Ketika Manusia Terjebak Banjir Informasi

148 views

Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi yang pesat, manusia modern dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang eksistensinya dan kemampuannya untuk menentukan kebenaran.

Sejak dahulu kala, dorongan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran memang inheren dalam diri manusia. Namun, lanskap informasi yang didominasi teknologi saat ini menghadirkan tantangan unik yang perlu disikapi dengan pendekatan yang lebih kritis.

Advertisements

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi hingga budaya. Namun, kemudahan akses dan kecepatan penyebaran informasi juga memunculkan persoalan kompleks, salah satunya adalah potensi hilangnya otonomi berpikir dan munculnya kepasifan dalam menerima informasi tanpa kritik.

Fenomena manusia sebagai homo consumer (sebelumnya dibahas di sini) semakin menguat di era digital ini. Alih-alih menjadi makhluk dengan “aktivitas bebas dan sadar” seperti yang diidealkan oleh Karl Marx, manusia cenderung menjadi penerima pasif informasi, kurang berinisiatif untuk mempertanyakan dan menganalisis dengan pertimbangan mendalam. Kemudahan yang ditawarkan teknologi berpotensi menjerat manusia dalam pusaran informasi tanpa refleksi.

Upaya manusia menciptakan teknologi untuk menguasai alam semesta secara paradoksal justru dapat menjebaknya dalam sistem dan algoritma yang ia ciptakan sendiri. Akibatnya, visi dan tujuan yang memberikan makna pada teknologi itu sendiri – yaitu manusia sebagai dirinya sendiri – menjadi kabur.

Manusia modern terancam kehilangan pemahaman mendasar tentang eksistensinya: siapakah ia di tengah gempuran informasi? Bagaimana seharusnya ia menjalani hidup yang bermakna? Dan bagaimana ia dapat mengoptimalkan potensi dirinya secara produktif di era serba digital ini?

Akibatnya, manusia menjadi semakin pasif dan bergantung. Mereka berhenti berpikir secara mandiri dan merelakan hati nurani pada keputusan-keputusan yang disusun oleh sistem yang tidak mereka kuasai.

Seperti yang digambarkan novelis Rusia Fyodor Dostoevsky dalam karya-karyanya, manusia bisa menjadi sosok tragis—tidak karena kekejaman dunia, melainkan karena ketidakmampuannya melihat pilihan lain.

Manusia modern seringkali dilanda kegelisahan dan kebingungan, meskipun berada di puncak kemajuan teknologi. Mereka bekerja dan berjuang, namun samar-samar merasakan kehampaan akibat hilangnya kendali atas arah dan makna aktivitas mereka. Ironisnya, di saat manusia berhasil menciptakan alat yang luar biasa, ia berpotensi menjadi budak dari ciptaannya sendiri.

Kemunculan rasa gamang mengenai otonomi dan nalar manusia, walhasil menimbulkan sikap relativistis yang mengandaikan bahwa tidak ada pertanyaan yang secara objektif sahih dapat diutarakan. Sikap ini pada akhirnya membuat individu semakin rentan untuk tunduk pada sistem teknologi tanpa perlawanan kritis.

Oleh karena itu, di era yang kini teknologi informasi telah mendominasi, berpikir skeptis bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan mendasar. Berpikir skeptis menjadi tameng utama untuk melindungi manusia dari kepasifan, manipulasi informasi, dan bias berbahaya yang mengintai di ruang digital.

Tom Friedman menekankan bahwa skeptisisme adalah sikap krusial yang mendorong kita untuk terus mempertanyakan asumsi, meragukan informasi yang diterima begitu saja, dan mewaspadai kepastian yang dogmatis. Pendekatan ini melibatkan analisis kritis dan ketelitian intelektual, sebuah proses pertimbangan yang didasarkan pada keraguan terstruktur dan pengujian berkelanjutan. Dalam konteks era digital, skeptisisme ala Friedman menjadi landasan untuk memilah informasi yang benar dan absah.

Shane Snow, dalam bukunya Dream Teams, memperkenalkan konsep “skeptisisme produktif” sebagai aset tak ternilai di tengah banjir informasi. Lebih dari sekadar keraguan sinis, skeptisisme produktif mendorong pencarian kebenaran yang lebih mendalam dan solusi yang inovatif. Di era digital, sikap ini memberdayakan individu untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga aktif mencari validitas dan relevansinya.

Dengan berpikir skeptis, kita memberdayakan diri untuk mempertanyakan kembali hal yang telah dipercayai, menantang status quo, dan mendorong kita secara aktif mencari bukti-bukti yang lebih kuat dan terpercaya.

Dengan demikian, kendati teknologi memfasilitasi akses terhadap informasi dan potensi kebenaran, esensi manusia sebagai makhluk yang berpikir, responsif, dan memiliki pertimbangan analitis tetaplah krusial. Dalam konteks ini, kesadaran penuh dan kemampuan berpikir kritis menjadi kompas yang memandu proses pencarian kebenaran, sebuah prinsip fundamental dalam menjaga hubungan yang sejati antara tujuan dan realitas di era digital.

Sekali lagi, kepastian sejati tidak hanya bersumber dari otoritas eksternal, melainkan juga dari kesadaran dan pemahaman diri yang mendalam. Dalam menghadapi kompleksitas informasi digital, kemampuan memadukan rasionalitas dan emosi, serta mempertimbangkan berbagai perspektif dengan sikap skeptis yang konstruktif, menjadi kunci untuk mempertahankan otonomi berpikir dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna di era ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan