Perempuan, Seni, dan Pesantren

2,103 kali dibaca

Kesenian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kesenian tidak hanya dibutuhkan untuk memenuhi rasa keindahan, tapi juga sekaligus sebagai media ekspresi kreativitas manusia. Kesenian tidak mengenal jenis kelamin, karena ukuran setiap kesenian adalah karya yang memiliki dimensi estetik. Apa pun jenis kelamin seseorang, kalau dia bisa menghasilkan suatu karya atau berada dalam karya yang berdimensi estetik, maka sebenarnya dia berada dalam lingkup seni.

Berbicara mengenai perempuan dalam seni, bisa dibagi dalam tiga posisi: sebagai obyek, subyek (kreator), dan pelaku seni. Posisi pertama perempuan berposisi sebagai sumber inspirasi, model, atau hasil dari suatu karya seni. Tidak peduli karya seni tersebut hasil kreasi lelaki atau perempuan. Sedangkan, pada perspektif kedua, perempuan diposisikan sebagai kreator atau pelaku yang menghasilkan karya seni.

Advertisements

Pada posisi pertama, kita bisa melihat berbagai sosok dan karakter perempuan dalam berbagai karya seni. Dalam dunia sastra, kita bisa melihat sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Ronggeng Dukuh Paruk dalam novel karya Ahmad Tohari, Novel Pronocitro karya Romo Mangun Wijaya, dan sebagainya.

Dalam dunia tari, kita bisa melihat sosok Dewi Shinta dalam sendratari epos Ramayana. Dalam dunia lukis kita bisa melihat lukisan perempuan bermata putih karya Jehan, Monalisa karya Leonardo da Vinci. Dalam seni musik, kita bisa melihat sosok Camelia dalam lagu Ebiet G Ade dan sebagainya.

Pada semua karya seni ini, perempuan menjadi obyek atau cermin dari imajinasi kreatif para seniman. Keberadaan perempuan dalam dunia seni di sini bersifat pasif. Karena sifatnya yang pasif, maka posisi perempuan dalam dunia seni menjadi dependen (tidak mandiri). Dalam perspektif ini, keberadaan perempuan dalam seni sangat tergantung pada sang kreator seni. Mau dibuat positif atau negatif, penting atau tidak penting, baik atau buruk, semua tergantung pada sang kreator.

Sebaliknya, dalam posisi subyek (kreator), posisi perempuan dalam dunia seni menjadi sangat independen dan kuat. Dia memiliki otoritas penuh untuk mengekspresikan imajinasi kreatifnya dalam berbagai bentuk seni. Beberapa figur perempuan yang berada dalam posisi ini, di antaranya Abidah el-Khaliqi, NH Dini, La Rose, Nawal Sadawi (sastra), Retno Maruti (tari), dan Ummi Kulsum (musik). Mereka adalah contoh perempuan yang menjadi subyek atau kreator seni yang melahirkan karya-karya monumental sehingga menempati posisi strategis dan terhormat dalam dunia seni.

Pada posisi pelaku seni, perempuan menjadi pelaksana dari suatu karya seni, misalnya para perempuan yang menjadi penari yang menampilkan suatu karya seni tari seorang koreografer. Seorang aktris yang mememerankan suatu peran dari seorang kreator seni; sutradara, penulis naskah, dan sebagainya atau seorang penyanyi yang menyanyikan karya orang. Dalam posisi ini, hubunbgan perempuan dengan seni berbentuk inter-dependensi, yaitu saling membutuhkan antara kreator dengan pelaku untuk melahirkan suatu karya seni terbaik.

Ketiga posisi ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada perempuan, tetapi juga sebaliknya kepada lelaki. Sosok lelaki bisa menjadi obyek, subyek atau kreator, dan pelaku seni. Semua ini kembali pada pernyataan di atas bahwa kesenian tidak mengenal jenis kelamin. Kesenian hanya mengenal karya kreatif dan estetik. Ini artinya kesempatan perempuan untuk terlibat dalam dunia seni sama besarnya dengan lelaki. Hanya kreativitas dan karya yang membedakan keduanya.

Bagi kaum perempuan, pesantren memiliki fungsi yang strategis dalam pengembangan seni budaya. Ini terjadi karena nilai-nilai dasar dan kultur pesantren sangat mendukung terhadap perkembangan seni. Nilai-nilai dasar yang menjadi pijakan komunitas pesantren tersebut adalah tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (seimbang), dan i’tidal (konsisten/adil). Keempat nilai dasar inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi dasar terbentuknya kultur pesantren yang mandiri, terbuka, kreatif, dan religius.

Nilai-nilai ini berkembang di pesantren, karena pesantren adalah lembaga keagamaan yang melakukan dakwah dan pendidikan Islam dengan pendekatan kebudayaan. Hampir semua proses pengajaran di pesantren menggunakan pendekatan seni, khususnya sastra dan lagu. Bahkan pengajaran tata bahasa yang rumit itu disampaikan melalui syair dan lagu (nadham imrithi, jurumiyah, alfiyah), termasuk juga pengenalan terhadap sifat-sifat Allah, sebagaimana tercermin dalam kitab ‘Aqidatul ‘Awam.

Pendekatan kultural seperti ini tidak hanya dilakukan terhadap santri putra, tetapi juga santri putri. Dengan kondisi seperti ini bisa dipahami kalau potensi seni perempuan pesantren sangat tinggi. Hanya, potensi yang besar ini kurang teraktualisasi secara maksimal karena minimnya sarana dan momentum untuk menggali dan mengekspresikan potensi seni tersebut. Potensi-potensi ini biasanya menjadi berkembang ketika sudah berada di luar pesantren.

Dengaan demikian tantangan perempuan pesantren di bidang seni adalah membuka ruang dan kesempatan yang sebesar-besarnya agar potensi yang besar tersebut bisa teraktualisasikan secara maksimal, karena secara kultural, pesantren telah menyediakan iklim dan sistem nilai yang kondusif untuk berkembangnya kreativitas seni budaya.

Dalam konteks kekinian, upaya aktualisasi potensi perempuan pesantren semakin terbuka lebar karena dua hal. Pertama, terjadinya transformasi kebudayaan di kalangan pesantren. Hal ini ditandai dengan terjadinya tranformasi bermadzhab, dari madzhab qauli (produk pemikiran) ke manhaji (metodologi), sehingga muncul sikap keterbukaan dalam menerima gagasan dan pemikiran baru di kalangan pesantren.

Kedua, adanya teknologi kemunikasi dan informasi yang makin canggih dan beragam. Ini artinya makin banyak sarana yang bisa digunakan untuk mengaktualisasikan potensi seni perempuan pesantren.

Masuknya teknologi informasi ke pesantren telah membuka kesempatan dan ruang kreativitas santri perempuan. Melalui teknologi informasi, santri perempuan bisa menggali beragam informasi yang bisa dijadikan sumber kreativitas berkesenian, sekaligus menjadi sarana menosialisasikan berbagai karyanya di ruang publik.

Teknologi informasi telah melambungkan karya-karya seniman perempuan pesantren, seperti terlihat pada fenomena Khilma Anis, penulis novel Hati Suhita yang menjadi popular karena novelnya best seller. Setelah sukses menulis Hati Suhita, Khilma menulis beberapa novel yang juga mendapat sambutan baik dari publik.

Ada juga penyair perempuan dari pesantren yang karya-karya mampu menembus publik, Nyai Hj Masiyah Amva, pengasuh Pesantren Kebon Jambu Cirebon. Puisi-puisi karya Nyai Hj Masiyah telah mendapat apresiasi publik dan menjadi perbincangan di kalangan penyair. Kretivitas sastra Nyai Hj Mastiyah tertuang dalam 13 buku sastra, 10 di antaranya diterbitkan oleh penerbit Kompas, dan tiga di antaranya adalah antologi puisi.

Fenomena ini menunjukkan berkurangnya hambatan kultural terhadap seniman perempuan untuk berkreasi. Ketika hambatan kultural telah yang membelenggu proses kreatif perempuan pesantren telah tiada, sarana dan prasarana untuk mengaktualisassikan potensi seni tersedia dengan mudah, maka tak ada lagi hambatan bagi perempuan pesantren mengaktualisasikan kreasi seninya.

Saat ini sudah tidak ada lagi hambatan eksternal yang memasung kreativitas seni perempuan pesantren. Kini tinggal hambatan internal yang harus diselesaikan (faktor psikologis ada skill individual). Karena hambatan internal ini sifatnya sangat personal dan individual, maka hanya dapat diselesaikan secara individual dan personal oleh para seniman perempuan pesantren.

Kini saatnya perempuan pesantren berkarya di bidang seni, agar agama menjadi semakin indah dan menarik, karena karya seni perempuan pesantren hakikatnya adalah ekspresi dari spirit religiusitas yang lembut dan penuh keindahan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan