Rumi dan Iluminasi Syair Sufistik

3,338 kali dibaca

Nama sebenarnya dari Jalaluddin Rumi adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khathibi Al Bakri. Seorang filusuf yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia filsafat Islam. Jalaluddin Rumi lahir pada 30 September 1207 M di Balkh, sekarang wilayah Afghanistan. Sejak kecil terkenal dengan nama Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Kota Konya, sekarang bagian dari Turki, yang dulu terkenal dengan nama Rum.

Jalaluddin Rumi berasal dari keluarga terpandang. Bapaknya, Bahaduddin Walad, adalah seorang ahli agama, ahli hukum, dan juga ahli kebatinan. Hal tersebut yang kemudian mendasari Rumi untuk semakin dekat dan mendalami ilmu agama dan ilmu kebatinan. Lebih dari itu, Jalaluddin Rumi juga mempelajari pemikiran-pemikiran sufi.

Advertisements

Kisah legendaris Jalaluddin Rumi yang dikenal sebagai sang “perajut” syair (puisi) indah adalah terkait dengan lirik cinta. Tentu saja yang dimaksud dengan cinta di sini adalah hakikat mahabbah dalam dunia sufi. Bukan cinta orang awam yang di era medsos (media sosial) dikenal dengan sebutan bucin (budak cinta). Bukan cinta fana (rusak, binasa, buruk) yang dimaksudkan Rumi, akan tetapi hakikat cinta untuk mencapai illuminasi sang Mahacinta.

Melampaui Hakikat Cinta

“Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu dalam “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.” (dilansir dari laman sastera-indonesia.com).

Ungkapan Rumi di atas tidak dapat dimaknai sebagai teks untuk sebuah hakikat. “Aku bukanlah orang Islam,” adalah sebuah sekat ruang yang mempersempit cinta kemanusiaan. Karena nilai kehidupan (sosial) yang sebenarnya adalah tidak memandang status seseorang. Sebagai hamba-Nya, prasangka dan pikiran yang gelisah, dalam bahasa Rumi, harus dijauhkan dari semua manusia tanpa memandang status keagamaan. Cinta hakiki seharusnya bermuara kepada keseluruhan nilai-nilai sosial.

Islam dan non-Islam adalah sebuah takdir. Sedangkan takdir itu sendiri merupakan suatu pilihan. Ada ruang kehendak yang diberikan untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan. Maka kemudian di luar Islam bukan dijadikan musuh antagonis yang harus disingkirkan. Keagungan dakwah adalah jalan ruang cinta untuk dirangkul menjadi bagian dari hakikat cinta itu sendiri. Maka Rumi pun mengatakan, “Jika kau ingin melihat wajah-Nya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta.”

Pecinta Hakiki

“Di mana saja kau berada, apa pun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kau pun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tak akan dihitung.”

Ungkapan Jalaluddin Rumi di atas bagaikan kita diajak untuk menjadi pecinta yang sebenarnya. Apapun kondisi yang terjadi pada kehidupan, tidak ada alasan untuk berlalu dan lepas dari seorang pecinta. Nilai-nilai keagungan cinta adalah mencintai apa adanya, dan menerima keadaan apapun dari Yang Memberi Cinta.

Di dalam kesempatan lainnya, Rumi mengatakan, “Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.” Ini menunjukkan bahwa ketika cinta itu suci dan berlabuh pada cinta-Nya, maka Yang Maha Cinta akan selalu bersama kita. Jalan Cinta adalah kesucian dan keabadian cinta. Dan keabadian cinta adalah wujud kepedulian untuk selalu bersama-Nya.

“Tak ada pilihan lain bagi jiwa, selain untuk mengasihi. Namun, pertama kali jiwa harus merangkak dan merayap di antara kaki para pecinta. Hanya para pecinta yang dapat lepas dari perangkap dunia dan akhirat. Hanya hati yang dipenuhi dengan cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi. Bunga mawar kemuliaan hanya dapat bersemi di dalam hati para pecinta.”

Cinta, Kematian, Keabadian

Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kematianku adalah perkawinanku dengan keabadian.” Sebuah makna metafor bahwa ketika seseorang meninggal dunia, maka pada saat itu ia akan menghadap Tuhannya. Ibarat sebuah perkawinan, di dalamnya ada rasa cinta. Kematian, bagi seorang sufi, adalah peleburan cinta abadi yang begitu dirindu dan diinginkan. Karena pada saat kematian itulah, perjumpaan dengan Tuhan dalam hakikat keabadian.

“Karena Cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena Cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan.” Sebuah konsep teologi sufistik bahwa terjadi emanasi (pancaran), menurut Al-Farabi yang diadaptasi dari konsep teologi Arestoteles dan Plato. Wujud Tuhan memancarkan keberadaan makhluk secara keseluruhan. Begitu pula dengan pancaran Cinta, maka ketiadaan terlihat bagaikan keberadaan. Hakikat gaib adalah wujud nyata sebagai sifat Tuhan yang tidak terbantahkan.

Cinta Tuhan bisa didapat dengan kematian. Dan kematian adalah langkah menuju keabadian. Cinta, kematian, dan keabadian merupakan rangkaian salik (jalan, thariqah) untuk mencapai kesempurnaan hidup yang sebenarnya. “Isi aku dengan anggur dari hening-Mu, biarkan anggur itu merendam pori-poriku, hingga Keindahan dari Yang Maha Agung akan terungkap kepadaku. Inilah arti cinta bagiku!”

Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Mevlevi di Turki, berupaya untuk membangun syair cinta melalui aksara dan kata-kata. Kalimat-kalimat yang lahir dari sang pencinta hakiki merupakan permata yang abadi di dalam Cinta Abadi. Syair Sufistik Cinta Rumi adalah puisi-puisi keabadian yang terus bergema di antara kehidupan masa kini. Karena syair puisi yang lahir dari hakikat cinta adalah keabadian dan keagungan Tuhan. Wallahu A’lam! 

ilustrasi: kompasiana.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan