Sapi Ke Sam

235 kali dibaca

Sebelum subuh rebah di pekarangan, Ke Sam berangkat menuju sumur di depan rumahnya. Bulir embun masih segar membeku di rerumputan saat kakinya melewati jalan setapak. Ia menembus gelap dengan dua ember dan sebilah bambu. Dingin subuh memperlambat langkah kakinya yang tua.

“Sudah sejak kecil aku bekerja menjadi pengembala sapi,” gerutunya pada diri sendiri sambil terus menarik tali penimba air sumur. “Tapi tak juga aku puas dengan hasilnya!”

Advertisements

Suara air dari timba ke ember yang luber memenggal kenangannya. Kemudian, Ke Sam memikul kedua embernya menuju kandang. Malam yang belum penuh hilang mengganggu penglihatannya. Batu cadas yang terserak sepanjang jalan, membuat Ke Sam berjalan terseok-seok. Hati-hati  ia tapaki jalan yang penuh serakan batu cadas.

Saat kaki kanannya hendak menaiki undakan batu besar, ia terpeset. Kepalanya terbentur batu. Di tengah tegalan yang gelap dan dingin, ia merasakan perih di kepala, diikuti aliran darah. Ia terus mencoba berdiri meski berkali-kali, tapi gagal. Ia baru bisa sempurna berdiri setelah dibantu Mat Sukip, petani yang hendak pergi ke ladangnya.

“Mbah sudah tua, lebih baik berdiam diri di rumah saja,” ucap Mat Sukip sambil menggandeng Ke Sam menuju rumahnya.

“Usiaku memang tua, Kip, tapi semangat taniku tetap.”

“Saya petani juga, Mbah, tapi pada saat badanku sepertimu, niat bertani dan mengembala sapi harus kupadamkan.”

“Kamu terlalu pengecut untuk medapat sebutan sebagai penggembala sapi, Kip.”

Perlahan rona wajah Mat Sukip memerah. Ia seakan ditampar anak kecil di tengah kerumunan orang-orang dewasa.

“Maskudnya, Mbah?” Ia menghentikan langkahnya, dan menatap mata Ke Sam dalam-dalam.

“Mengembala sapi bukan sekadar untuk memperkaya diri, Kip. Kamu harus tahu, sapi adalah tabungan untuk kematian petani.”

“Mbah, sekarang zaman telah berubah. Anak cucu kita lebih memilih mempersiapkan masa tua dan kematiannya dengan kerja di kota Jakarta dan Bali. Mungkin mereka juga sedang mempersiapkan tabungan untuk kematian kita nanti. Sudahlah, Mbah, kita telah kalah sebagai pengembala sapi,” Mat Sukip berucap dengan mata memancarkan kebanggaan.

“Kip… Kip, jiwamu tidak mencerminkan penggembala sapi sama sekali.”

Pembicaraan mereka terhenti oleh teriakan Sukina yang melihat darah melumuri wajah suaminya. Sontak, tetangga berbodong-bodong mendatangi rumah Ke Sam. Remang punah,pagi datang lebih cepat. Keramaian yang biasa terlihat saat matahari naik sepenggalan terjadi di rumah Ke Sam. Orang-orang menatap ngeri. Tapi bibir Ke Sam menyunggingkan senyum kemenangan.

“Sudah tua kenapa masih pergi ke ladang.”

“Padahal anaknya kerja ke Bali, Lho!”

“Jangan-jangan tidak pernah dikirimi uang oleh anaknya.”

“Kalau benar begitu kasihan sekali ya..”

Kasak-kasuk orang tentang Ke Sam cepat menyebar. Jadi bahan obrolan ibu-ibu di pasar dan bapak-bapak yang sedang bertani di tegalan.

***

Di ranjang bambu tubuh Ke Sam terbujur berselimut sarung kumal. Di samping kanannya, Sukina duduk dengan air mata yang terus jatuh. Wajah Ke Sam terlihat pucat. Seluruh tubuhnya seakan membeku. Hanya dari matanya semangat hidup masih terpancar.

“Kin, siapa yang mau ngurus sapi kita?” suaranya terdengar lemas.

“Jangan memikirkan sapimu. Urus saja kesehatanmu,” suara Sukina tertelan tangis.” Tadi anakmu nelepon. Dia marah-marah mendengar kabar kamu jatuh. Katanya orang-orang menganggap dia sebagai anak durhaka yang tidak mau mengurus orang tua.”

“Orang kan memang sering marah-marah.” Suara Ke Sam terdengar seperti bercanda.

“Dia juga bilang tidak mau mengurusmu bila terjadi apa-apa. Itu karena kamu tidak mendengarkan perkataannya.”

“Sudahlah jangan kamu terlalu pikirkan itu. Sapi kita telah besar, mungkin cukup untuk biaya kematian satu orang.”

“Kenapa kamu bicara tentang kematian?”

“Mungkin benar kata Mat Sukip, aku petani yang keras kepala. Tapi meski kepalaku keras, tak juga mampu menggembala sapi untuk mencukupi biaya kematian keluarga. Bahkan anakku harus merantau untuk membiayai kehidupannya.” Ke Sam mengembuskan napas seperti mengusir beban dadanya.

“Aku tidak pernah paham dengan keadaan zaman,” ucap Sukina berkeluh. ”Kita tahunya hanya menggembala sapi untuk tabungan hidup dan mati.” Wajahnya yang keriput makin keruh, suram tertutup muram.

Kelam malam yang dihidupi kerlip bintang dan suara jangkrik makin mencekam. Angin makin terasa menyusup ke tulang sumsum.

“Kin, aku kedinginan. Tambahkan selimut ke badanku.” Suara Ke Sam menggigil.

Sukina mengambil tiga sarung yang terlipat rapi di lemari untuk dijadikan selimut suaminya.

“Perempuan memanggul beban di kepala dan laki-laki memanggul beban di pundaknya,” ucapa Ke Sam sebelum matanya terpejam.

“Malam sudah larut, tidurlah,” sahut Sukina.

Perlahan, mata mereka pun terpejam.

***

Luka di kepala Ke Sam semakin hari terus membaik. Tapi badannya semakin hari semakin kaku. Ia khawatir akan lumpuh. Siapa yang akan mengurus sapinya bila tidak bisa berjalan? Sukina sudah terlalu tua untuk menanggung beban seberat itu. Tanpa terasa air mengalir dari pelupuk matanya.

Cepat ia menghapus air matanya sesaat mendengar suara denyit pintu. Tak berapa lama berselang tubuh Sukina yang ringkih terlihat. Wajahnya nampak memancarkan kelelahan yang sangat. Hati Ke Sam semakin teriris melihat penderitaan di wajah Sukina. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak jatuh. Ia merasah gagal jadi kepala rumah tangga bila melihat beban yang harus ditanggungnya jatuh ke pundak istrinya.

“Yang sabar, Kin, sapi tidak pernah membuat penggembalanya menyesal.” Suara Ke Sam terdengar seperti prajurit yang kalah dalam perang.

Sukina berusaha memberinya senyum. Tapi wajah letihnya tak mampu melukis senyum yang tulus. Tubuhnya yang letih ia empaskan ke ranjang bambu, tepat di sisi kanan tubuh Ke Sam. Siang yang terik mereka biarkan hening. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Sukina. Ia memilih memejamkan mata.

“Kin, sekarang hari apa?” suara Ke Sam menyibak hening.

“Hari Rabu…,” jawab Sukina lesu.Jawaban Sukina membuat wajah Ke Sam tegang.

“Kin, aku lahir hari Jumat,” belum selesai berucap, Sukina memotong.

“Jangan membahas kematian. Sekarang aku sedang capek.”

Ke Sam mengurungkan niatnya berucap. Ia memilih memejamkan mata meski tak benar-benar bisa terpejam.

Dua hari berlalu, pada hari Jumat siang saat, Sukina datang dari kandang. Ke Sam terbujur kaku tanpa nyawa di ranjangnya. Tangis pecah, kesedihan melimpah. Gunjingan orang-orang kampung menambah pilu hati Sukina. Tak sedikit orang yang mencibir anaknya yang tak pulang sewaktu Ke Sam sakit. Sampai kematian menjemputnya, sang anak belum juga datang.

Meski berkali-kali Sukina menyampaikan perihal kendala anaknya lambat pulang, tapi gunjingan orang-orang kampung terus melimpah seperti air sungai yang meluap. Setelah satu hari mayat Ke Sam terbujur di ranjang, anaknya baru datang. Setibanya sang anak, mayat Ke Sam pun dikubur.

Lepas tujuh hari kematian Ke Sam, Sumatro, orang yang dipinjami uang oleh Sukina untuk biaya kematin Ke Sam, datang. Ia menagih utang. Ribut kecil pun terjadi. Anak Ke Sam tak sanggup membayarnya. Hasil kerjanya di kota hanya cukup untuk ongkos pulang. Dan Sukina hanya mampu mengalirkan air mata. Perundingan siang itu berjalan cukup alot. Sumatro pun kehilangan akal. Tak mungkin ia menyita rumah yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Dan tak mungkin ia memyita tegalan yang luasnya hanya cukup untuk kandang sapi.

“Sapi…?!” ucap Sumatro dengan wajah girang. “Bagaimana kalau utang kalian ditukar dengan sapi Ke Sam?”

Sukina dan anaknya tercengang. Mereka baru ingat pada sapi peninggalan Ke Sam. Tanpa aba-aba mereka serempak setuju. Senyum sumringah mengusir kekalutan di wajah Sukina.  Sedangkan anak Ke Sam nampak murung, terpukul ingatan.

Yogyakarta, 2024.

ilustrasi: shopee.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan