Memahami Sejarah Panjang Pulau Madura

1,838 kali dibaca

Masyarakat Madura dikenal memiliki etos kerja yang luar biasa. Ulet, tekun, dan pantang menyerah. Namun, mereka juga menyandang stereotipe. Stigma tersebut sudah muncul sejak zaman kolonial.

Ada banyak literatur yang menuliskan stereotipe buruk tentang suku Madura. Contohnya adalah buku Across Madura yang ditulis oleh Kess Van Dijk (1995) dan Streotypes of The Madurese karya De Jonge berdasarkan catatan, laporan, jurnal, dan laporan besar yang ditulis pada era kolonnial Belanda di Indonesia.

Advertisements

Muhammad Syamsuddin tidak kesulitan mencari data terkait Madura. Sebab, sudah ada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya seputar Madura, baik dari sisi ritual keagamaan, kerajaan, hingga letak geografsi. Semuanya kemudian ditulis menjadi satu kesatuan ke dalam buku yang berjudul History of Madura.

Sebagai pembuka, penulis berusaha mengulas sejarah singkat Madura, kondisi geografis, sistem perekonomian, dan tradisi merantau masyarakat Madura. Disebutkan, dalam makalah seminar yang ditulis oleh Siti Maisaroh, dia menyebutkan bahwa migrasi orang Madura dimulai sekitar tahun 1870 sampai 1930 ketika usaha perkebunan berkembang pesat di Pulau Jawa. Fakor lain adalah iklim panas serta tanah yang tandus yang membuat wilayah Madura tidak cocok dijadikan perkebunan atau pertanian. Namun, Madura cocok untuk peroduksi garam. Dalam catatan sejarah, Madura telah menjadi penghasil sekaligus pengekspor garam. Oleh karenanya, Madura disebut-sebut sebagai Pulau Garam (27).

Mengutip pendapat Zainuddin, 1978, bahwa nama pulau Madura diambil dari dua kata maddhu dan saghara yang artinya pojok lautan. Tafsir ini dikaitkan dengan penduduk setempat yang tinggal di pojok pulau Jawa. Benar memang bahwa secara geografis, Madura cukup berdekatan dengan Pulau Jawa.

Bagian kedua, penulis mengupas masalah agama, bahasa, dan budaya orang Madura. Sebelumnya disebutkan bahwa penduduk Madura dikenal ulet dan tekun. Sama, mereka juga ulet dan tekun dalam mempelajari agama. Banyaknya pondok pesantren sebagai bukti, dan sangat menopang dan berpengaruh terhadap kultur budaya Madura. Wijaya menyebutkan bahwa nuansa keislaman dengan nilai-nilai budaya mengkristal sehingga sulit membedakan mana nilai keagamaan dan mana nilai budaya. Setidaknya, ada tiga jalur Islamisasi di Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur perdagangan, jalur kerajaaan, dan jalur para dakwah.

Ketika berbicara tradisi, penulis mengkategorikan menjadi dua bagian. Tradisi yang memang mempertahankan marga, klan, atau nama baik keluarga seperti carok dan kerapan sapi. Ada pula tradisi yang dipengaruhi oleh ritual keagamaan seperti sar-koran kuburan, lebaran ketupat, slamet malem lekoran, dan lain sebagainya.

Pun, demikian dengan corak bahasa yang digunakan masyarakat Madura. Penulis menyebutkan bahwa Bahasa Madura adalah turunan dari Bahasa Austronesia dan ranting dari Bahasa Melayu-Polinesia. Ini bisa dibuktikan dengan beberapa bahasa yang mengalami persamaan dengan bahasa daerah lainnya. Namun, bahasa yang digunakan bertingkat sesuai dengan kelas sosial. Tercatat ada bahasa keraton, tinggi, halus, dan rendah atau kasar (mapas). Ada juga bahasa yang memang murni tak terkontaminasi oleh bahaasa luar, seperti di Kangean (64).

Kelas sosial yang terdeteksi dalam masyarakat Madura ada tiga tingkatan. Pertama adalah Sentana (bangsawan). Kelas ini umumnya adalah keluarga raja. Kelas ini biasanya ditandai dengan gelar raden, panji, dan ario. Biasanya, keluarga kerajaan mempunyai posisi penting di birokrasi ataupun pemerintahan. Kedua, Mantri (abdi delem). Sistem kerajaan yang dianut membutuhkan orang-orang yang mengabdi dan bekerja di lingungan kerajaan. Posisi mereka diakui oleh raja-raja pribumi maupun rezim Belanda. Yang terakhir adalah kelas masyarakat biasa (211).

Selain mempertahankan tradisi, masyarakat Madura mempunyai beberapa falsafah yang dipengaruhi oleh agama. Di antara beberapa falsafah yang populer dan disebutkan oleh penulis adalah rampa’ naong beringin korong atau abental sada’, asapo’ iman, apajung Allah. Maksud dari falsalah tersebut adalah laila illa allah, abantal syahadat, asapo’ iman apajung Allah.

Semoga hadirnya buku ini bisa memberikan pencerahan kepada para pembaca dan bisa menghilangkan sifat stereotipe terhadap masyarakat Madura. Selamat membaca.

Data Buku

Judul Buku     : History of Madura
Penulis            : Drs H Muhammad Syamsuddin, M.Si
Penerbit           : Araska
Terbitan           : Maret, 2020
ISBN              : 978-623-7145-35-6
Halaman          : 288

Multi-Page

Tinggalkan Balasan