Riwayat Pohon Suci

1,868 kali dibaca

Pohon rambutan itu tumbuh di sisi musala tua yang terbuat dari sirap, tepat di atas jalan kampung tak beraspal yang melengkung tumpul dan penuh kerikil. Usia pohon dan musala itu diperkirakan sama. Keduanya sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang, buah karya tangan dingin kiai kampung saat itu —yang konon juga dikenal sebagai seorang wali Allah— bernama Ki Nolam.

Pohon rambutan itu terus berbuah lebat sepanjang musim tak putus-putus. Ujung rantingnya bersanggul gundukan buah yang merah-merah. Beruntung pohon itu berdahan kekar sehingga tak merunduk meski harus menahan buah lebat.

Advertisements

Ajaibnya, tak ada kelawar, tupai, dan hewan pengerat lainnya yang berani memangsa buah itu. Hewan-hewan itu hanya melompat-lompat atau beterbangan di sekitanrya, seolah patuh pada arwah si penanam pohon itu agar tidak memakannya. Padahal, siapa pun mengakui, buah rambutan dari pohon itu punya rasa khas yang lezatnya melebihi buah-buah dari pohon rambutan lain.

Kata tetua dusun, siapa saja yang tubuhnya terkena rambutan Ki Nolam yang jatuh sendiri dari pohonnya, maka ia bakal menjadi orang saleh yang akan membawa kedamaian. Tapi, di suatu sore, sebuah rambutan jatuh tepat menonjok kepala Rustam yang kebetulan sedang berjalan di bawahnya. Rustam bukan bahagia, tapi malah misuh-misuh. Kejadian itu dilihat beberapa orang, dan membuat warga saling bisik. Antara percaya dan tidak. Nyaris seluruh dada menyimpan tanya; apakah orang sejahat Rustam yang sering mencuri, merampok, berzina, dan suka mabuk itu bakal jadi orang saleh?

“Sepertinya sangat mustahil jika Rustam akan berubah baik, sebagaimana mustahilnya sebuah rambutan yang luruh mendekap tanah untuk bisa kembali bergantung di rantingnya,” sumbang Man Sahir kepada teman-temannya yang tengah membincangkan peristiwa itu di warung Bi Juna. Semua teman Man Sahir pun mengangguk, sambil menyeruput kopi, dan mengepulkan asap rokok.

Pada saat kejadian itu, Rustam marah-marah kepada dirirnya saat sebuah rambutan jatuh mengenai kepalanya. Buah rambutan itu ia pungut, diremas sekuat tenaga dalam kepalan tangannya. Berkali-kali ia mengulangi remasannya sampai daging buah itu mencuat dan mengucurkan air. Tak puas, ia megepalnya lagi, hingga dalam genggamannya hanya tersisa sebutir biji keras penuh garis-garis putih. Lalu Rustam melemparnya ke ujung pancuran musala Ki Nolam, dan menimbulkan suara seperti benda menggelinding.

“Bangsat! Aku tidak akan menjadi orang baik, percuma kau jatuh ke tubuhku,” bibir Rustam menyipit ke samping seolah sedang mengejek pohon rambutan yang ada di depannya.

Perbincangan mengenai Rustam yang dijatuhi buah rambutan itu terus berlanjut dari mulut ke mulut, dari hari ke hari, dari tempat ke tempat. Dan benak setiap orang pun menyajikan pendapat yang beragam. Ada yang menganggap mustahil jika Rustam akan menjadi baik, karena sampai saat ini ia dinilai sudah terlalu hitam dan nyaman jadi pendosa. Ada pula yang beharap ia segera jadi orang baik, agar suasana kampung nyaman dan tenang.

Sudah terlalu lama Rustam jadi pengacau di kampung itu. Berkali-kali ia keluar-masuk penjara. Kepala desa dan para kiai sudah sering menasihatinya. Tapi ia bagai besi tua yang tak mempan dijilat api para pandai besi. Hatinya tetap keras dan selalu punya naluri untuk berbuat jahat kepada orang lain. Parahnya, ia melakukan kejahatan itu di kampungnya sendiri, tanpa rasa malu sedikit pun.

Rustam sudah biasa menjarah hasil tani dan hewan ternak warga. Nyaris setiap wanita cantik di kampung itu dapat suitan nakal darinya, bahkan sebagian dari wanita itu sempat jadi sasaran nafsu bejatnya. Para remaja ia ajak minum dan berjudi. Jika berani menolak, maka si remaja akan dihajar.

Pisuhan, ocehan, cibiran, ancaman, doa kualat hingga doa tersopan berhamburan untuknya dari setiap bibir orang yang ada di kampung itu. Tapi ia tetap enteng dan santai, seolah tak ada apa-apa, setiap hari tetap berlenggang ugal dengan motornya yang berknalpot nyaring, melintasi jalan kampung seraya memamerkan tato, tindik, kalung, dan rambut panjangnya, hingga motor cerewetnya itu diparkir di tempat biasa ia mangkal dengan rekannya; di sebuah rumah tua tak berpenghuni yang ada di bagian belakang pasar Biang. Di tempat itulah, ia dan kawan-kawannya biasa mabuk, berjudi, membawa wanita penghibur, menikmati kepayang, sambil menyalakan musik dugem dari sebuah soundsystem.

Dan Rustam adalah penjahat yang lahir dengan kejayaannya. Meski pelipisnya sudah beberapa kali ditembus peluru, dan kulitnya sering disabet celurit, ia tetap hidup dan tak jera dengan kejahatannya. Bahkan ketika warga kompak untuk meringkusnya dengan ramai-ramai, tiba-tiba Ki Harun, si tokoh di kampung itu melarang warga dengan alasan karena setiap orang jahat hendaknya diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar, bukan dibunuh. Akhirnya —meski dengan wajah kecut berbalur kekecewaan— warga menuruti nasihat Ki Harun.

Rustam tersenyum dalam kejayaannya. Ki Harun tersenyum karena kewibawaannya. Terakhir, warga yang punya hati lunak hanya bisa berharap agar Rustam bisa dijatuhi buah rambutan itu dengan harapan bisa menjadi orang saleh. Sedang warga yang telanjur benci berharap agar Rustam bisa ditimpa pohon rambutan itu agar ia cepat mati.

Benar, semua perhatian tertuju kepada pohon rambutan purba yang ditanam almarrhum Ki Nolam.

Keajaiban yang ditimbulkan pohon itu selalu membawa perubahan kepada hal yang lebih baik. Kabarnya, keajaiban itu memang terjadi sejak puluhan tahun silam ketika Ki Nolam masih hidup. Dulu, para pejuang bersemedi di bawah pohon itu setiap malam, hingga ada buah yang jatuh ke haribaan mereka. Buah itulah yang kemudian dibawa ke medan perang. Pejuang yang menyimpan buah itu di sakunya akan kebal peluru dan bambu runcing miliknya bisa terbang sendiri menumpas musuh.

Jika musuh datang ke pohon rambutan itu, ada dua hal yang mungkin terjadi ketika melihat buahnya yang merah-merah. Ada yang gemetar ketakutarn sampai lari tunggang-langgang. Ada juga yang berbalik pikiran, hatinya jadi lunak, dan mau bergabung dengan pejuang di kampung itu. Setelah masa kemerdekaan, buah rambutan itu tetap membawa keajaiban-keajaibannya sendiri, terutama bisa melunakkan hati yang keras menjadi lembut.

Malam itu, sepasang mata Rustam menderaikan butiran bening. Ia duduk di teras musala tua Ki Nolam sambil menatap gundukan buah rambutan yang merah-merah diterpa cahaya bulan. Hampir sebulan lamanya, tak ada yang tahu, jika dirirnya sudah rajin ke musala itu setiap dini hari. Di sana ia bersalat dan berzikir, menyesali segala tindak kejinya. Dan malam itu, ia masih tak paham pada keajaiban yang seperti meniup jiwanya untuk terus ingat kepada-Nya. Tapi Rustam menikmatinya, sebab ia merasakan ketenangan yang luar biasa, melebihi kenikmatan dosa yang pernah ia lakukan.

Di lain waktu, semua warga melihat sendiri perubahan yang terjadi pada Rustam. Ia tak lagi memakai kalung, rambutnya dicukur rapi, dan seluruh tatonya dibersihkan. Kini ke musala Ki Nolam tidak hanya pada dini hari. Di siang hari pun ia kerap salat berjamaah bersama beberapa warga. Teman mabuknya meledek keinsyafan Rustam dengan sebutan orang cengeng. Tapi Rustam tak peduli itu, yang ia rasakan adalah adanya jiwa lain yang masuk ke dalam dirinya, yang selalu berkeinginan meninggalkan maksiat dan selalu rindu bersimpuh di hadapan-Nya.

Suatu malam, ia memeluk pohon rambutan itu sambil menangis haru, seperti memeluk almarhum ibunya. Tangannya tekun mengelus lembut lekukan kulit pohon itu. Air matanya jatuh menempuh garis berceruk dangkal yang memanjang. Sesekali ia mengintip ke atas, buah rambutan bergelantungan dibias cahaya bulan. Musang dan kelelawar hanya bisa menatapnya dari jauh.

***

Hanya berjangka waktu dua bulan, warga menikmati suasanan nyaman, melihat Rustam rajin ke musala, ia tidak mabuk dan tidak berbuat jahat lagi. Namun, hari setelah itu keadaan kembali gaduh. Rustam kembali jadi bahan percakapan. Kabarnya, ia meminta warga agar mengizinkan dirirnya untuk menebang pohon rambuatn itu. Alasannya, karena warga bisa jadi musyrik jika terus percaya pada pohon itu. Tapi warga serempak menolak permintaan Rustam. Karena, menurut warga, pohon itu merupakan pohon keramat, wasiat dari tetua desa, yang punya banyak manfaat.

Tingkat keimanan Rustam saat itu seperti ada di atas keimanan warga lainnya. Ia mulai prihatin pada keimanan warga yang percaya pada kekeramatan pohon itu. Ia khawatir kesalehan warga yang tiap hari tiap malam ditandai dengan bersujud dan berzikir bakal punah hanya gara-gara pohon rambutan itu. Ia berksimpulan, menebang pohon rambutan itu adalah sama dengan menyelamatkan keimanan warga.

Di suatu malam hening yang hanya digelitik angin lirih, ia mendatangi pohon itu, membawa kapak besar dan beberapa alat tebang lain dalam buntalan kain. Ia benar-benar ingin menebang pohon rambutan itu demi keselamatan keimanan warga. Tak ada kelelawar, tak ada apa pun, hanya bulan kuning kunyit mencuat separo dari pinggang kabut tipis.

Rustam mengayunkan kapak pada bagian pangkal, berniat menyelamatkan keimanan warga dari hal musyrik. Ia tak percaya jika pohon itu bisa mendatangkan apa-apa. Bahkan ia yakin, dirinya yang insyaf bukan karena pengaruh pohon itu.

Mata kapak terus melukai daging pohon, menimbulkan bunyi dan getaran, menyemburkan serpihan halus yang patah-patah. Getaran kapak itu membuat buah rambutan berjatuhan, sebagian menubruk tubuh Rustam. Saat buah itu jatuh ke tubuhnya, Rustam seperti merasakan ada belai tangan lembut dan hangat, jiwanya jadi tenang. Ia mengayunkan kapak lagi, saat pohon bergetar, buahnya kembali berjatuhan, sebagian jatuh lagi ke tubuh Rustam, dan ia merasakan belaian lembut lagi. Seolah ada sentuhan tangan dari keajaiban.

Rustam menghentikan ayun kapaknya. Ia bersandar pada pohon itu dan memandang ke atas. Buah rambutan itu bergelantungan, warnanya kemilau lembut disorot cahaya bulan. Hati Rustam semakin tenang, semakin nyaman, semakin terang. Ia mengamati kapaknya yang tajam, tapi keinginan untuk kembali menebang telah tumpul.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan