Penyesalan Yara

658 kali dibaca

Suara deru angin dan hujan mengepak-ngepakkan daun jendela sebuah kamar gelap di lantai dua. Cahaya lampu jalan yang berpendar kekuningan menerobos masuk ke kamar dan rintik hujan menampar-nampar jendela yang setengah terbuka. Gorden krem di baliknya sudah basah kuyup sampai airnya menetes-netes.

Tak jauh dari jendela, seorang perempuan duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Gawai di sisi kakinya kembali bergetar dan ia buru-buru menekan tombol power. Gawai itu pun padam seketika.

Advertisements

Ia menghela napas dalam-dalam, tapi air matanya menitik juga. Dengan tergesa, ia menyeka air matanya dengan lengan baju sebelum sempat menganak sungai. Ia kembali menghela napas. Ia tahu, dalam beberapa bulan terakhir ini, kehilangan bukan lagi hal yang asing baginya. Tetapi, kehilangan yang terjadi karena kelalaiannya menjadikan semua ini jauh lebih menyakitkan.

*

Tiga hari sudah berlalu sejak malam jahanam itu. Malam ketika Naya kehilangan adik perempuan satu-satunya, Yara. Selama tiga hari, Naya mengurung diri. Berkali-kali ia berniat untuk bunuh diri saja, tetapi bayangan Yara mengganggunya. Yara pasti tidak menginginkannya secepat itu menyusul ke alam baka.

Untuk pertama kalinya sejak malam itu, Naya membuka gorden kamarnya. Sinar matahari pagi membuatnya memicingkan matanya yang selama ini terbiasa dengan kegelapan. Untuk pertama kalinya, Naya menggerakkan badannya untuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Penuh sampah cup mi instan dan cangkir kopi yang berjamur.

Ia meraih gawainya. Menekan tombol power dan bunyi “ting” notifikasi menyapanya tanpa henti. Ratusan pesan dan panggilan tak terjawab. Ia membuka grup keluarga. Ada banyak pesan yang ditujukan untuknya. Dari mama, papa, dan saudara-saudara yang lain. Semuanya bernada sama: ini bukan kesalahanmu, kematian Yara adalah takdir belaka, tolong buka pintunya, mama kirim makanan, jangan berbuat bodoh Nay, dll, dll.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan