kiai Imam berpesan, “Besok kes ini ya Din, agak pagi. Nanti ada tamu, kamu temenin saya.”

Udin hanya mengangguk, tak ada lagi rasa penasaran karena bila ada, dia akan menghapusnya terlebih dahulu dan memasrahkan semuanya.

Keesokan harinya ada sebuah mobil yang datang ke pesantren. Pria berjas hitam muncul. Udin dan Kiai  Imam menyambutnya di ndalem. Mereka dan Kiai segera membahas inti permasalahan. Selayaknya para orang kota yang tidak ingin basasa-basi, mereka langsung membuka harga.

“Jadi seperti maksud kami, Bapak Imam ingin berapa?” Dan tak lama Kiai menuliskan harga.

Para pria berjas itu nampaknya kaget, dan Udin lebih kaget lagi karena tak tahu bagaimana membaca angka nol sebanyak itu. Mereka berdiskusi dan menawar beberapa kali. Berdiskusi kembali, saling menatap, lalu menginginkan keringanan kembali. Kiai Imam berkelit karena lahan yang dimaksud juga baru ditanam padi. Dan seakan memang para pria berdasi itu tak bisa menolak, dengan raut wajah yang sedikit gusar menyetujui perjanjian di atas materai.

Beberapa menit setelah negosiasi yang  alot itu, Udin disuruh membantu membersihkan segala suguhan di meja. Saat menaruh asbak di bawah kolong meja tangannya menyenggol sesuatu. Sebuah kertas. Saat pemuda itu mengambilnya, ada sebuah tulisan buram bekas fotokopi. Di bacanya “Berkas rahasia, Rencana Pembangunan Pemerintah Jangka Panjang”. Saat dibuka, Wilayah Kelurahan Sentoli, Kecamatan Bulak-Balik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan