Poligami Bukan Ide Islam

2,059 kali dibaca

Dari sudut pandang sejarah, poligami bukanlah suatu praktik baru bagi masyarakat di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam dan lahir dari syariat Islam. Jauh sebelum Islam datang, poligami telah menjadi salah satu bentuk tradisi peradaban Arabia patriakhis, yaitu memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan bahkan nasib kaum perempuan  berada dalam genggaman laki-laki sepenuhnya. Seperti yang kita tahu, Islam tidak melahirkan adanya poligami. Islam hanya mengatur dan membatasi ketentuan berpoligami.

Syarat poligami menurut syariat Islam hanya boleh dilakukan sebanyak empat kali saja. Artinya, seseorang dibatasi untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Batasan menikahi empat wanita dalam hal berpoligami ini ditegaskan oleh Rasulullah ketika melihat sebagian sahabat telah mengawini 8 sampai 10 wanita.

Advertisements

Bagaimana dengan pernikahan yang dilakukan oleh Nabi sendiri?  Berbeda dengan para sahabat. Nabi bisa dan boleh mempersunting empat perempuan atau lebih, karena hal tersebut merupakan  khususiyah Nabi.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, dijelaskan bahwa sikap beristri lebih dari satu wanita yang dilakukan Rasulullah itu sebagai  upaya transformasi sosial, bertujuan meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Artinya, Rasulullah sejatinya berpoligami untuk kepentingan orang banyak, bukan semata-mata hanya ingin menambah istri bagi dirinya sendiri.

Dalam Islam, poligami dimungkinkan sebagai salah satu cara agar lelaki tidak terjerumus ke dalam perbuatan menyimpang, seperti berzina dan juga cara untuk menjaga kehormatan perempuan dan lelaki. Poligami juga dapat menjadi cara untuk memperbanyak keturunan atau solusi bagi pasangan suami dan istri yang sebelumnya sulit memiliki anak.

Meski poligami diperbolehkan, nyatanya poligami tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Dalam Islam pun syarat-syarat poligami diatur sedemikian rupa: Pertama, mampu berlaku adil. Seorang pria yang berpoligami harus mampu bersikap adil di antara para istrinya dalam banyak hal, termasuk nafkah lahir dan batin.Apabila ia condong kepada salah satu istri saja, maka ini akan menimbulkan kezaliman bagi istri-istri lain.

Aturan ketat poligami ini ditegaskan Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi yang berbunyi: “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari Kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan bagian pundaknya miring sebelah.”

Oleh karena itu, jika memang merasa tidak mampu berlaku adil, maka sebaiknya hindarilah poligami.

Kedua, jumlah istri dibatasi, maksimal empat orang. Artinya, seseorang dibatasi untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Batasan menikahi maksimal empat wanita dalam hal berpoligami ini ditegaskan oleh Rasulullah ketika melihat sebagian sahabat telah mengawini 8 sampai 10 wanita. Mereka lalu diminta Rasulullah menceraikan sebagian dan menyisakan empat istri saja.

Itulah yang diperintahkan Rasulullah kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits, seperti tertuang dalam sebuah hadits:

“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam, saya memiliki delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: ‘Pilih empat di antara mereka.’” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, mampu memberi nafkah lahir dan batin. Dalam berpoligami, setiap pria harus mampu memberi nafkah lahir dan batin bagi para istrinya. Apabila merasa masih sulit menafkahi satu orang istri, maka orang semacam ini sangat berhak dilarang poligami. Sebab, Rasulullah dahulu berpoligami bukanlah semata untuk kesenangan diri sendiri, melainkan demi membantu wanita-wanita yang tidak memiliki seseorang yang menafkahinya.

Keempat, niat semata untuk ibadah kepada Allah. Ketika memutuskan hendak berpoligami, maka niatkan semata untuk beribadah kepada Allah. Sebab, dengan tetap mengingat Allah, seseorang tidak akan terlupa dengan akhirat.

Kelima, dilarang menikahi dua wanita yang bersaudara. Bagi pria yang berpoligami, hendaklah ia menghindari pernikahan terhadap dua wanita yang memiliki hubungan darah erat (misal, saudara atau bibi).

Hal semacam itu dilarang dalam hukum poligami Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’alaa dalam Surah An-Nisa ayat 23:

“(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Larangan menikahi dua wanita bersaudara diperkuat dengan hadits Rasulullah, di mana salah satu istri Rasulullah —Ummu Habibah— mengusulkan agar Baginda menikahi adik kandungnya. Keinginan itu lantas ditolak oleh Rasulullah. Beliau pu menjawab, “Sesungguhnya ia tidak halal untukku.” (HR Imam Bukhari, An-Nasa’i).

Keenam, mampu menjaga kehormatan para istri. Sesuai syariat Islam, bagi setiap pria yang hendak beristri lebih dari satu adalah mampu membimbing, mendidik, serta menjaga kehormatan para istri. Apabila ia membiarkan salah satu istrinya bersikap bebas dan berbuat maksiat, maka dalam hal ini suami pun ikut menanggung dosa perbuatan istri tersebut.

Dengan demikian, jelas pada dasarnya poligami bukang datang dari Islam, namun Islam membolehkan dengan persyaratan dan pembatasan yang demikian ketat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan