Seh Magelung

1,830 kali dibaca

Lelaki yang tercatat dalam kisah ini adalah seorang dari negeri Syam –beberapa lainnya meyakini asalnya dari Hadramaut– yang datang ke Pasambangan Cirebon untuk mencari siapa yang bisa memotong rambut panjang kusutnya. Rambut yang bila diurai sampai ke tanah itu seperti kawat kerasnya.

Ia muncul di hadapan Seh Bentong –anak Seh Quro– pada suatu hari di Karanggayam. Ia tampak bersungguh-sungguh, tekadnya sudah penuh, untuk menemui sosok yang datang dalam mimpi-mimpi malam.

Advertisements

“Aku Syarif Syam,” katanya. “Aku mencari wali kutub Cirebon, ke mana arah rumahnya?”

“Apa keperluanmu menemuinya?”

“Minta tolong untuk memotong rambutku yang terus memanjang.”

“Kenapa rambutmu?”

Ia bercerita kalau sejak lahir, rambutnya tak pernah seorang pun yang bisa memotong.

“Ada lagi yang lain?” tanya Seh Bentong sambil memukul-mukul buah gayam.

Sejenak pemuda seberang itu tepekur, lalu menjawab dengan nada tegas, “Aku membawa kitab, banyaknya dua perahu, aku ingin beradu ilmu, dan ingin membuatnya malu di depan orang banyak.”

Berkata Seh Bentong. “Itu kitab dua perahu bagaimana membacanya? Bagi orang sini untuk mengerti syahadat saja sudah termasuk dhoif, lemah.”

“Aku tak peduli itu,” ujarnya.

“Di selatan, di situ Kanjeng Sunan tinggal,” kata Seh Bentong. “Adakah lagi yang ingin kau tanyakan?”

“Ada,” berkata Syarif Sam. “Aku ingin numpang salat, di mana tempatnya?”

Seh Bentong bangkit berdiri. Ia menghampiri Syarif Sam, dan berkata, “Di bumbung bambu yang terkait di pagar itu, di situlah aku biasa salat.”

“Apa maksudmu?”

“Silakan masuk ke dalamnya. Tak usah banyak bertanya.”

Syarif Syam tak segera menjawab, ia masih keheranan. Antara percaya dan tidak. Setengah  menahan tawanya.

“Bagaimana bisa aku memasukinya?” jawabnya. “Lubang bambu itu sangat kecil sedangkan aku tinggi besar. Jariku saja sesak dalam buluh-buluh itu.”

Seh Bentong tak berkata apa-apa, tapi kemudian ia bertanya, “Perahu-perahumu sarat buku, tidakkah itu cukup untuk tak membuatmu ragu?”

Syarif Syam masih ragu. Diam beberapa sesaat. “Apakah tuan bisa masuk lebih dulu, nanti aku mengikuti persis dari belakang,” serunya.

Segera Seh Bentong menjulurkan tubuhnya dan memanggil-manggil Syarif Syam setelahnya sampai di dalam.

“Masuklah segera,” kata Seh Bentong. “Jangan berdiri saja di sana.”

“Tunggu sebentar!” teriak Syarif Syam dan mulai bergegas menyusul Seh Bentong. Ia kaget. Di dalam bumbung, segala terasa lapang, ada sebuah pintu besar. Lalu, ia masuk, terlihatlah masjid yang megah, dan orang di sana-sini. Ia masih tak percaya kenyataan itu. Keheranan yang panjang masih melingkupi, tatkala Seh Bentong menegurnya. “Sudah waktu salat, pukul dua belas siang.”

Syarif Syam dan orang-orang perlahan-lahan mengikuti Seh Bentong. Di masjid itu, orang merapatkan barisan, ada yang berdesak-desak: doa-doa dari mulut mereka. Lalu semuanya kembali tenang. Selesai wirid, Seh Bentong menghampirinya, wali yang pintar membuat gerabah itu ikut duduk. Ia menatap wajah Syarif Syam.

“Sekarang mana yang lebih besar, kamu dan buku-bukumu atau bumbung ini dengan semua isinya termasuk masjid, sungai, dan hutannya?” tanya Seh Bentong.

Air mata jatuh membasahi pipi Syarif Syam. “Aku mohon ampun untuk kesombonganku.”

Apabila kau berjalan di atas dosa

Dan jadi khawatir

Maka kau sebenarnya

Sudah mendapat ampunan Allah

Dan ingat-ingatlah…

Ilmumu sudah cukup untukmu

Apabila itu berguna

Kehinaan terjadi

Apabila kita berlaku sombong

Itu yang diucapkan amat lembut oleh Seh Bentong. Syarif Syam hanya mampu menatapnya dengan sebuah tatapan panjang. Mereka duduk di sana untuk beberapa saat lamanya. Syarif Syam dengan pandang tertunduk dan Seh Bentong dengan sepasang mata yang menyiratkan kepada kita bahwa di balik gelimang dosa dan kesombongan, cinta dan kerelaan hatilah yang akhirnya menyelamatkan. “Biarlah aku jadi muridmu,” kata pemuda asal Suriah itu.

“Sekarang namamu Rekma Gelung,” ujar Seh Bentong. “Hari ini Aku naungi kau di bawah naungan-Ku. Dengarkanlah pelajaran ini…”

Sampai di sini, Babad Cirebon dan Purwaka Caruban Nagari tidak mengisahkan banyak. Hanya ada ucapan singkat Seh Bentong, “Cepatlah datang ke Pasambangan Jati, temuilah Kanjeng Sunan, cuma ia yang bisa memotong rambutmu itu.” Saya membayangkan jika pembabaran Seh Bentong kepada Seh Magelung itu dibikin panjang, bagian ini akan jadi yang utama. Pusat mistisisme Cirebon. Seperti cerita Dewaruci –yang ditulis Yasadipura I tahun 1793– yang jadi sangat menarik dan dianggap dunia batin orang Jawa. Toh Purwaka Caruban Nagari lebih dulu. Pangeran Aria Cirebon menulisnya pada 1720. Tapi tak seperti Yasadipura I yang dekat dengan cerita Nawaruci dan berani menggubahnya. Pangeran Aria sebaliknya, ia membuat jalannya cerita jadi tergesa, ia merasa buku karangan Syiwamurti –pendeta Hindu– itu tak ada gunanya, hanya akan meracuni akidah.

Kini Syarif Syam yang sudah berganti nama jadi Rekma Gelung melanjutkan perjalanan, di suatu tempat ia berpapasan dengan seorang tua. Waktu itu hari sudah sore. Setelah memberi tahu maksud dan tujuan, ia merasa perlu bertanya. “Apa kakek tahu di mana tempat tinggal Kanjeng Sunan Cirebon?”

Kakek tua itu tak menjawabnya, hanya menggelengkan kepala.

“Oh!” seru Rekma Gelung sambil tersenyum.

Saat ia hendak meninggalkan tempat itu, kakek tua menghampirinya. “Aku iba melihatmu, jika tuan ikhlas dan suka rela, izinkan hamba memotong rambut itu.”

“Aku akan sangat suka dan rela kalau kakek bisa memangkasnya.”

“Berbaliklah, berkat izin Allah, aku akan mencobanya, semoga ini mudah.”

Lalu kakek itu memegang pelan rambutnya, dan hanya dengan jari-jari keriputnya rambut Rekma Gelung jadi getas dan putus. Betapa terkejut Rekma Gelung ketika menengok ke belakang. Rambutnya telah berjatuhan ke tanah, dan, kakek itu hilang entah kemana. Ia sulit percaya. “Ini sulit dipahami. Lelaki tua tadi… Tak diragukan lagi ia orang yang selama ini aku cari-cari,” kata Rekma Gelung.

Namun seperti banyak diceritakan dalam karya babad di Cirebon. Rekma Gelung atau Seh Magelung baru bisa bertemu kembali dengan Kanjeng Sunan pada suatu sayembara (siapa yang bisa mengalahkan Nyi Mas Gandasari, ia berhak jadi suaminya) di Desa Panguragan. Ketika Gandasari terpojok dan minta perlindungan kepada Sunan Gunung Jati, gurunya. Seorang, Sulendraningrat penulis Babad Cirebon, mencatat peristiwa itu terjadi tahun 1500.

Rekma Gelung masih belum tahu bahwa lelaki tua dihadapannya adalah Sunan Gunung Jati sampai sebelum ia terpental dan sulit bangun lagi. “Anak muda, akulah Sunan Gunung Jati. Siapa kau, dari mana asalmu?” tanya Sunan Gunung Jati.

“Syarif Syam dari tanah Syam. Aku diberi nama Rekma Gelung oleh Seh Bentong. Setelah itu, aku diberi nama Pangeran Sukalila oleh seorang kakek yang aku sendiri tak tahu siapa.” Dan ketika akhirnya Rekma Gelung dibebaskan dan dijadikan muridnya, Sunan Gunung Jati memerintahkannya untuk mengibarkan bendera Islam di tempat yang dipandang cocok.

Aku memilih tempat ini

Karangkendal

Untuk dimukimi

Di saat itu, Karangkendal –yang jaraknya tidak sampai 5 kilometer dan hanya 10 menit dari rumah– masih dengan rupa aslinya: tempat para bagal, berandal, dan tukang santet. Beratus-ratus tahun kemudian, setelah Seh Magelung mati dan jasadnya dikubur di sana, di bulan-bulan tertentu makamnya selalu ramai dikunjungi. Di sepanjang jalan orang-orang cemas dan takut. Kita pun akhirnya akan sendiri…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan