Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi yang pesat, manusia modern dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang eksistensinya dan kemampuannya untuk menentukan kebenaran.
Sejak dahulu kala, dorongan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran memang inheren dalam diri manusia. Namun, lanskap informasi yang didominasi teknologi saat ini menghadirkan tantangan unik yang perlu disikapi dengan pendekatan yang lebih kritis.

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi hingga budaya. Namun, kemudahan akses dan kecepatan penyebaran informasi juga memunculkan persoalan kompleks, salah satunya adalah potensi hilangnya otonomi berpikir dan munculnya kepasifan dalam menerima informasi tanpa kritik.
Fenomena manusia sebagai homo consumer (sebelumnya dibahas di sini) semakin menguat di era digital ini. Alih-alih menjadi makhluk dengan “aktivitas bebas dan sadar” seperti yang diidealkan oleh Karl Marx, manusia cenderung menjadi penerima pasif informasi, kurang berinisiatif untuk mempertanyakan dan menganalisis dengan pertimbangan mendalam. Kemudahan yang ditawarkan teknologi berpotensi menjerat manusia dalam pusaran informasi tanpa refleksi.
Upaya manusia menciptakan teknologi untuk menguasai alam semesta secara paradoksal justru dapat menjebaknya dalam sistem dan algoritma yang ia ciptakan sendiri. Akibatnya, visi dan tujuan yang memberikan makna pada teknologi itu sendiri – yaitu manusia sebagai dirinya sendiri – menjadi kabur.
Manusia modern terancam kehilangan pemahaman mendasar tentang eksistensinya: siapakah ia di tengah gempuran informasi? Bagaimana seharusnya ia menjalani hidup yang bermakna? Dan bagaimana ia dapat mengoptimalkan potensi dirinya secara produktif di era serba digital ini?
Akibatnya, manusia menjadi semakin pasif dan bergantung. Mereka berhenti berpikir secara mandiri dan merelakan hati nurani pada keputusan-keputusan yang disusun oleh sistem yang tidak mereka kuasai.
Seperti yang digambarkan novelis Rusia Fyodor Dostoevsky dalam karya-karyanya, manusia bisa menjadi sosok tragis—tidak karena kekejaman dunia, melainkan karena ketidakmampuannya melihat pilihan lain.