Saridin, Kisah Wali “Mbalelo” dari Pati

12,162 kali dibaca

Ketika menyusuri daerah pesisir utara Pulau Jawa, kita akan disajikan berbagai budaya khas kawasan Pantai Utara (Pantura), yang kebetulan salah satu daerahnya adalah Kabupaten Pati di Jawa Tengah. Pati memiliki identitas yang terkenal, yakni daerah yang dijuluki “Kota Seribu Dukun”. Dari julukan itu kemudian banyak melahirkan ruang-ruang unik untuk dikulik, mulai dari ketoprak (budaya khas Pantura sejenis wayang wong), tari-tarian tayub, dangdut koplo, sampai keunikan masyarakatnya.

Mengiringi sejarah perkembangan Pati adalah cerita tentang seorang tokoh yang dikenal dengan nama Saridin atau Syekh Jangkung. Kisah tokoh yang juga disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawa ini hidup pada medio abad ke-16. Banyak hal menarik yang bisa dikaji secara intens tentang kisah Saridin ini.

Advertisements

Jika mengacu pada pembabakan Tutur Tinular yang ada, Saridin disebut-sebut sebagai putra salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Muria (dari istri Dewi Samaran). Sehingga, lingkup kehidupan beliau masih dalam skup yang sama bersama para wali-wali masyhur Tanah Jawa. Namun, dalam kondisi saat itu, Saridin memiliki posisi yang berbeda. Beliau bisa dikategorisasikan sebagai “wali  marjinal”, yang kesaktiannya di luar batas nalar normal para sakti saat itu: kehidupan mbalelo (menentang arus) dan habitus di luar pakem.

Konon ketika Saridin masih di usia balita, beliau dilarung di kali (kisah ini yang menjadi mula habit di luar pakem beliau), sampailah timbul skeptisme apakah benar Saridin ini adalah darah daging Sunan Muria dan Dewi Samaran? Meskipun kredibilitas data ini masih perlu diklarifikasi lagi, namun prelude ini sudah menjadi pakem popular cerita-cerita ketoprak di daerah Pati.

Terlepas dari relativitas kebenaran cerita tersebut, jauh pada sebuah perjalanan yang cukup panjang, tersebutlah tokoh bernama Branjung dari Desa Miyono, yang menyelamatkan serta merawat bayi Saridin sampai beranjak dewasa dan lantas mendakunya sebagai saudara. Saridin dewasa adalah seorang yang haus akan ilmu, sehingga memiliki kebiasaan hidup mblayang (berpetualang). Saridin pun bertemu dengan guru sejatinya, yakni Syeh Malaya, yang tak lain dan tak bukan adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin menikah dengan seorang perempuan yang terkenal di masyarakat dengan sebutan ‘Mbok’e Momok’ (Ibunya Momok), lantaran mereka berhasi memiliki seorang putra yang diberi nama Momok.

Kisah hidup Saridin adalah kisah yang sarat akan simbolisme dan nilai-nilai filosofis. Hal ini tentu tak bisa sembarang kita terima mentah-mentah, melainkan juga perlu tafsir dalam setiap kisahnya. Polemik bermula pada momen antara Saridin dan Branjung yang harus membagi waris atas sebatang pohon durian yang tumbuh subur dan tengah berbuah lebat. Dalam pembagian tersebut menghasilkan sebuah konsensus, yakni Saridin mendapatkan bagian buah yang jatuh pada malam hari, sementara Branjung mendapatkan bagian buah yang jatuh pada siang hari.

Hari demi hari, malam demi malam terlewati. Branjung yang merasa bagiannya lebih sedikit ketimbang bagian Saridin akhirnya melancarkan siasat jahat. Suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan macan yang tengah memakan durian di bawah pohon. Tanpa tedeng aling-aling, Saridin dengan sigap melemparkan tombak ke arah macan tersebut, sampai pada akhirnya hewan buas tersebut tergolek dalam keadaan tak bernyawa dan menjelma menjadi wujud aslinya, yakni seorang Branjung.

Insiden terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan Adipati Kadipaten Pati waktu itu, Wasis Joyo Kusumo. Wasis pun memerintahkan hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada Saridin dengan dakwaan telah membunuh Branjung. Saridin bersikukuh, bahwa yang dibunuh bukanlah Branjung, melainkan seekor macan.

Di sinilah terjadi negosiasi panjang, lantaran Saridin yang cerdik tak mau begitu saja disalahkan. Akhirnya hakim menawarkan opsi kepada Saridin, “Din, kamu ndak dipenjara kok ini, tapi sebagai gantinya kamu ikut kami ya, tinggal dulu di rumah dekat kantor kadipaten.” Saridin menimpali, “Wah, iya, dong, ‘kan saya tidak bersalah. Tapi apakah nanti saya bisa menjenguk anak-istri saya ketika saya tinggal di sana?” Hakim pun menjawab pertanyaan Saridin, “Tentu, selagi kamu bisa.” Saridin akhirnya dibawa ke penjara dan dihukum sesuai waktu yang telah ditetapkan.

Setelah beberapa waktu di penjara, Saridin tak kuasa menahan kangen dengan keluarga. Pada suatu malam Saridin keluar dari sel tahanan dengan gampangnya, lantas menuju rumah menjenguk anak dan istri. Tetiba di rumah yang saat itu gelap gulita, Saridin memergoki kepala dukuh yang mencoba memerkosa istri Saridin. Saridin yang tak kuasa menahan amarah langung saja membantai orang tersebut.

Kepala dukuh akhirnya melapor kapada pihak berwajib, laporannya berisi: mengapa Saridin yang sudah dipenjara malah bisa kembali ke rumahnya dengan sesuka hati. Saridin pun kembali dipanggil ke persidangan, namun pembelaannya pada hakim masih selalu elegan, “Lah, di persidangan sebelumnya ‘kan saudara bilang, saya boleh menjenguk keluarga saya selagi saya bisa, dan di malam tersebut nyatanya saya bisa. Kebetulan pas saya sampai di rumah, saya menyaksikan orang ini hendak memerkosa istri saya, ya saya kasih pelajaran, dong. Eh, lha kok ini yang salah malahan saya. Lucu sekali hukum di sini!” Saridin akhirnya diputuskan kembali meneruskan hukuman sebelumnya.

Kisah berlanjut. Syahdan, ketika telah bebas dari penjara, Saridin nyantri di perguruan Kudus dengan guru Kanjeng Sunan Kudus. Di sana kembali Saridin membuat kontroversi. Saridin dinilai sebagai santri kemarin sore, namun kepintarannya dalam bidang agama dan ilmu kasepuhan melampaui santri-santri lain. Hal demikian akhirnya membuat Saridin harus menghadapi persoalan baru, yakni adu argumentasi dengan sang guru, Sunan Kudus, perihal air dan ikan.

Guna menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus melemparkan pertanyaan, “Apakah setiap wujud air pasti ada ikannya?” Dengan ringan Saridin menjawab, “Njih, ada, Kanjeng Sunan.” Mendengar jawaban Saridin, Sunan Kudus lantas memerintahkan seorang santri untuk memetik buah kelapa dari pohonnya langsung. Buah tersebut lantas dipecah, dan boom jawaban Saridin benar terbukti, dalam buah kelapa terdapat beberapa ikan. Sang guru pun tersenyum simpul melihat kejadian tersebut.  

Dalam kondisi seperti ini, para santri lain justru menilai bahwa Saridin telah melakukan hal lancang dengan unjuk kepameran ilmunya kepada sang guru. Untuk memberi pelajaran Saridin, ketika bertugas mengisi jedhing (bak mandi), para santri menggunakan semua ember untuk mengambil air, sementara Saridin tak diberi sisa. Saridin yang tak enak hati karena terlihat menganggur mencoba meminjam ember agar bisa bergantian dengan santri lain, namun seorang santri malah menjawab, ”Jika mau bekerja, ‘kan itu ada keranjang, pakai saja!” Dasarnya Saridin, keranjang tersebut pun digunakannya untuk mengisi air dalam bak, dan tak berselang lama telah terisi penuh. Seluruh santri hanya bisa melongok seraya meratapi kegagalan mengerjai Saridin.

Dalam waktu singkat, kejadian tersebut terdengar oleh sang guru, Kanjeng Sunan Kudus. Guna menjaga marwah dan keberlangsungan proses pembelajaran di perguruan, sang guru menganggap Saridin telah berbuat kesalahan. Saridin pun dijatuhi hukuman oleh sang guru untuk segera meninggalkan perguruan dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Atas dasar kecintaannya pada sang guru dan bumi Kudus, Saridin pun tak lagi menginjakkan kaki di atas Kudus, melainkan bersembunyi di bawah tanah Kudus yang tak tanggung-tanggung tempatnya adalah lubang WC atau septictank.

Saridin berdiam diri di tempat tersebut, sampai pada suatu pagi istri Sunan Kudus yang hendak membuang hajat merasa terkejut karena ada sesuatu yang tak lazim di tempat pembuangan hajat. Istri Sunan Kudus pun menjerit keras sampai di segala penjuru perguruan terdengar. Semua santri berbondong-bondong mengejar seseorang yang telah membuat geger, tak lain dan tak bukan adalah Saridin lagi. Saridin pun terbebas, namun dengan status sebagai seorang buron.

Di sepanjang perjalanan, Saridin menyesali perbuatan yang telah dilakukannya, sampai suatu saat beliau kembali bertemu dengan sang guru sejati, Syekh Malaya. Syekh Malaya (Sunan Kalijaga) menyatakan bahwa Saridin terlalu jumawa atas ilmu yang dimiliki. Sehingga guna menebus kealpaan tersebut, sang guru sejati memberikan opsi kepada Saridin, yakni harus bertapa mengambang di Laut Jawa. Saridin menerima, namun dengan pengakuan bahwa dirinya tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak: dua buah kelapa diikat guna menjadi alat bantu menopang tubuh Saridin agar tidak tenggelam.

Syahdan, setelah berhari-hari bertapa di atas laut seraya dilarung ombak samudra, Saridin akhirnya terdampar di tanah Palembang, Pulau Sumatra. Di sana episode baru mblayang Saridin dimulai, mulai dari meleraikan konflik berkepanjangan Kerajaan Palembang, sampai (konon) perjalanan menuju Timur Tengah.

Sebenarnya banyak versi lain yang mengisahkan tentang Wali Saridin (Syekh Jangkung). Makam beliau terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Haul Syekh Jangkung sendiri diperingati setiap tahun (pada bulan Rajab) dengan ribuan orang yang turut khurmat dan ngalap berkah. Acara haul selalu diramaikan dengan tradisi buka luwur, kirab, sampai pengajian akbar.

Bagi masyarakat Pati, Wali Saridin atau Syekh Jangkung bukan sekadar dikenal sebagai tokoh ulama, melainkan sesepuh yang turut membabat tlatah (tanah) Pati, mempraktikkan pribumisasi Islam dengan ajaran-ajaran tasawufnya, makrifatullah, yang sarat akan nilai-nilai filosofis dalam setiap lakunya. Maka, tak heran ketika menjumpai orang yang berasal dari Pati, tak tanggung-tanggung mereka akan dengan bangga menyematkan nama Syekh Jangkung dalam identitasnya, semisal seperti ‘Puthu Saridin’ (cucu Saridin), putra Saridin, sampai menjadikan julukan klub sepak bola di Pati, Persipa Pati, yakni ‘Laskar Saridin’.

Demikianlah sepenggal kisah tentang Wali Saridin. Tentunya masih banyak kisah beliau yang mungkin baru tertulis di beberapa literatur, dan kesemuanya tentu memiliki keunikan. Semoga penulis bisa menyambung kembali kisah beliau, sebagai bentuk pengabdian penulis yang juga sekaligus sebagai seorang cucu. Salam mbalelo!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan