Seorang Perempuan di Persimpangan Jalan

1,109 kali dibaca

Pukul setengah tujuh lewat setelah senja, Nyi Pohaci masih duduk di persimpangan jalan Padjajaran. Hampir setiap hari setelah berkeliling kampung, perempuan setengah baya itu selalu terlihat duduk di atas gerobak sampahnya sambil melihat bangunan tua yang masih berdiri kokoh. Konon, bangunan itu adalah pondok pesantren tertua di kampung Patuha.

Orang-orang di kampung Patuha mengenal sosok Nyi Pohaci sebagai perempuan yang bengal, tidak beradab, dan bodoh. Tidak ada satu laki-laki pun yang tertarik untuk menikahi perempuan tua itu. Nyi Pohaci selama hidupnya selalu sendiri. Ia dijauhi oleh keluarganya karena pikiran dan tingkah lakunya yang aneh. Kalau perempuan itu berkeliling kampung, ia selalu diikuti oleh anak-anak dan mengejek Nyi Pohaci sebagai orang gila.

Advertisements

Tidak ada yang tahu persis masa lalu Nyi Pohaci seperti apa. Orang-orang hanya tahu kalau dia dibuang oleh keluarganya. Selalu berkeliling kampung dengan mendorong gerobak sampah, dan duduk menatap sebuah bangunan setelah azan magrib. Kemudian pergi ketika azan isya selesai dikumandangkan.

Kebiasaan Nyi Pohaci menatap bangunan pesnatren itu ternyata disadari oleh Kiai Mukhlis, pimpinan pesantren generasi keenam puluh tiga. Dari sebrang jalan menuju masjid, sebelum memimpin salat magrib berjamaah, Kiai Mukhlis selalu menatap balik Nyi Pohaci dan melempar senyum, seolah menyembunyikan maksud tertentu. Sementara santrinya dan orang-orang yang lewat tidak pernah peduli tentang keberadaan Nyi Pohaci. Tidak pernah ada yang berani menatapnya, apalagi tersenyum. Hanya Kiai Mukhlis yang melakukan hal itu.

Ketika suara azan isya selesai dikumandangkan, para santri dan Kiai Mukhlis kembali menuju masjid. Di pertengahan jalan menuju masjid, Kiai Mukhlis kembali berhenti dan melihat ke sebrang jalan untuk memastikan apakah Nyi Pohaci masih ada atau tidak. Seperti dugaan, perempuan itu sudah tidak ada seperti biasanya. Tingkah Kiai Mukhlis ternyata disadari oleh salah seorang santrinya. Dengan mengumpulkan keberanian, santri itu bertanya kepada kiainya kenapa begitu peduli dengan Nyi Pohaci.

“Anu, Pak Kiai, saya suka bingung,” tanya santri itu dengan nada yang gugup.

“Apa yang kamu bingungkan?” Jawab Kiai Mukhlis.

“Maaf kalau lancang, Kiai, kenapa Pak Kiai suka menatap Nyi Pohaci sambil senyum, dia kan orang gila?”

“Huss, kamu itu gak boleh menaggap gila orang lain karena satu tingkah lakunya saja,” jawab Kiai Mukhlis tenang.

“Maksudnya gimana, Kiai?”

“Nanti kamu akan tahu suatu hari. Yang penting, tetaplah berbaik sangka sama orang lain.”

Santri itu terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang jelas-jelas kelakuannya seperti orang gila tidak boleh dianggap orang gila? Selain itu, Nyi Pohaci terkenal pembuat onar sehingga tidak disukai orang-orang di kampung Patuha.

Keseokan harinya, pada waktu yang sama, santri tersebut kembali memperhatikan tingkah kiainya dan masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Hampir setiap hari setelah pertanyaan itu, santri tersebut selalu memperhatikan tingkah kiainya kepada Nyi Pohaci. Sudah enam bulan lewat tujuh hari kebiasaan menatap sambil melempar senyum sang kiai tidak pernah berubah. Namun santri itu masih belum menemukan jawaban atas pernyataan kiainya.

“Anu, Pak Kiai….”

“Ada apalagi?“

“Saya masih belum menemukan jawaban soal jangan menganggap gila orang lain karena tingkah lakunya itu.”

“Memang kamu ingin jawaban seperti apa?”

Santri itu semakin bingung, alih-alih mendapatkan jawaban, ia malah disuruh memilih mau jawaban seperti apa.

Karena penasaran, seletah selesai salat Isya, santri tersebut memberanikan pergi ke rumah Kiai Mukhlis untuk mencari jawaban dari semua kebingungannya itu.

Kaget bukan kepalang, belum sempat mengetuk rumah Kiai Mukhlis, seorang laki-laki duduk di teras rumah dengan dua cangkir kopi di atas karpet biru bercorak bunga. Dari kejauhan, sosok lelaki itu seperti tak asing bagi si santri.

“Aku tahu kamu bakal datang ke rumah,” kata Kiai Mukhlis.

“Waduh, apakah kiai punya ilmu melihat masa depan?”

“Ha-ha-ha, seseorang yang penasaran akan terus mencari jawaban,” celetuk Kiai Mukhlis. “Dan kamu orang yang belum menemukan jawaban,” tambahnya.

“Jadi gimana, Kiai?”

“Begini, kamu tahu Uwais Al-Qarni? Orang yang dianggap gila karena kesufiannya. Atau cerita Laila Majnun? Yang dianggap gila karena cintanya? Nah, masih banyak orang yang dianggap gila karena pikiran mereka jauh melampaui zaman. Selain itu, kita tidak boleh melihat seseorang hanya dari satu sisi, apalagi melihat kejelekannya saja. Siapa tahu, suatu saat orang itu bakal berbuat baik, dan kita yang berbuat jahat. Begtiupun sebaliknya.”

“Tapi, kan, Kiai, tak ada hubungannya kegilaan Nyi Pohaci dengan Uwais Al-Qarni, apalagi Laila Majnun. Nyi Pohaci sudah umur 50 tahun tapi gak nikah-nikah.”

“Begini, apa yang kita lihat baik bisa jadi tidak baik, apa yang kita lihat buruk bisa jadi sebenarnya baik. Apakah kamu pernah berpikir, misalnya, Nyi pohaci sering melihat ke pesantren ini karena dalam hatinya dia ingin mondok? Mungkin belum kesampaian, tapi tetap ingin berbuat baik. Nah, jangan sampai kita malah merasa menjadi orang baik. Ada dua sudut pandang yang berbeda saat orang melihat sesuatu. Seperti ini, Nyi Pohaci melihat orang-orang di pesantren ini dengan sudut pandang positif, dia menganggap kalau orang pesantren sebagai orang baik dan saleh. Sedangkan kita, melihat mereka yang dianggap sebagai orang gila dengan sudut pandang negatif, bengal, gila, bodoh, tidak punya masa depan. Apakah itu pandangan baik? Mereka melihat kita dari sisi positif, tapi kita membalas dengan pandangan negatif?”

“Jadi, kita harus tetap memandang Nyi Pohaci sebagai orang baik?”

“Semua orang harus dilihat sisi positifnya supaya kita tidak merasa benar sendiri, apalagi sampai uzub.”

Percakapan itu berlanjut sampai larut malam. Setelah puas dengan penjelasan Kiai Mukhlis, santri itu memutuskan untuk pamit pulang.

Pada suatu hari yang ribut, penduduk kampung Patuha dikejutkan dengan seorang bayi perempuan di dalam tong sampah. Orang tua biadab seperti apa yang tega membuang anak yang tak berdosa kecuali iblis. Meski mereka mengutuk perbuatan orang tua si bayi tersebut, nyatanya tidak ada yang berani mengambil bayi itu kecuali Nyi Pohaci. Kemudian, mereka kembali menggunjing dan meramalkan apa yang akan terjadi pada bayi itu kalau diurus oleh seorang perempuan aneh.

Nyi Pohaci yang telah hidup puluhan tahun sendiri, kini ditemai seorang bayi yang malang, yang dibuang oleh orang tuanya karena dianggap kelahirannya adalah sebuah aib. Orang-orang Patuha setiap hari terus membicarakan nasib bayi itu dengan liar. Tapi Nyi Pohaci tidak pernah mempedulikan omongan tentang dirinya. Bayi itu selalu diajak berkeliling kampung bersama gerobak tuanya, sampai pukul setengah tujuh setelah azan magrib, Nyi Pohaci duduk di persimpangan jalan menatap pesantren Kiai Mukhlis bersama bayi malang itu.

“Nanti kalau sudah besar, kamu harus belajar di pondok pesantren itu,” bisik Nyi Pohaci yang begitu lirih, seperti doa-doa yang selalu ia bisikkan setiap saat. Barangkali malaikat pun ikut mengamini doa perempuan gila tersebut.

Di seberang jalan, di dalam pesantren, di tengah jalan menuju masjid, Kiai Mukhlis kembali melempar senyum kepada Nyi Pohaci dan bayi yang digendongnya. Pemandangan itu disaksikan oleh santri yang datang ke rumah Kiai Mukhlis. Dalam renungannya, ia mencoba menemukan sebuah jawaban, mungkinkah ini yang dimaksud dari penjelasan sang kiai?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan