Sebuah Panggilan

816 kali dibaca

“Monggo, Kang Mudi, jadi imam!”

“Mbah Imam ke mana? Sudah lama pujian kok belum muncul!”

Advertisements

“Sejak pagi tadi Mbah Imam penyakitnya kumat. Tadi sore dibawa ke dokter!”

“Kalau Mbah Dimyati ke mana?”

“Mbah Dim ada jadwal imam di Musholla Nurul Huda.”

“Kalau begitu kamu saja, Sobri, imamnya.”

“Kang Mudi saja yang lebih tua dan lebih alim ilmunya.”

“Kalau begitu kamu Latif yang lulusan Lirboyo. Ini perintahku!”

Seperti itulah Mohamad Mahmudi atau akrab disapa Kang Mudi. Usianya sudah hampir kepala empat. Seorang putra sulung sekaligus putra satu-satunya seorang kiai kampung. Abahnya sekaligus pendiri Masjid At-Taubah sudah berpulang sekira tiga tahun lamanya. Ibunya menggarap sawah sembari membuka TPA kecil tempat mengaji bocah-bocah sekitar desa. Adik perempuannya telah diboyong oleh suaminya ke luar daerah. Sedangkan dua adik perempuannya lagi masih nyantri di Jombang.

Sobri mengenal betul tabiat teman sepermainannya itu. Usia Sobri terpaut lebih muda beberapa bulan dibandingkan dengan Kang Mudi. Mulai diniyah, tsanawiyah, hingga aliyah keduanya berada pada madrasah yang sama. Begitupun selepas Ashar, keduanya berguru ilmu agama bersama beberapa anak lainnya. Keduanya pun lebih sering tidur di masjid itu daripada di rumah.

Selepas aliyah, garis nasib yang memisahkan keduanya. Kang Mudi mondok di pesantren, sedangkan Sobri sudah berkubang dengan pekerjaan sebagai buruh serabutan sekaligus petani kecil melanjutkan warisan kedua orang tuanya yang tak seberapa luasnya. Lalu, di usia 25 tahun, Sobri memberanikan diri untuk melamar dan menikahi kawan masa sekolahnya dulu yang kebetulan berasal dari desa sebelah. Sobri pula yang menjelma menjadi pengurus masjid yang selalu aktif dalam menyemarakkan kegiatan di Masjid At Taubah. Sedangkan Kang Mudi, sekembali dari pesantren, masih betah melajang hingga sekarang.

“Kamu kenapa Kang selalu menolak menjadi imam?” Sobri mengarahkan bola matanya ke arah Kang Mudi seusai salat.

“Aku tak bisa khusyuk dalam salat. Selalu ingat akan dunia. Selalu ingat segala dosa,” sanggahnya.

“Semua orang punya dosa, Kang!”

“Dosaku teramat besar. Banyak melakukan kemaksiatan.”

“Kamu lebih punya banyak ilmu, Kang.”

“Aku hanyalah manusia berlumur dosa.”

“Apa pendosa tidak berhak jadi imam?”

“Ahli surga yang lebih tepat memimpin salat para jamaah. Bukan aku!”

“Apa kamu sudah berubah menjadi malaikat yang piawai menghitung dosa dan pahala, menentukan surga dan neraka? Kang Mudi tentu juga lebih tahu dariku bahwa Allah Maha Pengasih Penyayang?”

“Tak perlu kuceritakan dosa dan aibku yang begitu bertimbun pada sesama manusia. Cukup Allah saja yang tahu. Aku manusia yang hina, Sobri!”

“Kalau semua orang berpikiran seperti Kang Mudi. Semua tidak akan mau jadi imam. Kita semua juga punya banyak dosa. Lalu, apakah akhirnya kita tak perlu adakan salat berjamaah? Apa perlu besok saya umumkan ke seluruh warga tak perlu datang ke Masjid at Taubah ini, masjid peninggalan abahmu itu?”

“Sobri, kamu sahabatku yang baik. Bukan begitu maksudku. Kamu jauh lebih pantas menjadi imam daripada aku. Atau Latif saja yang masih muda dan baru lulus pesantren, tentu masih bagus ilmunya.”

“Saya tahu persis kamu Kang. Sejak kecil kita kemana-mana bersama. Nasab Kang Mudi dari kiai, baik dari abah maupun umi. Ada darah kealiman di tubuhmu. Dulu di madrasah selalu juara satu. Belum lagi Kang Mudi bertahun-tahun di pondok pesantren. Jelas bagai langit dan bumi dibanding aku yang cuma bisa baca Quran tanpa bisa mengartikan dan hanya buruh serabutan?”

Seperti biasa, Kang Mudi selalu berusaha mengelak untuk jadi imam. Lalu akan meninggalkan Sobri jika sudah kehabisan kata-kata. Keesokan harinya akan begitu lagi, Kang Mudi tak akan pernah mau jadi imam. Selalu saja yang jadi imam Mbah Imam, Mbah Dimyati, Latif, dan Sobri pada urutan terakhir.

“Aku mau tanya Kang. Kalau Mbah Imam, Mbah Dim, atau Latif pas tidak ada di masjid. Kang Mudi mau menjadi imam?”

“Kamu saja yang jadi imam. Kamu telah terbiasa mengimami istrimu.”

“Kalau saya juga tidak ke masjid?”

“Aku salat di rumah saja. Itu jauh lebih baik untuk para jamaah,” jawab Kang Mudi sembari meninggalkan Sobri sendirian di masjid.

Ramadan sudah hendak mendekati Syawal. Jamaah masjid semakin hari semakin ramai persis sama seperti saat awal Ramadan. Jamaah salat fardlu, tarawih, atau iktikaf mulai semarak lagi pada sepuluh hari terakhir.
Beberapa bagian dinding dengan cat mengelupas telah dicat ulang. Tempat wudlu yang sedikit berjamur telah disikat. Penanda shaf pencegahan Corona diperbarui lagi dengan stiker yang baru. Pelantang suara, kabel, dan mixer beberapa kali diuji coba suaranya. Tiap pagi masjid itu pun tak luput dari semprotan cairan disinfektan.

“Mbah Imam apa sudah sembuh sakitnya?” tanya Sobri pada Latif.

“Sepertinya belum, Kang Sobri. Malah kemarin malam harus dirujuk ke rumah sakit daerah. Kabar terakhirnya belum ada yang tahu. Soalnya di sana yang boleh nunggu hanya satu orang saja dan tidak boleh dijenguk.”

“Kalau Mbah Dim ke mana ya? Kok semalam juga tidak kelihatan.”

“Mbah Dimyati mulai salat di rumah. Beliau sudah sepuh, punya riwayat diabetes juga. Diwanti-wanti anak-anaknya untuk ibadah di rumah saja mengingat masjid semakin ramai jamaahnya.”

Sobri yang sejak tadi berdiri tepat di sebelah papan tulis informasi masjid pun semakin kebingungan. Pikirannya sudah berlarian beberapa langkah ke depan. Sebenarnya ia hendak menuliskan petugas khotib, imam, dan muazin untuk salat Id nanti. Tapi, ia mulai mengurungkan niatnya itu.

“Kalau begitu kamu saja ya yang jadi khotib sekaligus imamnya?” pandang Sobri kepada Latif.

“Kang Mudi atau Kang Sobri yang lebih pantas. Masak saya yang baru lulus pesantren disuruh jadi khotib dan imam di masjid sebesar ini? Sementara di sini masih ada yang lebih dari sisi umur maupun ilmunya.”

“Atau seperti tiga tahun lalu? Kita undang khotib dari desa lain?”

“Sepertinya di masa Corona ini sulit Kang Sobri. Semua jamaah diharapkan tidak berkerumun. Bahkan kalau bisa ibadah di rumah saja. Masak ini kita malah datangkan orang dari daerah lain.”

Sobri pun segera bertamu ke rumah Kang Mudi yang tepat di sebelah utara masjid. Diketuknya pintu, meski sedari dulu rumah itu seperti rumahnya sendiri. Tapi kali ini Sobri ingin bertamu selayaknya orang baru di daerah itu.

“Kamu Sobri. Ada apa tergopoh-gopoh?”

“Kang Mudi jadi khotib saat salat Id ya?”

“Menjadi imam saja aku belum pantas. Apalagi berdiri di mimbar sebagai khotib. Memberikan petuah dan nasihat kepada banyak orang. Malu aku yang tak pernah bisa melaksanakan.”

“Lalu, siapa lagi. Apa Kang Mudi mau khotibnya orang-orang awam yang belum lancar mengaji dan tak pernah nyantri?”

“Bisa jadi yang kau sebut itu malah lebih baik.”

“Jamaah bubrah sudah pasti, Kang. Kalau baik belum tentu.”

“Jangan semua kau ukur dari sisi penilaian manusia. Kali ini, tolong dengarkan dan ikuti kata-kataku. Jangan membantah!”

“Iya Kang, aku memang orang bodoh. Harus patuhi perkataanmu. Tapi, itukah ilmu yang Kang Mudi dapatkan selama berada di pesantren bertahun-tahun lamanya? Sepeninggal kiai, seluruh warga mengelu-elukan kedatanganmu, Kang Mudi.”

“Turuti saja apa perkataan Mudi,” tiba-tiba Umi muncul dari dalam rumah; mungkin sedari tadi sudah menguping pembicaraan kami.

“Iya, Umi. Lalu, siapa yang pantas jadi khotib?”

“Kamu Sobri.”

“Mohon maaf Umi. Saya usul kalau begitu imamnya Kang Mudi.”

Sobri segera berpamitan untuk pulang. Perkataan Umi semakin menambah beban pikirannya yang menggunung. Ia pun semakin bingung, entah apa yang ada di pikiran Kang Mudi maupun Umi. Tugas sebesar dan semulia itu harus dibebankan pada dirinya yang jelas tidak seberapa ilmunya.

Keesokan harinya, saat mentari membakar bumi, Sobri datang ke masjid. Menyapu, mengelap kaca, lalu mengepel lantainya. Beberapa hari lagi sudah menjumpai Idul Fitri.

“Kamu memang pantas diberikan amanat urusi masjid ini,” tetiba Umi sudah berdiri di belakangnya.

“Cuma bersih-bersih saja, Umi. Kang Mudi ke mana ya kok tadi tidak ikut Dhuhuran?” tanya balik Sobri.

“Tidak tahu. Semalam pergi membawa tasnya tanpa pamit ke Umi.”

Betapa terkejutnya Sobri. Dalam kepanikan, ia segera kemasi peralatannya. Pulang ke rumahnya untuk menenangkan diri di kursi lincak samping rumahnya. Tiba-tiba terlintas rencana konyolnya. Ia tulis nama Mohamad Mahmudi di papan pengumuman sebagai khotib sekaligus imam, dan Abdul Latif sebagai muazin. Tak lupa ia tuliskan pula hasil penerimaan infak Jumat, seluruh penerimaan, pengeluaran, dan saldo tahunan Masjid At Taubah.

“Dik, tolong segera kemasi barang-barang kita secukupnya. Untuk dua hari saja kita tinggalkan rumah kita,” perintah Sobri kepada istrinya.

“Kita mau ke mana, Kang?” tanya balik istrinya keheranan.

“Tahun ini, kita salat Id dan lebaran di desamu saja.”

Subuh pun sudah berlalu hendak berganti sengatan mentari. Sobri, istri, dan anak semata wayangnya pun beranjak pergi dari rumahnya mengendarai sepeda motornya. Dalam perjalanan, lafaz istighfar demi istighfar ia lantunkan dalam hati, sesekali menyembul ke permukaan. Dalam hatinya, ia percaya bahwa Allah SWT Maha Pengampun, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang bagi seluruh umat-Nya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan