Memahami Sejarah Panjang Pulau Madura

1,814 kali dibaca

Masyarakat Madura dikenal memiliki etos kerja yang luar biasa. Ulet, tekun, dan pantang menyerah. Namun, mereka juga menyandang stereotipe. Stigma tersebut sudah muncul sejak zaman kolonial.

Ada banyak literatur yang menuliskan stereotipe buruk tentang suku Madura. Contohnya adalah buku Across Madura yang ditulis oleh Kess Van Dijk (1995) dan Streotypes of The Madurese karya De Jonge berdasarkan catatan, laporan, jurnal, dan laporan besar yang ditulis pada era kolonnial Belanda di Indonesia.

Advertisements

Muhammad Syamsuddin tidak kesulitan mencari data terkait Madura. Sebab, sudah ada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya seputar Madura, baik dari sisi ritual keagamaan, kerajaan, hingga letak geografsi. Semuanya kemudian ditulis menjadi satu kesatuan ke dalam buku yang berjudul History of Madura.

Sebagai pembuka, penulis berusaha mengulas sejarah singkat Madura, kondisi geografis, sistem perekonomian, dan tradisi merantau masyarakat Madura. Disebutkan, dalam makalah seminar yang ditulis oleh Siti Maisaroh, dia menyebutkan bahwa migrasi orang Madura dimulai sekitar tahun 1870 sampai 1930 ketika usaha perkebunan berkembang pesat di Pulau Jawa. Fakor lain adalah iklim panas serta tanah yang tandus yang membuat wilayah Madura tidak cocok dijadikan perkebunan atau pertanian. Namun, Madura cocok untuk peroduksi garam. Dalam catatan sejarah, Madura telah menjadi penghasil sekaligus pengekspor garam. Oleh karenanya, Madura disebut-sebut sebagai Pulau Garam (27).

Mengutip pendapat Zainuddin, 1978, bahwa nama pulau Madura diambil dari dua kata maddhu dan saghara yang artinya pojok lautan. Tafsir ini dikaitkan dengan penduduk setempat yang tinggal di pojok pulau Jawa. Benar memang bahwa secara geografis, Madura cukup berdekatan dengan Pulau Jawa.

Bagian kedua, penulis mengupas masalah agama, bahasa, dan budaya orang Madura. Sebelumnya disebutkan bahwa penduduk Madura dikenal ulet dan tekun. Sama, mereka juga ulet dan tekun dalam mempelajari agama. Banyaknya pondok pesantren sebagai bukti, dan sangat menopang dan berpengaruh terhadap kultur budaya Madura. Wijaya menyebutkan bahwa nuansa keislaman dengan nilai-nilai budaya mengkristal sehingga sulit membedakan mana nilai keagamaan dan mana nilai budaya. Setidaknya, ada tiga jalur Islamisasi di Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur perdagangan, jalur kerajaaan, dan jalur para dakwah.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan