Sebuah Panggilan

796 kali dibaca

“Monggo, Kang Mudi, jadi imam!”

“Mbah Imam ke mana? Sudah lama pujian kok belum muncul!”

Advertisements

“Sejak pagi tadi Mbah Imam penyakitnya kumat. Tadi sore dibawa ke dokter!”

“Kalau Mbah Dimyati ke mana?”

“Mbah Dim ada jadwal imam di Musholla Nurul Huda.”

“Kalau begitu kamu saja, Sobri, imamnya.”

“Kang Mudi saja yang lebih tua dan lebih alim ilmunya.”

“Kalau begitu kamu Latif yang lulusan Lirboyo. Ini perintahku!”

Seperti itulah Mohamad Mahmudi atau akrab disapa Kang Mudi. Usianya sudah hampir kepala empat. Seorang putra sulung sekaligus putra satu-satunya seorang kiai kampung. Abahnya sekaligus pendiri Masjid At-Taubah sudah berpulang sekira tiga tahun lamanya. Ibunya menggarap sawah sembari membuka TPA kecil tempat mengaji bocah-bocah sekitar desa. Adik perempuannya telah diboyong oleh suaminya ke luar daerah. Sedangkan dua adik perempuannya lagi masih nyantri di Jombang.

Sobri mengenal betul tabiat teman sepermainannya itu. Usia Sobri terpaut lebih muda beberapa bulan dibandingkan dengan Kang Mudi. Mulai diniyah, tsanawiyah, hingga aliyah keduanya berada pada madrasah yang sama. Begitupun selepas Ashar, keduanya berguru ilmu agama bersama beberapa anak lainnya. Keduanya pun lebih sering tidur di masjid itu daripada di rumah.

Selepas aliyah, garis nasib yang memisahkan keduanya. Kang Mudi mondok di pesantren, sedangkan Sobri sudah berkubang dengan pekerjaan sebagai buruh serabutan sekaligus petani kecil melanjutkan warisan kedua orang tuanya yang tak seberapa luasnya. Lalu, di usia 25 tahun, Sobri memberanikan diri untuk melamar dan menikahi kawan masa sekolahnya dulu yang kebetulan berasal dari desa sebelah. Sobri pula yang menjelma menjadi pengurus masjid yang selalu aktif dalam menyemarakkan kegiatan di Masjid At Taubah. Sedangkan Kang Mudi, sekembali dari pesantren, masih betah melajang hingga sekarang.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan