Rumah Hitamku

1,415 kali dibaca

Teriakan ibuku kali ini sangat kencang. Tapi aku sudah biasa terbangun disambut jeritan dan tangisan ibu. Bahkan terkadang sering diiringi piring atau gelas pecah. Aku sudah terlalu malas mendengar cek-cok yang hampir setiap hari itu.

Untungnya pagi ini cerah, sinar mentari menembus jendela kaca bilik kayuku, sehingga terasa sedikit menghangatkan kulitku. Aku terbangun, kudapati jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bangkit dari baringku lalu kurapalkan doa seperti yang selalu diajarkan ibu.

Advertisements

Sebenarnya aku sangat muak dengan situasi yang tidak pernah terasa tentram seperti ini. Hampir tiga tahun hidup dalam rumah yang tidak layak untuk disebut rumah. Terkadang aku sedikit menyesal telah terlahir dalam keluarga semacam ini. Atau menyesali keputusanku menolak diangkat anak oleh Pakde Bimo —kakak dari bapakku— yang saat ini sudah tinggal di Jerman.

Andaikata kala itu aku tidak takut akan jauh dari ibu, pasti hari ini aku sudah tinggal bersama Pakde Bimo. Bersekolah di salah satu sekolah tersohor di distrik Ansbach, yang setiap akhir pekannya akan kuhabiskan berjalan-jalan menyusuri sudut kota Rothenburg ob der Tauber sambil berpotret ria bersama Pakde yang selalu sedia menuruti segala keinginanku.

Tapi inilah takdirku, berdiam diri di dalam bilik yang setiap harinya dikelilingi situasi mencekam.

***

Aku tidak pernah tahu persis permulaan semua ini.

Suatu sore sekitar tiga tahun yang lalu, perutku sudah keroncongan sejak menyusuri sungai bersama Tijan. Kukayuh sepeda biru kesayanganku, sepeda yang kudapat dari lomba tujuh belasan pada usiaku yang masih delapan tahun. Tidak terkira lagi bagaimana rasa bahagiaku saat benar-benar kudapatkan sepeda impian yang selalu dijanjikan oleh bapakku. Memang bapak selalu ingkar janji.

Kusenderkan sepedaku di pohon kelengkeng yang berdaun lebat tetapi tidak pernah sekalipun berbuah itu. Halaman depan rumahku lebar, mengharuskanku sedikit berlari agar cepat menggapai gagang pintu depan. Kugapai dengan sigap gagang pintu itu lalu kudapati ibu sesenggukan di atas kursi kayu yang kaki-kakinya sudah keropos.

Ibu seorang yang teramat tegar, tidak mungkin akan menangis jika hal yang dihadapi tidak keterlaluan. Aku sudah menduga pasti itu ulah bapak, sebab sudah beberapa hari mereka sering bertengkar meski hanya sekadar adu mulut biasa. Rasa laparku tetiba hilang melihat ibu terduduk dengan lemas berlinang air mata. Kupeluk erat ibu, pipiku perlahan hangat dihujani bulir-bulir yang kutahan agar tidak  jatuh —namun gagal.

Ibu memelukku, perlahan mengusap punggung dan rambutku. Suara parau yang keluar darinya membuat hatiku semakin teriris. Aku tidak tahu apa gerangan yang membuatku turut berderai air mata, mungkin sebab aku sangat menyayangi ibu hingga tak kuasa melihatnya menangis seperti ini.

“Ibu tidak akan meninggalkanmu, Nak. Ibu akan selalu bersamamu.” Jelas aku tidak mengerti apa arti dari perkataan ibu. Aku hanya mengangguk dan terus memeluknya dengan semakin erat.

Malamnya kudapati Mak Cik Leha datang ke rumah —entah kapan ibu mengundangnya— tidak dengan diantar suaminya seperti biasa. Ia datang sendiri dengan raut sedih yang dapat kubaca bahkan dengan sekali lihat saja.

“Mas Sena selingkuh, Ha,” tertahan suara ibu. Mungkin tanpa ibu menjelaskan lebih dalam lagi Mak Cik Leha sudah memahaminya. Ibu menangis lagi, aku dapat mendengarnya meski mataku sudah tidak tertahankan untuk tetap terus terjaga. Aku tertidur.

***

Tiga tahun sudah berlalu begitu saja, namun tidak dengan penderitaan ibu. Semakin hari tampak semakin kurus badannya, mata indahnya yang dulu berbinar terang kini tak pernah seharipun tidak terlihat sayu. Bahkan rambut panjang ibu yang dulu selalu indah terurai sampai ke punggung, kini dipotong cepak hampir mirip dengan gaya rambut lelaki. Aku tidak tahu persis apakah itu salah satu bentuk ibu mengekspresikan rasa sedih —ah bukan sedih lagi, ibuku sudah teramat menanggung perih.

Kesakitan ibu tidak hanya perihal bapak yang selingkuh, itu bahkan baru permulaan dari segalanya. Mulai dari berjudi, mencopet, bahkan sekarang bapak sudah menjadi tangan kanan salah seorang bandar miras di kampungku. Ya, kampungku memang sudah tidak layak disebut kampung. Banyak sekali pemuda hingga orangtua menganggap hal biasa hidup berdampingan dengan para pemabuk serta tukang judi.

Setiap hari bapak hanya menghabiskan waktu dengan tidur sepanjang siang dan kelayapan semalaman. Aku tahu, di malam hari bapak akan pergi mengantar pesanan miras sesuai perintah bosnya. Lalu di pagi hari dia akan pulang dengan keadaan setengah sadar, bahkan beberapa kali pulang diantar para kaki tangan bosnya sebab bapak sudah tidak sadar.

Sakit. Sakit sekali ketika beberapa kali rentenir datang menagih utang bapak. Aku menyaksikan ibu diseret, ditampar, hingga pukulan-pukulan lain. Ibu tidak membiarkan aku keluar kamar, aku selalu meringkuk di bawah dipan sambil menangis tersedu. Jeritan ibu memohon ampun semakin menyayat hatiku.

Tidak sampai di sana, ketika bapak pulang dan mendapati sekujur tubuh ibu penuh dengan luka dan lebam maka ibu akan menerima hukuman dari bapak —bukan, bukan hukuman, melaikan luapan dari emosi bapak— sebab menurutnya ibu tidak becus membayar utang.

***

Mendung tampak penuh memeluk langit, angin di luar sangat kencang hingga merobohkan pohon pisang di samping rumah. Ibu masih terlelap di atas kursi panjang seraya menyetel radio kesayangannya. Aku sudah menduga hari ini bapak tidak akan pulang pagi. Ah biarkan saja, toh kami pun tidak akan diurusi, apalagi terlintas di benaknya.

Aku berbaring di atas kursi reyot di samping pintu depan. Tidak lama hujan turun begitu deras, hingga kudapati beberapa aliran air mengucur dari sela-sela genting rumahku. Aku sudah malas untuk mengambil ember atau apapun untuk menadahinya. Biarkan saja, yang penting ibu tidak kebasahan.

Aku terlelap entah sudah berapa lama. Hujan di luar sudah mereda, angin pun sudah tidak seberingas tadi. Kudapati jejak kaki yang sudah pasti itu adalah bapak. Aku masih berpura-pura tertidur ketika bapak menengok ke arahku. Perlahan dia mendekati ibu, jantungku berdebar sangat kencang. Entah apa yang aku pikirkan, tetapi aku yakin ibu berada dalam bahaya. Kulihat bapak memegang pisau dapur di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang bantal. Hatiku panas sekali, kepalaku panas, seluruh badanku panas, bergetar diamuk amarah.

Ibu terbangun. Bapak terkejut bukan kepalang. Jleeebb… dengan tepat pisau menancap di punggung, menembus ke dada. Darah mengucur bersamaan dengan bapak yang terjatuh bersimbah darah. Kujatuhkan pisau itu, lalu aku tersenyum lebar dan kukatakan pada ibu, “Tenang saja, Bu, kita sudah aman.”

Yogyakarta, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan