Menafsir Waktu dalam Puisi

1,458 kali dibaca

MENITI WAKTU
Oleh: Mukhlisin

Aku meniti waktu
menuju tanah-tanah
berbatu.

Advertisements

Sebab, di sanalah
kekasih
kelak kita menanam
buah rindu.

Aku mengukur jarak
menjadikannya seindah
berlarik sajak.

Sebab, di sanalah
kekasih
kelak buah rindu kita
beranak-pinak.

Dalam tradisi Islam, waktu diibaratkan sebagai pedang. Jika kamu tidak menebaskannya, maka waktu tersebutlah yang akan menebasmu. Dan jika jiwamu tidak disibukkan dalam kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkanmu dalam kebatilan. (Imam As-Syafi’i, dinukil oleh Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Jawaab Al-Kaafi).

Begitu pentingnya perihal waktu, bahkan seringkali Allah bersumpah dengannya (wal ‘ashri, demi masa), karena hakikat waktu yang sangat perlu diperhatikan.

Dalam bahasa Arab, waktu memang ditamsilkan sebagai mata pedang, “alwaktu kassyaif,” (waktu adalah (mata) pedang). Sedangkan, dalam bahasa Inggris, waktu ditamsilkan dengan uang, time is money, (waktu adalah uang). Lebih jauh dan mendalam, di dalam al-Quran waktu seringkali digambarkan sebagai sebuah kesempatan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Waktu adalah masa yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Sementara, dalam lirik puisi berjudul Meniti Waktu yang ditulis Mukhlisin, yang dirilis di duniasantri.co pada 14 Desember 2020, waktu menjadi energi puitika histografi dalam menjalani kehidupan. Meniti artinya melewati, bergumul dengan waktu, mengurai anjangsana kebaikan.

Aku meniti waktu//menuju tanah-tanah//berbatu.”

Aku lirik (aku puisi) dalam puisi ini, penulis mengambarkan sedang mengarungi masa menuju (disengaja atau tidak) sebuah tujuan (yaitu: tanah-tanah berbatu). Ungkapan ini merupakan sebuah metafor dari ujian perjalanan sejarah. Bahwa tiap jengkal ruang kehidupan adalah sebuah ujian (berbatu). Tetapi yang pasti, hidup itu sendiri memang merupakan sebuah batu ujian.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan