Gombal Pak Sarwa

1,613 kali dibaca

Aku punya seorang teman, Paijo namanya. Sesekali ia melukis. Tapi, sehari-harinya lebih dikenal sebagai belantik atau makelar lukisan. Ah, maaf, julukan itu mungkin akan terasa sarkas. Banyak orang menyebutnya dengan istilah yang lebih gagah: art dealer. Apa pun julukannya, yang aku tahu adalah, ia lebih sering melakukan jual beli lukisan pelukis lain ketimbang karyanya sendiri. Di rumahnya yang sempit, tersimpan ratusan lukisan pelukis-pelukis ternama, dan beberapa dipajang pada dinding rumahnya yang bercat putih.

Gambar kucing kembar di bawah bulan goresan tangan magis Popo Iskandar, misalnya, dipajang di dinding ruang tamu, persis menghadap ke pintu masuk. Di sebelah kanannya, ada gambar lelaki berjanggut menggesek biola di antara istri dan kedua anaknya, sapuan kuas tangan puitis Hendra Gunawan. Di samping kanan pintu masuk, tergantung dengan anggunnya sket Antonio Blanco yang menindih potret gadis telanjang dalam pigura sederhana berukuran kira-kira lima puluh sentimeter persegi. Di sebelah kiri pintu, menggantung gambar dua perempuan dalam wajah seperti pinang dibelah dua goresan tangan Joko Pekik. Di pojok kiri, di atas pintu yang menghubungkan dengan ruang belakang, bertengger gambar perempuan Bali yang sedang duduk menunggu entah, karya Patrianto. Tapi, yang paling menyita ruang adalah gambar bunga matahari, goresan tangan Paijo sendiri, karena ukurannya yang sangat besar.

Advertisements

Jika kita masuk ke ruang belakang, akan terlihat ratusan lukisan yang berjejer berdempetan berimpitan bersandar pada dinding, bertumpu pada lantai dingin. Malah, sebuah lukisan Sudjojono disurukkan begitu saja di kolong tempat tidur. Juga ada dua gambar tua di atas kanvas yang telah lebur menyatu dengan cat yang mengeras membatu goresan tangan sang maestro Affandi. Ada berpuluh-puluh lukisan karya perupa-perupa Bali dari berbagai tahun, dari berbagai generasi, dari berbagai aliran. Ada berpuluh-puluh obyek gambar mulai dari matahari yang teduh bersimpuh di kaki senja sampai bulan yang pucat lesi di sudut pagi. Ada kesumpekan yang tergambar dengan meriah. Ada banyak ruang yang sesak tapi tetap kosong karena tak pernah berisi apa pun; bingkai-bingkai itu menyekat, untuk kemudian menampilkan, ruang-ruang yang melompong.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan