Rahasia Kopiah Lusuh

2,048 kali dibaca

Teriakan-teriakan itu sudah selesai berbulan-bulan lalu, tapi gemanya masih memenuhi lubang telinga Dzul. Tak ada rasa malu yang ditunjukkan di wajahnya. Bahkan dadanya mengembang, berbunga. Saat ada yang bertanya di mana dia mendapat kopiah tersebut. Namun tetap saja tak ada yang tahu jawabannya.

Banyak yang menduga bahwa itu adalah koiyah pemberian dari orang spesial. Sampai-sampai Dzul tak ingin menggantinya setelah sekian lama. Banyak juga yang mencoba untuk memberinya koiyah yang lebih layak. Namun, Dzul selalu menolaknya dengan sangat halus, sampai mereka yang mengajukan diri mundur tanpa sakit hati.

Advertisements

“Saya sangat bersyukur pada Pakde, bahkan hati saya berbunga melebihi disukai oleh orang yang saya sukai. Tapi saya tak bisa melepas kopiah ini begitu saja.”

Itulah kalimat penolakan Dzul pada Pakde Pandu. Beliau adalah salah satu sesepuh desa dan juga salah satu kerabat Pondok Jauhar. Salah satu pondok pesantren paling tersohor di kecamatan sebelah. Di desanya, Pakde Pandu juga dikukuhkan sebagai penasihat desa. Banyak orang yang datang kepadanya untuk mendapatkan pencerahan. Mulai dari masalah rumah tangga, agama, bahkan untuk meminta nama bagi bayi-bayi mereka yang baru lahir.

Sebagian ternak miliknya dirawat juga oleh Dzul. Beliau sudah menganggap remaja itu seperti keluarganya sendiri. Ibu Dzul adalah teman sekelas Pakde Pandu. Sedang Dzul sendiri berteman baik dengan Zainuddin, anaknya Pakde Pandu. Mereka biasa berangkat sekolah dan ngaji bersama.

“Dzul, SMA kita besok ada kelasmeting, kan?” tanya Zainuddin saat istirahat.

“Iya, kenapa?”

“Enggak, aku tenang saja. Minimal cabang voli kita yang peganglah,” kelakarnya.

Dzul memang bocah yang tak pintar dalam hal pelajaran. Bahkan mungkin dia di bawah rata-rata anak yang lain. Tapi ada satu hal yang menjadikannya salah satu anak yang diperhatikan oleh guru-guru: dia tak pernah menolak jika dimintai tolong. Dia akan meninggalkan semua kepentingannya untuk orang lain. Kecuali hal itu, mengenai bapak semata wayangnya, hanya itu yang dia punya sekarang, dan cuma satu-satunya.

Selang beberapa tahun, akhirnya Dzul lulus. Berbekal kambing hasil pembagian dengan Pakde Pandu, dia ingin memulai usaha. Setelah acara perayaan di sekolah, dia lekas membawa bapaknya pulang dengan sepeda onthel tua mereka. Dia tahu kewajibannya, harus mengurus ternak di kandang. Meskipun itu adalah hari perayaan baginya.

“Ini hari bahagiamu, istirahatlah. Bapak yang akan cari pakan.”

“Karena ini hari bahagia saya, saya mau orang yang saya cintai merasa sedikit lega. Lagi pula, ini kewajiban, dan bapak yang mengajarkannya. Mana mungkin saya lupakan,” ujarnya sambil melempar senyum sebelum menunaikan kewajibannya dan tak lupa memakai kopiahnya.

Sekarung penuh rumput segar diangkut Dzul ke kandang. Peluh yang keluar dari sekujur badan dia keringkan dengan kopiahnya yang dikipas-kipaskan. Dari balik rumah Zainuddin datang, untuk sekadar menyapa teman akrabnya.

“Habis ini kamu ke mana Din?

“Mungkin ke Yogja, kuliah. Abah maunya begitu.”

“Sama kayak ning, bagaimana kabarnya?”

“Baik, kemarin kami teleponan.”

“Abah masih saja penasaran dengan kopiahmu,” ucap Zainuddin dengan sedikit kelakar.

“Biarlah, ini akan menjadi rahasia kita. Dan aku harap untuk selamanya.”

Tak lama ada suara panggilan yang mereka dengar dari rumah. Dzul melenggang ke kamar mandi dekat kandang terlebih dulu, membersihkan badan. Setelah selesai, dia menghadap Pakde Pandu. Ada sebuah hadiah yang disiapkan Pakde atas kelulusannya. Terlebih lagi dia berada di urutan yang memuaskan.

Namun, dengan satu syarat, dan Dzul sudah menebaknya. Beliau ingin tahu apa istimewanya kopiah yang dipertahankan Dzul sekian lama itu. Namun, anak muda itu masih tetap pada pendiriannya. Dan juga pada penolakan halusnya. Dia berniat undur diri karena belum salat ashar, sedang mentari sudah memancarkan mega.

Dalam perjalanan dia tak sengaja bertemu dengan para berandal. Namun, Dzul hanya ingin lewat tanpa peduli. Salah satu dari mereka mencoba menghalangi langkahnya dengan menyahut kopiahnya. Mata pemuda itu gelap seketika. Badannya yang telah biasa bekerja keras menyembulkan urat-urat amarah. Dihantamkan sebuah pukulan tepat ke arah salah satu dari mereka. Dalam sekejap berandal itu pingsan.

Teman-temannya yang tak terima dengan Dzul ikut bergabung. Tapi tetap saja tak ada yang bisa membendung kemarahan sang singa. Atas alasan kopiah tersayangnya dan waktu asharnya yang hilang. Dari belakang salah satu berandal itu menyelinap. Memukul tengkuknya hingga pandangannya benar-benar kabur, lalu tubuhnya tersungkur.

Selang beberapa lama pemuda itu sadar. Badannya terasa berat dan dia tak tahu sedang di mana. Banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Beberapa ada yang sampai membiru dan membuatnya susah bergerak. Di sampingnya sang bapak tertidur dalam duduknya. Dan ternyata tak sendiri, Zainuddin juga di sana. Dia tahu bahwa pasti juga ada Pakde dan Bude. Saat mencoba menegakkan diri dengan susah payah, ternyata mereka membuka pintu.

“Eh, jangan gerak dulu,  masih belum sembuh,” Bude Syikha mencoba membenarkan bantal yang ada di punggung Dzul.

“Pakde, bisa tolong ambilkan kopiah saya?”dengan sedikit keheranan dia menuruti ucapan Dzul.

Bapak dan Zainuddin lekas bangun mendengar ada sebuah percakapan. Bapaknya tak kuasa membendung tangis. Dan Dzul segera meminta maaf padanya. Baginya kopiah itu sangat berharga, dan bapaknya juga tahu alasannya. Sedangkan,  Zainuddin yang juga tahu sedikit geram. Dia bisa saja mati saat berhadapan dengan para berandalan itu. Hanya untuk alasan itu,  Pakde Pandu yang mulai gemas, segera ingin mengetahui apa yang mereka sembunyikan.

“Maaf, ini sudah membuat Pakde gelisah. Maafkan saya.”

Dzul akhirnya menceritakan bahwa koiyah itu adalah hadiah terakhir mendiang ibunya. Namun ada satu alasan lagi yang ia sembunyikan dari Pakdenya. Akhirnya Dzul meminta Pakde untuk membuka salah satu selipan yang ada di samping kopiah.

“Maaf, saya sudah merahasiakannya selama bertahun-tahun.”

Ada selembar foto yang tersemat di sana. Awalnya Pakde juga bingung. Namun, setelah beberapa saat dia mulai tersenyum. Akhirnya dia tahu kenapa Dzul menyimpan foto putrinya di selipan kopiah lusuh itu setelah sekian lama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan