Mantra Nuro

1,222 kali dibaca

Hah, ternyata memang tak semudah yang dikira. Semua usahanya seperti menuang tinta di atas samudera. Dia selalu memakai mantra yang sama, ‘Tak ada batu yang tak bisa pecah, tak ada bumi yang tak bisa ditapaki. Dunia seluas samudera dan langit. Ada berjuta jalan untuk mencapainya.’ Itu adalah kalimat paling egois yang pernah di katakannya. Bagi Nuro itu adalah sebuah azimat yang bahkan dapat membuatnya kekal seribu Tahun bila mau.

Tapi dia sendiri seakan lupa dengan mantra terakhir peninggalan adiknya itu. Keinginannya untuk lulus cepat, mencari pekerjaan yang mapan dan menempatkan keluarganya pada hidup yang lebih layak masih sangat sulit dicapai. Menebus uang kuliahnya untuk akhir semester ini saja masih harus memutar otak. Waktunya yang terbatas karena tinggal di pondok mahasiswa harus dia atur sejeli mungkin. Tugas, kerja, rutinitas pondok, dan istirahatnya harus ditimbang secara matang. Terakhir kali abai dengan waktu tidurnya, Nuro berakhir dengan tubuh yang tak bisa bangun di kamarnya. Sakit. Semua tugas menumpuk, tak ada bayaran karena kerja. Uang habis untuk obat dan makan penambah stamina.

Advertisements

Makan teratur meski sederhana, asal ada karbohidrat, itu sudah cukup. Puasa tiap kali ada waktu, minimal dua kali seminggu. Tujuan utamanya untuk menghemat uang, sebagian untuk menambah amal. Mungkin niatnya tak benar-benar murni. Tapi dalam lubuk hatinya dia percaya ‘Tuhan pasti paham’ bahwa tak pernah ada niat yang paling murni selain dari jiwa para utusan-Nya.

“Nur, bangun! Gak kuliah? Ini waktunya Pak Weidro.” Wanita itu langsung terkesiap. Teman satu kamarnya itu hanya bisa menggeleng. Tanpa ucapan dia langsung menghadap laptopnya yang menyala sedari sepertiga malam.

“Oke, semua siap! Zah siapa yang mandi sekarang?”

“Si Ralda tuh sekarang.”

Nuro langsung saja memasang wajah sebal. Zah hanya bisa tertawa kecil sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan