Lelaki yang tercatat dalam kisah ini adalah seorang dari negeri Syam –beberapa lainnya meyakini asalnya dari Hadramaut– yang datang ke Pasambangan Cirebon untuk mencari siapa yang bisa memotong rambut panjang kusutnya. Rambut yang bila diurai sampai ke tanah itu seperti kawat kerasnya.
Ia muncul di hadapan Seh Bentong –anak Seh Quro– pada suatu hari di Karanggayam. Ia tampak bersungguh-sungguh, tekadnya sudah penuh, untuk menemui sosok yang datang dalam mimpi-mimpi malam.
“Aku Syarif Syam,” katanya. “Aku mencari wali kutub Cirebon, ke mana arah rumahnya?”
“Apa keperluanmu menemuinya?”
“Minta tolong untuk memotong rambutku yang terus memanjang.”
“Kenapa rambutmu?”
Ia bercerita kalau sejak lahir, rambutnya tak pernah seorang pun yang bisa memotong.
“Ada lagi yang lain?” tanya Seh Bentong sambil memukul-mukul buah gayam.
Sejenak pemuda seberang itu tepekur, lalu menjawab dengan nada tegas, “Aku membawa kitab, banyaknya dua perahu, aku ingin beradu ilmu, dan ingin membuatnya malu di depan orang banyak.”
Berkata Seh Bentong. “Itu kitab dua perahu bagaimana membacanya? Bagi orang sini untuk mengerti syahadat saja sudah termasuk dhoif, lemah.”
“Aku tak peduli itu,” ujarnya.
“Di selatan, di situ Kanjeng Sunan tinggal,” kata Seh Bentong. “Adakah lagi yang ingin kau tanyakan?”
“Ada,” berkata Syarif Sam. “Aku ingin numpang salat, di mana tempatnya?”
Seh Bentong bangkit berdiri. Ia menghampiri Syarif Sam, dan berkata, “Di bumbung bambu yang terkait di pagar itu, di situlah aku biasa salat.”
“Apa maksudmu?”
“Silakan masuk ke dalamnya. Tak usah banyak bertanya.”
Syarif Syam tak segera menjawab, ia masih keheranan. Antara percaya dan tidak. Setengah menahan tawanya.