Sepatu Maradona dan Kaus Kaki Anakku

1,263 kali dibaca

Apa yang menarik dari sebuah sepatu? Tak ada! Sebab apa? Sebab dia tak punya satu tangan pun. Tak ada tangan manalah dapat menarik apa-apa. Ah, apa pula ungkapan mengada-ada ini aku tuliskan di sini. Mohon maaflah sebab hal-hal yang tak penting ini terpaksa terbaca.

Kalau yang ini baru serius. Dulu, pada zaman aku masih di Sidimpuan, kalau tak salah pada saat aku masuk kelas lima abang aku datang dari Jakarta. Abang aku alhamdulillah sudah kerja di sana. Sekali dua tahun ia balik kampung dan berhari raya dengan keluarga. Abang aku belum menikah.

Advertisements

Tadi dini hari abang sampai di rumah. Aku hanya dengar samar-samar saja. Mak terbangun sebab ada yang ketuk-ketuk pintu rumah. “Dah sampe rupanya, Nak!” sapa mak begitu ia buka pintu. Aku dengar sayup-sayup mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa-apalah yang orang dewasa bicarakan.

“Jadi kau dapat cuti berapa hari….” habis itu hilang aku tertidur pulas lagi.

Subuh sudah datang. Aku rasa mukaku diperciki air.

“Bangun! Bangun! Katanya mau kek Maradona. Mana ada kalau jam gini masih tidur,” Abang rupanya yang bangunkan aku. Aku lihat badannya yang lumayan tinggi dan besar berdiri di hadapanku. Pantaslah ia terlihat besar. Aku dan dia berjarak delapan belas tahun. Aku bangun. Ia memberikan kain sarung padaku dan kami berangkat ke surau terdekat untuk salat subuh.

Singkat cerita, pada pukul sembilan siang itu dia minta aku menemaninya pusing-pusing kota. Aku ikut saja. Dia panggil becak mesin dan kami pun berangkatlah.

Rupanya dia mengajak aku ke Pajak Batu. Orang kami menyebutnya Pajak Batu karena pajak itu memanglah terbuat dari batu. Oh iya, aku lupa di kami pajak itu sama dengan pasar kalau di tempat lain.

“Ke mana kita, Bang?” tanyaku.

“Ikutlah!” jawabnya.

Aku pun bergegas berjalan di sampingnya.

Ia masuk ke sebuah toko sepatu. Aku agak kaget tapi sebagai lelaki kusembunyikan itu. Apakah ia hendak membelikan sepasang sepatu untukku? Aku tak mau mengatakan bahwa ia hendak membelikan sepatu baru, sebab aku kan belum pernah punya sepatu sebelumnya. Artinya aku tak punya sepatu lama, kan? Jadi macam mana pula aku dapat mengatakan jika sepatu yang baru dibelikan ini sepatu baru? Sepatu baru itu memanglah baru dan masih terbungkus dalam kemasannya. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan kalau sepatu ini sepatu baru? Aku kan tak punya yang lama!

Sebelumnya, aku ke sekolah pakai sendal Lily atau sandal japang saja. Kalau malam turun hujan maka baiknya kaki ayam saja, kalau tidak sendal bisa rusak seketika semisal talinya putus tengah atau putus ujung. Kalau putus tengah tamatlah kaji sendal itu. Kalau putus ujung masih dapatlah dipada-padakan. Ujung tali sepatu dapat dibesarkan dengan lilitan karet gelang atau dapat pula ditambahkan kancing peniti agar tersangkut dia dan tak lepas.

Sambil melihatku, Abang berkata, “Pilihlah mana kau suka!”

Sebetulnya ia berkata pelan. Entah kenapa kok seperti ada pelantang yang menyasar ke telingaku ketika dia bilang “Pilihlah mana kau suka!” Mau pingsan rasanya. Aku yang tak pernah punya sepatu lama ini akan punya sepatu baru. O mak..!

Aku tatap wajah abang. Itu hanya sekadar memastikan kalau yang ia bilang memang benar. Bolehlah ikut membayangkan macam mana kerling mataku tadi menatap dari sudut sempit tak percaya diri. Bukan! Bukan memelas atau mengiba! Pantang bagiku! Hanya memastikan , kan boleh. Abang mengangguk kecil dan tersenyum sedikit juga.

Di pasar tadi, aku sengaja pilih sepatu yang agak bergerigi tapaknya. Baiknya sepatu aku itu nampak sebagai sepatu sepak bola. Sepatu “Maradona Kampung Sipirok” pantasnya kan pakai sepatu yang mirip dengan sepatu “Maradona Argentina” itu, kan… kan… kan. Abang aku tersenyum saja sambil membayar sepatu aku itu. Aku kan tak menyebutnya sepatu baru. Aku kan belum punya yang lama!

Balik dari Pasar Baru, aku gamit sepatu mirip sepatu sepak bola aku itu di ketiakku. Takut jatuh pun! Jangan sampailah karton kemasannya peyot-penyot, tak elok kan! Sayang kali aku sama sepatuku sepatu Maradonaku! Tak paham aku soal harga, tak hendak paham aku berapa uang yang abang aku keluarkan untuk ini. Pelukanku pada pengemas sepatu aku nih begitu erat sehingga tak hendak pun ia lepas. Makin dekat ke rumah makin erat kugamit kemasan sepatuku. Makin dekat makin erat. Takutnya aku kalau dia lepas. Pas masuk rumah kutengok kemasan sepatuku. Alamak, dah peyot-penyok tak tentu bentuk tak kenal rupa!

“Apa kabar sepatu “maradonaku” ya?” aku bertanya dalam hati. “Jangan-jangan….”

Jantung aku berdegup cepat! Kurasa kalian pun begitulah agaknya. Jantung kalian pun berdegup cepat kali kan? Kan… kan… kan….  Kalian juga ingin tahu macam mana bentuk sepatuku kan?

“Aku harus hati-hati. Kalau tidak, bisa celaka tiga belas. Kalo sepatu pertama aku koyak-koyak macam mana?!” aku berbisik pada diriku sendiri.

Ah! Sepatu pertama! Aku tahu sekarang! Sepatu maradonaku ini adalah sepatu pertama aku. Ia bukan sepatu baru aku. Sebab kan kalian sudah tahu aku belum punya yang lama. Ah, kalian ngggak percaya juga? Analoginya macam ini, kalau kalian baru menikah apakah kalian akan menyebut istri kalian itu sebagai istri baru. Kalian kan belum punya yang lama.

Melantur! Melantur terlalu jauh itu kurang baik untuk kesehatan. Memang, kalau dalam urusan penceritaan khususnya cerita panjang keberadaan lanturan itu adalah keniscayaan. Ada baiknya kita kembali ke urusan sepatu tadi.

Perlahan-lahan sekali sepenuh kehati-hatian aku buka pengemas sepatu pertamaku, sepatu maradonaku. Dan… tara… sepatuku ternyata masih mulus tak ada kerut-cemarut sedikit pun. Sepatu pertamaku telah mendarat dengan mulus di rumah. Abang aku tersenyum meski menyiratkan rasa haru melihat tingkah polahku yang mengenaskan itu. Mengenaskan tentu, buat orang kota. Tapi biarlah aku menikmatinya pun.

Malam sebelumnya, sebelum tidur aku tatap sepatu pertamaku dengan sepenuh kebanggaan. Tak hendak rasanya kulepas ia. Sepatu Maradonaku tersayang yang akan membawaku mengalahkan Argentina. Aku dekap sepatuku dalam tidur dan ia membawaku ke alam mimpi.

Pagi telah tiba. Habis mandi, pakai baju, dan makan pagi kukenakan sepatu biru-putih itu. Nanti sehabis sekolah kan kami, aku dan sepatuku, ciptakan sepuluh gol, lalu esok seratus dan seribu gol.

Siang itu, aku coba main bola bersama sepatu Maradonaku. Baru beberapa langkah, kakiku terasa perih. Kakiku ternyata melepuh. Perih.

Apa daya sepatu Maradonaku terpaksa aku istirahatkan. Biarlah dia nyaman dulu di bawah pohon singkong itu.

Permainan berlanjut. Aku ciptakan dua atau tiga gol. Bahagianya tak terkira.

Tiba di rumah kakiku terasa perih. Pemain besar tidak boleh mengeluh. Pemain besar harus tahan apalagi ini hanya sebatas perih. Perih aku tahan dan aku berhasil. Aku pulang dengan senyum merekah. Tapi….

Sepatu Maradonaku yang membuat kakiku perih itu…. mana dia? Oh, Tuhan! Sepatu pertamaku tertingal di lapangan depan sekolahku. Aku bangkit dan segera berlari ke sana. Aku berlari bagai kilat. Aku tiba di sana dalam sekejap. Tapi tak ada orang! Tak jua sepatu maradonaku.

Aku terpana sejenak! Aku kehabisan kata-kata. Air mataku mendarat di kakiku tepatnya sedikit di bawah kuku kakiku. Perih! Terasa perih sebab kulitnya yang melepuh.

***

Hari itu, sesudah puluhan tahun berlalu, kamis, 01-06-2016, anakku aku bantu memakai sepatu baru. Aku katakan sepatu baru sebab ia sudah punya beberapa sepatu lama. Pantaslah kalau aku sebut ia memakai sepatu baru. Ia pakai yang baru karena sepatu lamanya basah karena kehujanan kemarin.

Perjalanan ini, berjalan menuju sekolah anakku, memang penuh cerita. Seperti yang sudah aku katakan di atas, aku membantu anakku memakai sepatu barunya.

“Pakai kaus kaki ya!” kataku.

“Nggak mau ah, Ayah! Nggak enak pakai kaus kaki,” ia menolak.

“Sepatu baru biasanya kulitnya masih keras. Nanti kakimu sakit,” aku membujuk.

“Nggak tuh,” ia berdiri dan menjejak-jejakkan kakinya ke lantai. “Sepatunya nggak bikin kaki aku sakit,” balasnya. Aku senyum. Aku coba membujuk sekali lagi. Aku carikan cara agar mood-nya tidak rusak dan tetap dalam kondisi senang berangkat sekolah.

“Sayang lho, sepatu baru akan kelihatan lebih baru kalau pakai kaus kaki juga,” aku berusaha melembut-lembutkan suaraku.

“Ayah sih milih sepatunya yang kayak gini. Mama aja milihnya yang halus buat aku. Sepatu yang mama pilih enak dan nggak usah pakai kaus kaki,” ia menjelaskan.

Sudahlah. Aku menurut saja.

Pepatah mengatakan banyak berjalan banyak dilihat. Kami berjalan dan banyak juga yang kami lihat. Pohon perdu, dealova, alang-alang, rumput gajah, pohon jagung, putri malu, dan rumput jepang yang tumbuh di depan rumah tetangga yang jarang keluar rumah itu adalah hasil penglihatan dan pengamatan yang kami lakukan. Adakalanya anakku berjongkok mengamatinya, adakalanya ia menyebut nama-nama tumbuhan itu sambil lewat saja. Ia ucapkan nama-nama itu sambil tertawa-tawa atau kadang-kadang ia memplesetkannya. Ia senang. Ha-ha, katanya. Hi-hi pun ia lantunkan. Ia mengenal rerumputan. Semoga ia dapat menyerapnya sebagai energi yang kelak menjadi daya hidup baginya.

Kali ini kami tiba lebih pagi di sekolah. Ibu gurunya dan beberapa guru yang lain, seperti biasanya, berdiri sejajar pintu pagar sekolah menyambut siswa-siswa yang tiba. Anakku meraih tanganku cepat-cepat. Aku paham sudah. Itu adalah isyarat tegas bahwa batas antar-jemput yang anakku setujui adalah pagar. Itu tegas dan nyata darinya.

“Assalamualaikum, Bang Hanif,” ibu gurunya menyapa.

“Alaikum salam, Bu Guru,” balasnya.

Aku menangkap kilatan ekor mata sang guru terfokus ke sepatu anakku. Aku terharu. Betapa perhatiannya ibu guru kita ini.

“Wah, Abang Hanif sepatu baru ya?” ibu guru memverbalkan perhatiannya. Anakku senyum-senyum malu. Ia tak hendak menjawab.

“Kalau sepatu kemarin cocok nggak pakai kaus kaki. Kalau yang ini cocoknya pakai kaus kaki. Kulitnya keras. Nanti kaki abang lecet lho. Pakai kaus kaki ya!” ibu gurunya menambahkan.

Seketika anakku berbalik ke arahku. Air mukanya yang tadinya merona merah mendadak mengabu-abu masam. Matanya membelalak, bibirnya mengatup tangannya terkepal. Ia memburuku. Ia layangkan pukulan ke perutku. Aku biarkan mendarat barang satu dua kali. Setelah sepersekian menit ia lampiaskan amarahnya, setelah agak mereda aku peluk anakku. Kuusap kepalanya tanda simpati.

“Ibu guru nggak marah kok sama kamu. Bu guru hanya nanya aja,” kataku. “Jangan marah ya,” aku membujuknya. Ia mengangguk. Aku lihat ibu gurunya merasa menyesal atas kejadian itu. Ia memperlihatkan gestur hendak menetralkan situasi. Tapi aku balas dengan isyarat bahwa kami bisa menyelesaikan semuanya.

Aku mengajak anakku sedikit menjauh dari pintu pagar sekolah. Kami diam saja sejenak. Matanya tertuju pada seonggok pohon nanas kecil yang ada di kebun depan sekolah. Biarlah ia menumpahkan sejuta pertanyaan pada pohon nanas tak berbuah itu. Ajaib! Kecamuk gejolak rasa itu reda. Aku senyum padanya. Ia balas senyum. Ia kepal tangannya lalu memukulkannya ke bahu bagian atasku.

“Masuk ya?” aku hela tangannya. Ia mengangguk. Aku tuntun ia ke arah pintu pagar sekolah.

“Memangnya kenapa sih nggak mau pakai kaus kaki?” aku tiba-tiba bertanya.

“Nanti kalau berhitung lebih dari sepuluh bagaimana?” aku terdiam.

Aku usap kepala anakku agak keras. Aku senyum lebar selebar-lebarnya.

Dulu, aku begitu bahagia dapat sepatu baru. Sekarang, anakku begitu tersiksa dengan sepatu baru. Entahlah, mungkin cucuku nanti akan senang dengan sepatu baru, seterusnya dan seterusnya…

Depok, 30 Juni 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan