Rumah Hitamku

1,396 kali dibaca

Teriakan ibuku kali ini sangat kencang. Tapi aku sudah biasa terbangun disambut jeritan dan tangisan ibu. Bahkan terkadang sering diiringi piring atau gelas pecah. Aku sudah terlalu malas mendengar cek-cok yang hampir setiap hari itu.

Untungnya pagi ini cerah, sinar mentari menembus jendela kaca bilik kayuku, sehingga terasa sedikit menghangatkan kulitku. Aku terbangun, kudapati jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bangkit dari baringku lalu kurapalkan doa seperti yang selalu diajarkan ibu.

Advertisements

Sebenarnya aku sangat muak dengan situasi yang tidak pernah terasa tentram seperti ini. Hampir tiga tahun hidup dalam rumah yang tidak layak untuk disebut rumah. Terkadang aku sedikit menyesal telah terlahir dalam keluarga semacam ini. Atau menyesali keputusanku menolak diangkat anak oleh Pakde Bimo —kakak dari bapakku— yang saat ini sudah tinggal di Jerman.

Andaikata kala itu aku tidak takut akan jauh dari ibu, pasti hari ini aku sudah tinggal bersama Pakde Bimo. Bersekolah di salah satu sekolah tersohor di distrik Ansbach, yang setiap akhir pekannya akan kuhabiskan berjalan-jalan menyusuri sudut kota Rothenburg ob der Tauber sambil berpotret ria bersama Pakde yang selalu sedia menuruti segala keinginanku.

Tapi inilah takdirku, berdiam diri di dalam bilik yang setiap harinya dikelilingi situasi mencekam.

***

Aku tidak pernah tahu persis permulaan semua ini.

Suatu sore sekitar tiga tahun yang lalu, perutku sudah keroncongan sejak menyusuri sungai bersama Tijan. Kukayuh sepeda biru kesayanganku, sepeda yang kudapat dari lomba tujuh belasan pada usiaku yang masih delapan tahun. Tidak terkira lagi bagaimana rasa bahagiaku saat benar-benar kudapatkan sepeda impian yang selalu dijanjikan oleh bapakku. Memang bapak selalu ingkar janji.

Kusenderkan sepedaku di pohon kelengkeng yang berdaun lebat tetapi tidak pernah sekalipun berbuah itu. Halaman depan rumahku lebar, mengharuskanku sedikit berlari agar cepat menggapai gagang pintu depan. Kugapai dengan sigap gagang pintu itu lalu kudapati ibu sesenggukan di atas kursi kayu yang kaki-kakinya sudah keropos.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan